Thalia Puspita Hakim, perempuan berusia 26 tahun itu tahu bahwa hidupnya tidak akan tenang saat memutuskan untuk menerima lamaran Bhumi Satya Dirgantara. Thalia bersedia menikah dengan Bhumi untuk melunaskan utang keluarganya. Ia pun tahu, Bhumi menginginkannya hanya karena ingin menuntaskan dendam atas kesalahannya lima tahun yang lalu.
Thalia pun tahu, statusnya sebagai istri Bhumi tak lantas membuat Bhumi menjadikannya satu-satu perempuan di hidup pria itu.
Hubungan mereka nyatanya tak sesederhana tentang dendam. Sebab ada satu rahasia besar yang Thalia sembunyikan rapat-rapat di belakang Bhumi.
Akankah keduanya bisa hidup bahagia bersama? Atau, justru akhirnya memilih bahagia dengan jalan hidup masing-masing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ANAK ITU NAMANYA JEMIA
Thalia gugup. Apalagi mata Bhumi menelisiknya seakan mengetahui isi kepalanya. Thalia berdehem. Kemudian, senyum terbit perlahan di wajah cantiknya. Seiring dengan matanya yang membentuk bulat sabit dengan sempurna.
"Sepeduli itu padaku sekarang?"
Bhumi tertawa remeh. "Percaya diri sekali kamu sekarang? Saya tidak sebaik itu."
Thalia mengangkat bahunya. "Hati manusia siapa yang tahu. Kamu bisa aja suatu saat nanti malah balik menyukaiku."
Wajah Bhumi mengeras. Kalimat terakhir Thalia membuatnya bungkam. Jantungnya berdebar cepat. Debaran yang menyenangkan untuknya rasa. Hanya saat ada Thalia.
Setelah lima tahun perasaannya terasa kosong. Ekspresi datarnya bisa sewaktu-waktu berubah begitu ada Thalia dalam hidupnya.
"Atau jangan-jangan kamu memang sudah mencintaiku?" Thalia mendekatkan wajahnya ke wajah Bhumi.
Netra hazelnya menatap lurus netra obsidian milik Bhumi, berusaha mencari jawaban atas pertanyaan konyolnya.
Bhumi masih diam. Tiba-tiba ia membaringkan tubuh Thalia.
"Kalau iya bagaimana?" Sudut bibir Bhumi melengkung samar. Menikmati wajah sumringah Thalia yang berubah pucat.
Thalia menelan salivanya dengan sulit. Wajah pria yang sangat ia benci itu berada dekat dengannya. Bahkan aroma musk yang menguar dari pria itu begitu menusuk hidungnya.
Bhumi mengamati detail wajah cantik Thalia. Sorot teduh yang selalu memancarkan kebencian padanya, hidungnya tidak terlalu mancung, tetapi begitu lancip di ujungnya, bibirnya? Bagian favorit Bhumi itu begitu menggoda dengan warna sedikit merah dan berisi itu.
Tiba-tiba terdengar ketukan pintu dari arah luar kamar. Thalia dan Bhumi kompak menoleh. Saat melihat Bhumi lengah, Thalia segera mendorong pria itu hingga ia bisa terlepas dari kungkungan Bhumi.
Sedangkan Bhumi terbaring di tempat tidur. Melihat Thalia bisa lepas dari dirinya, Bhumi berdecak kesal.
"SIAPA?" Suara Bhumi yang meninggi membuat Thalia terkejut. Pria itu lekas duduk di sisi ranjang.
"Ma...af Tuan, ini saya Ningrum. Tadi Mas Aji mengatakan Tuan ingin air rebusan jahe." Terdengar suara gugup Bi Ningrum dari luar.
Thalia merapikan dressnya sembari menggerutu pelan, "Galak banget, sih!"
Bhumi yang mendengar itu berdehem, mengontrol suaranya. "Masuk, Bi!"
Pintu kamar pun terbuka. Bi Ningrum masuk dengan dua gelas air rebusan jahe. Kemudian, meletakkannya di meja tak jauh dari ranjang.
"Silakan diminum, Tuan, Nyonya."
"Saya juga, Bi? Kayaknya tadi saya nggak minta deh." Thalia menatap Bi Ningrum heran.
Pelayan senior itu mengangguk diringi dengan senyum sopan. "Kondisi Nyonya kan juga belum terlalu sehat. Semoga bisa lebih segar badannya. Saya juga tambahkan beberapa rempah di minuman Nyonya."
"Hmmmh... Tapi saya nggak terlalu suka minum rimpang sih, Bi." Thalia menautkan kedua telunjuknya sembari menunduk malu. "Atau, saya boleh minta tolong dibikinkan kopi hitam saja?"
"Ehemm...!" Bhumi bersuara.
Thalia dan Bi Ningrum pun terkejut. Kemudian, sama-sama menoleh pada Bhumi.
"Keluar, Bi. Kopinya tidak usah dibuatkan," ujar Bhumi, membiarkan Thalia yang melotot tidak terima.
"Baik, Tuan." Bi Ningrum yang sudah hafal dengan setiap perintah majikannya tidak membantah sama sekali.
Saat Bi Ningrum keluar dan pintu tertutup rapat, Bhumi segera beranjak menuju sofa putih di sudut kamar. Begitu Bhumi duduk, ia segera meraih gelas berisikan air rebusan jahe tadi.
"Duduk di sini Thalia. Kamu ngapain berdiri di sana?"
Thalia menggeleng. Sejak awal menikah dengan Bhumi, Thalia jarang ke kamar ini. Ruangan yang didominasi warna putih ini sangat mengintimidasi dirinya, sama dengan sang pemilik.
"Kamu sudah lebih sehat, kan? Aku mau ke kamar saja."
"Kamu tidur di sini malam ini." Nada tegas itu bagaikan sebuah perintah yang tidak boleh Thalia tolak.
"Tapi aku nggak nyaman di sini." Bisa-bisa Thalia tidak tidur karena Bhumi seringkali bertindak lebih dari sekedar tidur saat dengannya.
Bhumi menyesap minumannya. Tidak peduli dengan penolakan Thalia.
Suasana hening kembali tercipta. Thalia sangat membenci suasana mencekam seperti ini. Ia dan Bhumi memang tidak cocok sejak dulu. Seharusnya Thalia tidak pernah melibatkan Bhumi dalam dendamnya pada Adelia dan Widya.
Kenyataannya, kesenangan melihat Adelia hancur itu hanya sesaat. Dan sekarang, ia justru menjadi sandera pria brengsek di depannya dengan kedok istri sah.
Dalam diam Bhumi menatap Thalia yang kini sudah duduk di sisi ranjang. Wanita itu diam, tampak berpikir sesuatu. Wajahnya terlihat serius dengan mulut bergerak tanpa suara.
Bhumi yakin, ada banyak sumpah serapah yang ingin Thalia keluarkan untuknya.
"Ganti bajumu dengan gaun tidur di lemari." Bhumi berdiri.
"Kamu mau ke mana?" Thalia ikut berdiri. Rautnya menunjukkan bahwa ia juga ingin pergi dari kamar ini.
"Ke kamar mandi. Mau ikut?" Satu alis Bhumi terangkat, menatap sinis Thalia.
Thalia menghela napas gusar. Ia kira Bhumi akan keluar kamar. Tapi, tunggu-tunggu!
"Kalau kamu di kamar mandi, aku harus ganti baju di mana?" tanya Thalia. Ia yakin, pintu kamar itu pasti segera Bhumi kunci.
"Di sini." Bhumi menjawab santai. Kemudian, melenggang menuju kamar mandi.
Wajah Thalia langsung berubah shock. Ekspresi cemas itu membuatnya terlihat...lucu.
Tangan Bhumi menyentuh handle pintu. Namun, sebelum ia benar-benar mendorong pintu dan masuk, Bhumi kembali menoleh pada Thalia yang masih berdiri mematung.
"Cepat ganti baju. Kecuali kalau kamu memang ingin saya melihat kamu melakukannya."
"Kamu!" Thalia spontan menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Jangan macam-macam, ya!"
"Kamu harus melakukannya dengan cepat." Bhumi lekas masuk ke kamar mandi.
Thalia menggeram kesal. Namun, ia tidak punya banyak waktu. Thalia segera menuju lemari yang Bhumi maksud.
Begitu ia buka, matanya melotot sempurna. Di lemari yang tak kalah besar dengan lemari milik Bhumi, terdapat banyak gaun tidur dan baju perempuan.
"Ini baju siapa? Adelia?" Thalia memperhatikan setiap baju yang digantung itu.
Ah, tidak mungkin. Adelia itu lebih tinggi dan kurus dari dirinya. Sedangkan ukuran beberapa baju ini seperti ukurannya sendiri.
Thalia mengambil satu gaun tidur di bawah lutut berwarna baby blue dengan lengan bertali kecil yang dipadukan dengan outer berlengan sesiku yang berenda kecil.
Suara gemercik air masih terdengar di kamar mandi. Thalia pun lekas memanfaatkan waktu untuk ganti baju.
Beberapa menit berlalu, Thalia sudah berhasil memakai gaun tidur tersebut. Namun, saat ia ingin mengikat tali outer gaunnya, tangan kekar seseorang menahannya.
Tak hanya itu, tubuh Thalia langsung tegang saat merasakan kehadiran Bhumi di belakangnya. Bhumi menggeser rambut panjang Thalia ke sisi sebelah kiri. Tak lama kemudian, jemari dingin Bhumi menurunkan sedikit outer gaun Thalia.
Satu kecupan Bhumi daratkan di bahu Thalia. Setelah itu, Bhumi memeluk Thalia dari belakang dengan hangat.
"Saya melihat seorang anak perempuan tadi pagi. Entah mengapa, saya seperti melihat bagian diri kamu dan diri saya di dirinya."
Jantung Thalia berdebar kencang. Kedua tangannya mengepal di sisi gaun tidur.
"Rasanya, saya seperti melihat anak kita pada anak itu."
Wajah Thalia sama tegangnya dengan tubuhnya. Mulutnya masih terkatup rapat. Betapa rasa cemas dan ketakutan itu mulai merayapi dirinya.
"Namanya Jemia, Thalia. Dan saya langsung jatuh cinta pada anak itu."
'Tuhan, apalagi ini?' batin Thalia berteriak.
*
*
*
Uhuy! Bhumi mengungkit masalah Jemia pada Thalia. Sabar, ya, Gaes. Karma Tuan Bhumi yang terhormat belum datang 🤣
selalu menghina Thalia dengan menyebut JALANG, tapi tetep doyan tubuh Thalia, sampai fitnah punya anak hasil hubungan dengan Julian, giliran udah tau kl anak itu anak kandungnya sok pengin di akui ayah.
preet, bergaya mau mengumumkan pernikahan, Kemarin " otaknya ngelayap kemana aja Broo.
Yuu mampir, nyesel dh kalo gak baca..
maksa bgt yaa, tapi emang ceritanya bagus ko.. diksinya bagus, emosi alur sesuai porsinya, gak lebay gak menye-menye...
enteng sekali pengakuan anda Tuan,
amnesia kah apa yg kau lakukan sebelum tau tentang Jemia..??
Masiih ingat gak kata ja lang yg sering kau sematkan untuk Thalia..?? dan dg tanpa beban setitikpun bilang Thalia dan Jemia hal yg "paling berharga" dihidupmu.. 😏
sabarrrr
kurang ka,