Milana, si gadis berparas cantik dengan bibir plum itu mampu membuat Rayn jatuh cinta pada pandangan pertama pada saat masa kuliah. Namun, tak cukup berani menyatakan perasaannya karena sebuah alasan. Hanya diam-diam perhatian dan peduli. Hingga suatu hari tersebar kabar bahwa Milana resmi menjadi kekasih dari teman dekat Rayn. Erik.
Setelah hampir dua tahun Rayn tidak pernah melihat ataupun mendengar kabar Milana, tiba-tiba gadis itu muncul. Melamar pekerjaan di restoran miliknya.
Masa lalu yang datang mengetuk kembali, membuat Rayn yang selama ini yakin sudah melupakan sang gadis, kini mulai bimbang. Sisi egois dalam dirinya muncul. Ia masih peduli. Namun, situasi menjadi rumit saat Erik mencoba meraih hati Milana lagi.
Di antara rasa lama yang kembali tumbuh dan pertemanan yang mulai diuji. Bagaimana Rayn akan bersikap? Apakah ia akan mengikuti sisi dirinya yang egois? Atau harus kembali menyerah seperti dulu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meridian Barat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 15 ( Masa Lalu Mulai Hadir Kembali)
...Selamat Membaca...
.......
.......
.......
Dari balik pintu kaca restoran, Rayn memandangi pria muda yang tengah duduk di salah satu kursi restoran miliknya itu. Erik.
Rayn menarik Milana masuk tadi karena melihat Erik di pintu masuk restoran. Rayn menghela napas kecil sebelum melangkah menghampiri Erik. "Erik!" panggilnya setelah berada di dekat Erik.
Erik menoleh. "Oh! Rayn?"
Rayn tersenyum seraya duduk di hadapan Erik.
"Rayn, kau di sini juga?" heran Erik.
Rayn mengangguk seraya berujar, "Ya, ini restoran papaku, yang saat ini sedang aku kelola."
"Ah, benarkah? Aku sering ke sini saat bertemu klien, tapi baru kali ini melihatmu. Wah ... kalau tahu ini restoranmu, aku pasti minta diskon," canda Erik disertai tawa kecil.
Rayn ikut tertawa. "Aku juga baru melihatmu hari ini, padahal beberapa hari belakangan ini aku sering ke depan, untuk memantau kerja beberapa karyawan yang sedikit bermasalah." Rayn menumpu tangan ke atas meja. 'Termasuk Milana,' sambungnya dalam hati.
"Seminggu belakangan aku memang tidak datang ke sini, Ray." Erik tersenyum.
"Ah, begitu? Apa hari ini kau akan bertemu klien?"
Erik menggeleng disertai helaan napas. "Sebenarnya, aku memang niat datang ke daerah sini. Siapa tau bertemu Milana ...,"
Alis Rayn menyentak bersamaan, menatap lama teman semasa kuliahnya itu.
"Karena ada seorang teman yang bilang padaku bahwa dia pernah melihat Milana di daerah sini, kemarin malam. Jadi, aku coba lewat daerah sini. Aku berharap bertemu dengannya." Erik membawa punggungnya bersandar. "Aku ingin bertemu dengannya sebagai teman."
Rayn menatap lekat Erik. "Apa kau sudah tidak memiliki perasaan padanya?" tanya Rayn. Kali ini nada bicaranya terdengar serius. Rayn sendiri tidak tahu mengapa tiba-tiba menanyakan hal itu.
Erik tertawa kecil. "Aku sudah menjawab ini ketika kita bertemu di supermarket tempo hari, Rayn. Kuharap kau masih mengingat jawabanku."
Rayn mengangguk kecil. "Aku ingat itu," ujarnya seraya menatap teman lamanya itu.
Erik tersenyum kecil. "Kalau kau melihat, Milana, tolong kabari aku, Ray."
Rayn masih menatap Erik. "Kenapa kau memintanya jangan menghubungimu lagi, kalau akhirnya kau sendiri yang kebingungan mencarinya, Erik?"
Erik balik menatap Rayn. "Aku marah waku itu, aku tidak sengaja mengatakan itu, Rayn." Wajah Erik menunjukkan penyesalan. "Jika aku bertemu dengan Milan, sekali saja. Aku ingin minta maaf padanya. Aku pikir, terlalu egois saat mengingat apa yang kulakukan dulu. Aku merasa benar-benar bersalah padanya."
Rayn membawa pandangannya ke sisi lain. Diam untuk beberapa saat sebelum berujar, "Jika aku melihatnya, akan kukabari."
Beberapa saat kemudian, makanan yang dipesan Erik dihidangkan oleh karyawan Rayn.
"Ah, kalau begitu, aku masuk dulu. Kau nikmatilah makanannya." Rayn menepuk pelan bahu Erik, lalu beranjak masuk setelah Erik mengangguk.
Rayn menghentikan langkahnya ketika sampai di ambang pintu kaca yang menjadi pembatas area restoran dan ruang belakang. Pria itu setengah menoleh dan membawa pandangannya ke arah Erik. Ada rasa mengganjal di hatinya.
'Dia terlihat begitu mencintai Milana. Bagaimana bisa aku bersaing dengannya ... Tapi untuk saat ini, maafkan aku Erik. Tidak bilang bahwa Milana bekerja di sini. Maafkan aku.'
...**********...
Milana mengedarkan pandangan ke seluruh ruang kerja Rayn dengan wajah malas.
"Laki-laki itu benar-benar kaku." Milana mencebik. "Ruangannya saja membosankan, sama seperti orangnya."
Milana sudah pernah masuk ke sini, tetapi baru hari ini menyadari bahwa ruangan itu sangat monoton. Ruangan itu berukuran 5 x 5 meter. Terdapat sebuah meja kerja beserta satu kursi putar dan dua kursi di seberangnya. Sebuah pintu di sisi belakang dengan keset di depannya. Itu kamar mandi.
Dinding ruangan itu didominasi warna putih. Hanya ada dua bingkai foto yang terpajang. Satu foto Rayn yang berlatar belakang sebuah museum dan satu foto lainnya adalah potret moment wisuda Rayn bersama kedua orang tuanya. Tidak ada hiasan lain selain dua foto tersebut. Jendela besar di sisi kanan ruangan yang menghadap langsung ke arah jalan. Tidak jauh dari letak jendela terdapat sofa panjang berwarna biru dan meja kecil di sisinya.
Pandangan Milana berakhir pada dinding yang terdapat dua foto tadi. Dia melangkah mendekati dinding tersebut.
"Cih, apa-apaan ini? Kaku sekali fotonya," ujarnya ke arah foto Rayn yang diambil dengan latar sebuah museum, pemuda itu dipotret seorang diri, dengan pose tegak menghadap lurus ke depan, gaya khas orang ketika foto KTP. Kemudian gadis itu beralih pada foto wisuda Rayn.
Di potret itu terdapat foto Rayn mengenakan baju toga. Terdapat nama universitas, tanggal serta tahun pengambilan foto tersebut.
Milana mengernyit. Matanya memicing. "Lho, tahun lulus Mas Rayn, kok ... sama dengan tahun lulus Erik? Jurusannya juga sama," gumamnya seraya berpikir. "Apa Mas Rayn itu, teman Erik?" herannya.
Milana menoleh saat suara pintu terbuka. Tampak Rayn yang baru saja masuk di sana. Milana langsung melangkah ke arah Rayn dan melupakan rasa herannya.
"Mas, saya disuruh tunggu di sini, ada apa ya?" tanya Milana pada Rayn yang sekarang sudah duduk di kursi kerjanya. Namun, yang ditanya tidak menjawab. Pandangan pria muda itu lurus ke depan.
Milana memutar bola mata malas. 'Baru saja kulihat fotonya yang kaku dan datar itu, sekarang orangnya langsung juga tidak jauh berbeda,' ujarnya dalam batin.
Rayn menyandarkan punggung ke kursi, memejamkan mata untuk beberapa saat, menjauhkan punggungnya yang baru saja ia sandarkan seraya membuka mata dengan pandangan ke sisi lain. Tak berucap apa pun.
Milana mengernyit, sedikit memiringkan kepala tepat ke arah pandang Rayn, lalu melambai-lambaikan tangan beberapa kali. 'Dia sedang melamun, kah? Cih, pria kaku sepertinya bisa melamun juga, ternyata,' batinnya seraya meluruskan kepala.
"Saya tidak melamun, saya dengar kamu bertanya," ujar Rayn tiba-tiba.
Membuat Milana sedikit terhenyak. "Oke." Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Dia heran. 'Bagaimana dia bisa dengar apa yang aku ucap dalam hati?'
"Kamu bantu-bantu di belakang saja. Nanti setelah break, baru kembali ke depan."
Kening Milana berkerut. "Bantu-bantu di belakang, Mas?" tanyanya memastikan. Rayn mengangguk sebagai jawaban.
"Tapi–"
"Saya bilang bantu-bantu di belakang saja, karena saya belum menemukan asisten koki."
"Saya 'kan tidak bisa bekerja di dapur, Mas. Nanti kalau saya membuat masalah ba–"
"Ya usahakan jangan membuat masalah!" Ingat Rayn.
"Tapi, Mas–"
"Mau saya pecat saja?"
Milana langsung menggeleng-geleng sambil nyengir kuda.
"Ya sudah, jangan banyak protes!"
Milana menyunggingkan senyum terpaksa seraya berkata, "Baik, Mas Rayn." Dengan ramah. Padahal, di hati menggerutu, 'Dasar aneh! Selalu saja mengancam. Huh!'
"Kenapa masih di sini?" tanya Rayn dengan nada sarkastik, karena Milana masih bergeming di tempatnya.
"Ini mau pergi, Mas." Milana berbalik menuju pintu. "Galak banget, sih," gumamnya pelan. Namun, masih bisa didengar Rayn, meskipun hanya samar-samar.
"Eh! Ngomong apa kamu?"
Milana menoleh cepat. "Enggak! Ga ngomong apa-apa, kok, Mas. Em ... saya permisi dulu, Mas." Setelah berkata begitu Milana langsung beranjak keluar meninggalkan Rayn.
Rayn menghela napas sedikit kasar. Membawa punggung kembali bersandar pada kepala kursi dengan tangan memijit pelan keningnya.
"Cepat atau lambat, Milana pasti bertemu dengan Erik." Rayn berdecak kesal, menjauhkan punggung dari kepala kursi. Beralih menumpu kedua tangan di atas meja.
"Kenapa aku jadi begini, sih? Astaga ... Rayn." Rayn mengacak-acak rambutnya. "Ini bukan dirimu sekali," erangnya frustrasi. Dia sendiri tidak tahu kenapa bersikap begini.
'Aku jadi terlihat egois, sekarang.'
Dia tidak ingin begini, tetapi hati, pikiran, dan tindakannya tidak sejalan.
.
.
.
Bersambung....
Milana. ,gadis SPG seperti diriku/Hey/