NovelToon NovelToon
Bola Kuning

Bola Kuning

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus
Popularitas:93
Nilai: 5
Nama Author: Paffpel

Kisah tentang para remaja yang membawa luka masing-masing.
Mereka bergerak dan berubah seperti bola kuning, bisa menjadi hijau, menuju kebaikan, atau merah, menuju arah yang lebih gelap.
Mungkin inilah perjalanan mencari jati diri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Paffpel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 14

Beberapa bulan pun terlewati. Sekarang Arpa sudah naik kelas, menjadi kelas 3 SMP.

Selama beberapa bulan yang terlewati, nggak banyak yang berubah. Arpa yang setiap hari mendapatkan hinaan, dia semakin hari semakin dingin. Rian dan Juan semakin dekat, mereka saling mendukung dan menolong. Tapi tetap saja, rasa kehilangan mereka tetap ada. Mereka nggak bisa ngapa-ngapain, mereka cuman bisa bertahan. Mutia yang masih terikat oleh Talita. dia masih berharap, semoga ikatan itu bisa menjadi nyaman lagi seperti dulu. Walaupun Mutia nggak tega dengan Arpa yang terus-menerus dihina, tapi dia nggak bisa memilih. Kadang dia membantu Arpa diam-diam. Kela dan Susi, mereka masih sama, mereka terus-menerus mencari cara untuk menghina Arpa, tapi Arpa selalu diam. Itu membuat Kela terus mencari cara baru untuk menghina Arpa.

Saat itu, jam istirahat. Arpa lagi duduk di kursinya, di ujung kelas. Yang dia lakukan hanya menatap ke arah jendela dan hanya diam, tidak berbicara apapun.

Sedangkan Juan dan Rian. Mereka masih di kantin. Memakan makanan yang biasanya mereka pesan.

Talita yang habis dari kantin, membawa minuman dan masuk ke kelas. Dia jalan menuju Kela dan Susi. Mereka bertiga bisik-bisik sambil ngelirik Arpa dan kadang nyengir.

Talita ngangguk-ngangguk ke Kela dan Susi. Dia jalan ke arah Arpa. Talita berdiri di samping Arpa. Arpa ngelirik dengan mata yang setengah terbuka.

Bibir Talita terangkat sebelah dan matanya sedikit menyipit. “Woi, parasit kesepian, kok lu bau ya? Belum mandi?”

Talita pelan-pelan menumpahkan minuman itu di kepala Arpa. Lalu dia menaruh bekas minuman itu di meja Arpa.

Seluruh kelas memperhatikan Arpa dan Talita. Mutia yang melihat itu menutup mulutnya dengan tangan.

Talita menjambak rambut Arpa. “Kok diam aja? Makasihnya mana? Kan udah gua mandiin, bisu ya?”

Mata Mutia membesar. Dia menggenggam dadanya dengan erat. Matanya berkaca-kaca. Empatinya yang ditekan berbulan-bulan meledak seketika.

Mutia memukul meja dan berdiri. Dia lari ke arah Arpa dan menghalangi Talita.

Muka Arpa yang selalu datar, kini berekspresi. Mulutnya sedikit terbuka dan matanya membesar sambil menatap punggung Mutia. “Mut? Lu ngapain?” alis Talita turun sambil menatap Mutia.

Mutia menggenggam roknya dan menundukkan kepalanya. “UDAH LIT! KAMU NGGAK KASIHAN SAMA ARPA?!” teriak Mutia.

Talita memundurkan badannya dan tangannya terangkat. “H-hah?”

Mutia mengangkat kepalanya dan menatap Talita. Air matanya mengalir sedikit dan bibirnya bergetar.

Talita melihat air mata Mutia yang mengalir. Mulutnya terbuka dan alisnya naik pelan.

Mutia menggapai tangan Arpa dan menggenggamnya. Dia menarik pelan tangan Arpa. Arpa melihat sebentar Mutia dan berdiri. Mutia membawa Arpa keluar kelas.

Di jalan Arpa menatap fokus Mutia yang sedang menggandeng tangannya, matanya kini nggak kosong lagi.

Mutia sering ngusap-ngusap matanya dan di menggenggam erat tangan Arpa.

“Mutina, kita… mau kemana?” Arpa memiringkan kepalanya.

Mutia berhenti berjalan dan menatap Arpa, matanya masih basah. “Mutina? Siapa?”

Arpa nunjuk-nunjuk Mutia. “Lu…?”

Alis Mutia turun sedikit dan bibirnya manyun sebentar. “ih kamu nih… Mutia, namaku itu Mutia.”

Setelah sekian lama. Arpa pun terseyum lagi. “Iya, Mutia,” dia menggaruk kepalanya.

Mutia mendekati muka Arpa dengan mata yang berbinar. “Kamu senyum?”

Arpa memegang dan meraba-raba bibirnya. “E-eh… kayaknya iya.”

Mutia tersenyum lebar dan lanjut jalan. “Kita mau ke tempat yang aku suka.”

Arpa melihat sekelilingnya dan memiringkan kepalanya.“ Tempat yang lu suka?”

Mutia ngangguk-ngangguk. Setelah jalan sebentar. Mutia berhenti lagi. “Ini dia… perpustakaan!” dia senyum.

“Ayo masuk,” kata Mutia. Mereka berdua pun masuk ke perpustakaan.

Mutia menyapa pustakawan dengan senyumnya.

Mereka berdua duduk di kursi. Mutia menggoyang-goyangkan kakinya yang menggantung. “Arpa, aku mau nanya.”

Arpa memiringkan kepalanya. “Nanya apa?”

alis Mutia turun sedikit di tengah dan bibirnya maju tipis. “Kenapa kamu dan Juan saling menjauh? Kalau Rian… kamu waktu itu sempat dekat dengan dia kan?”

Arpa menundukkan kepalanya dan menghembuskan napasnya. “gua sendiri yang ngejauh, Rian sempet di hukum gara-gara gua, Juan di tinggalin temen-temennya gara-gara gua, gua… nggak mau mereka kenapa-kenapa gara-gara gua lagi.”

Tatapan Mutia melembut dan bahunya merendah, badannya condong sedikit ke depan. “Gitu ya… “

Arpa melihat Mutia. Mulut terbuka sedikit lalu tersenyum.

Alis Arpa naik sedikit lalu turun. Matanya berkedip cepat. “Kalau lu? Temen lu si Tania itu gimana?.”

Alis Mutia turun sedikit dan bibirnya maju sedikit. “Talita!” Mutia nyenggol pelan tangan Arpa.

Arpa menatap fokus sekelilingnya. “Iya, itulah pokoknya.”

Pandangan Mutia ke bawah. “Aku nggak tau… tapi yang jelas, sekarang aku sadar, kalau dia bukan Talita yang dulu lagi.”

Mulut Arpa terbuka sedikit, dia menekan pelan bibirnya. Lalu tersenyum hangat. “Semangat ya, Mutia.” dia megang tangan Mutia dengan lembut.

Mutia tersenyum lembut dan matanya sedikit menyipit. “Kamu juga, semangat ya!”

Mutia tiba-tiba ngelirik rak yang penuh dengan buku. “Kita baca-baca buku yuk, seru tau,” Mutia berjalan ke rak buku.

Arpa mengangguk pelan. “Boleh.”

Mereka membaca buku bersama-sama. Mereka senyum-senyum sendiri dan fokus membaca.

Bel masuk berbunyi, tapi mereka tidak mendengarnya karena terlalu fokus dengan buku yang mereka baca.

Pustakawan yang mendengar bel masuk langsung ingin mengingatkan mereka berdua, tapi saat dia melihat Arpa dan Mutia dan senyum-senyum sambil baca satu buku yang sama, dia mengurungkan niatnya. “Biarin dulu lah, namanya juga anak muda,” pustakawan itu tersenyum dan melanjutkan kegiatannya.

Arpa dan Mutia masih lanjut dan fokus sama bukunya, hingga perpustakaan sepi. Menyisakan Arpa, Mutia dan pustakawan.

Tidak terasa bel pulang sudah berbunyi. Tapi mereka masih fokus dengan buku yang mereka baca.

Pustakawan mendekati mereka. “Hey, udah jam pulang nih,” dia memegang bahu Arpa dan Mutia.

Mutia berpaling dan menatap pustakawan itu. Matanya membesar cepat. “Hah?! Jam pulang?”

Pustakawan itu menghela napas dan menggelengkan kepalanya. “haduh, iya… kalian fokus banget sih sama bukunya.”

Mutia ngeliat murid-murid yang lagi pulang dari jendela. “Waduh, iya ya, hehe.” Mutia menggaruk kepalanya.

Kepala Mutia sedikit terangkat dan badannya menegang. Tiba-tiba dia teringat sesuatu. “Arpa, aku pulang duluan ya,” Mutia tersenyum dan melambaikan tangannya.

Arpa mengangguk dan melambaikan tangannya.

Mutia keluar dari perpustakaan dan langsung lari. “Juan, Rian, kalian dimana,” gumamnya.

Setelah berlari-lari, dia pun menemukan Juan dan Rian di lorong sambil menggendong tas. “Hey, Juan, Rian, aku mau ngomong sesuatu.” dia ngos-ngosan.

Rian ngelirik Mutia. “Ngomong apa?”

Mata Mutia kadang menatap Rian atau Juan dan alisnya sedikit mengencang, dagunya terangkat sedikit. “Kalian sebenarnya masih pengen bareng Arpa kan? Jujur aja.”

“Sejak menjauh dari Arpa, kalian jadi kurang semangat dan pasrah aja, terus kenapa kalian nggak baikan sama Arpa?” Mutia menggenggam pelan tangannya.

Rian memalingkan mukanya. “Lu siapa? Lu tau apa? Kita cuman menghargai keputusan Arpa.”

Mutia memajukan sedikit badannya. “Bohong! Kalian pasti bingung mau berbuat apa kan? Menghargai keputusan? Kalian rela ngeliat Arpa di hina terus-menerus?”

“Kalian pecundang, cuman gara-gara Arpa menjauh, kalian langsung bingung dan nggak mau bergerak nolong dia!” kata Mutia dengan nada lumayan tinggi.

Juan mengepalkan tangannya. Tangannya bergetar halus. “Terus kami harus apa! Kami nggak tau harus ngapain,” pandangan Juan ke bawah.

Mutia menghentak pelan lantai. “Kalian cuman harus jujur! luapkan apa yang ada di hati kalian!”

Alis Juan dan Rian naik sedikit lalu turun, bahu mereka menegang dan mereka menggigit pelan bibir bawah.

Mutia menghembuskan napasnya. “Sekarang Arpa ada di sekitar perpustakaan, cepet samperin dia.”

Mereka berdua melangkah ragu-ragu, tapi setelah beberapa langkah, mereka berlari menuju perpustakaan.

Setelah lari-lari, mereka pun bertemu dengan Arpa. Langkah mereka melambat begitu melihat Arpa. Mata mereka turun, lalu berani ngelirik sedikit Arpa.

Langkah Arpa terhenti. Tatapan naik sedikit tapi ragu dan bahunya kaku.

Mereka pun saling berhadapan. Rian maju sedikit. “Rap, kita… minta maaf,” bahu Rian turun, badannya sedikit membungkuk. Dia meremas jari-jarinya.

Tapi Arpa hanya diam,tatapannya berpindah-pindah dan bibirnya mengkerut. Alisnya ketarik sedikit ke tengah.

“Arpa, lu harus menjauh dari mereka. Ingat tujuan lu.” pikir Arpa. Dia mengepalkan tangannya erat-erat.

Tapi hati kecil Arpa… menginginkan kebersamaan yang telah hilang, Arpa ingin bisa bersama mereka lagi.

1
HitNRUN
Nguras emosi
tecna kawai :3
Masih nunggu update chapter selanjutnya dengan harap-harap cemas. Update secepatnya ya thor!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!