Malam bahagia bagi Dila dan Arga adalah malam penuh luka bagi Lara, perempuan yang harus menelan kenyataan bahwa suami yang dicintainya kini menjadi milik adiknya sendiri.
Dalam rumah yang dulu penuh doa, Lara kehilangan arah dan bertanya pada Tuhan, di mana letak kebahagiaan untuk orang yang selalu mengalah?
Pada akhirnya, Lara pergi, meninggalkan tanah kelahirannya, meninggalkan nama, kenangan, dan cinta yang telah mati.
Tiga tahun berlalu, di antara musim dingin Prancis yang sunyi, ia belajar berdamai dengan takdir.
Dan di sanalah, di kota yang asing namun lembut, Lara bertemu Liam, pria berdarah Indonesia-Prancis yang datang seperti cahaya senja, tenang, tidak terburu-buru, dan perlahan menuntunnya kembali mengenal arti mencintai tanpa luka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab: 14
____Lara
Aku, bagaimana kelabu di langit jingga, seperti asap yang tersesat di cerahnya cuaca, bagai badai mengganggu laut yang tenang, hadirku, tak lebih dari luka yang diam-diam datang.
Aku tahu,
senyumku tak pernah utuh di antara tawa mereka, langkahku selalu terasa asing di jalan cerita, aku hanya bayang, yang datang saat lampu pesta mulai padam.
Jangan tanya mengapa aku diam, diamku bukan tenang, melainkan tangis yang tertahan, bukan karena aku ingin menjauh, tapi karena aku tak tahu di mana lagi tempatku berteduh.
Mereka tertawa dalam hangat,
dan aku, berdiri dalam gigil yang pekat.
❄️❄️❄️
Salju masih terus turun, seperti serpihan langit yang lupa pulang. Di pinggir danau Talloires yang membeku, keheningan terasa lebih nyaring daripada suara. Lara berdiri tenang, pandangannya terbenam jauh ke permukaan air, seakan mencari sesuatu yang tak lagi bisa disentuh, tapi belum benar-benar pergi.
Liam berdiri tak jauh darinya, menyamai langkah tanpa mengusik. Ada kehati-hatian dalam tatapannya, seperti seseorang yang ingin bicara tapi tak ingin mengganggu sebuah puisi yang sedang ditulis oleh diam.
Beberapa meter di belakang mereka, Adrian duduk di bangku kayu, churros terakhir mencuat dari tangannya seperti mikrofon. Ia mendongak ke langit kelabu, lalu ke arah Bella, lalu kembali ke langit—seolah berharap awan turun dan membawakannya selimut.
“Kalau suasana ini jadi lebih hening lagi,” gumamnya, “aku takut kita semua membeku dan jadi bagian dari pameran seni modern. Empat Jiwa Tersesat dan Seekor Bebek yang Salah Jalur. Tiket masuk lima euro, termasuk cokelat panas dan teori eksistensial.”
Bella tertawa kecil, membetulkan syalnya. “Dan aku pasti jadi patung yang paling estetik, ya?”
Adrian mengangguk mantap, mengangkat sisa churros-nya seperti tongkat orkestra. “Tentu. Kamu akan berdiri di tengah, dengan pose misterius dan sorot mata penuh rahasia. Pengunjung akan berbisik, ‘Siapa perempuan bersyal merah itu? Apakah dia sedang merindukan seseorang? Atau sekadar masuk angin?’”
Bella menyeringai. “Dan kamu?”
Adrian menepuk dadanya dengan penuh dramatis. “Aku akan jadi patung pria tragis yang baru saja kehilangan churros kesayangannya. Judul instalasinya. Cinta, Kehilangan, dan Gula Kayu Manis. Setiap malam ada pertunjukan cahaya, dengan suara narasi lirih, ‘Dia hanya ingin menghangatkan hati, tapi malah kehilangan segalanya...’.”
Bella tertawa geli. “Kamu harus berhenti nonton film dokumenter tengah malam.”
Adrian menghela napas panjang. “Aku tahu. Tapi bagaimana mungkin aku berhenti saat aku baru saja nonton yang judulnya Bebek dan Arwah dalam Kabut Norwegia?”
Bella mendelik. “Oke, kamu resmi jadi bebek aneh dalam teori evolusi.”
Adrian tersenyum bangga. “Setidaknya aku bebek yang punya selera humor dan pengetahuan tentang seni kontemporer.”
“Kalau kamu beneran jadi bebek,” kata Bella, melipat tangan di dada, “kamu pasti jadi bebek yang diusir dari danau karena terlalu banyak bicara dan merebut churros pengunjung.”
Adrian pura-pura terkejut. “Aku? Merebut churros? Tidak, Bella. Aku justru akan mengajarkan bebek-bebek lain cara membentuk komunitas apresiasi seni di pinggir danau.”
Bella tertawa keras. “Dan itulah alasan kenapa bebek lain akan memutuskan migrasi lebih cepat tahun ini.”
Sementara kedua orang itu tengah berdebat dengan drama seni kontemporer dan pajangan beku churros dan bebek, di tepi danau, Liam melirik ke arah Lara, lalu kembali menatap danau beku yang sunyi. Ada sesuatu yang tak terucap, sesuatu yang menggantung seperti napas dingin musim dingin itu sendiri.
“Kamu suka danau?” tanyanya pelan, hampir seperti bisikan yang tak ingin mengganggu ketenangan air yang tidur di permukaan yang beku.
Lara tak langsung menjawab. Matanya masih jauh, kabut tipis menari di pelupuknya. Akhirnya, ia bicara dengan suara yang lebih dingin dari udara di sekitarnya. “Di Indonesia, ada danau yang indah juga. Danau Lembang namanya.”
Liam mengangguk perlahan. “Danau Lembang, aku pernah dengar.”
Liam menatap Lara lebih lama kali ini, seolah mencoba membaca apa yang tak bisa diungkapkan kata-kata. Hembusan napasnya membentuk kabut tipis di udara, lalu hilang seperti banyak hal yang ingin ia pahami tapi tak sanggup ia miliki. Ia tak berkata banyak, hanya menunduk sebentar dan bergumam dalam hati, perempuan ini, menyimpan badai dalam bisunya. Tapi justru karena itu, ia ingin tetap berada di dekatnya—meski hanya sebagai penonton diam dari riuh yang tak pernah ia mengerti.
Hening menyelubungi mereka sejenak, sampai suara bangku kayu berderit karena Adrian berdiri sambil menepuk-nepuk celananya yang penuh remah. “Oke, aku resmi menyerah. Satu menit lagi di sini dan aku berubah jadi es batu. Jangan salahkan aku kalau aku mulai berdiri diam dengan ekspresi melankolis dan pengunjung mulai foto selfie sambil kasih caption Frozen but fabulous. Sebaiknya kita pergi dan makan siang di tempat yang hangat.”
Bella berdiri sambil tertawa. “Aku ikut. Aku tidak ingin jadi instalasi seni yang gagal pakai pelembap.”
“Sepertinya aku tidak akan ikut,” ujar Lara, suaranya pelan tapi tegas.
Ketiganya menoleh bersamaan. “Kenapa?” tanya Adrian dan Bella hampir bersamaan. Sementara Liam hanya diam, tapi terlihat jelas, ada ketidakrelaan yang tak terucap.
Lara menarik napas. “Ada yang harus aku lakukan di apartemen, jadi aku pulang duluan.”
Padahal, tak ada yang benar-benar menunggunya. Ia hanya ingin pergi. Menatap danau terlalu lama membuat sesuatu di dalam dirinya terasa longgar dan kosong. Kenangan masa lalu menyelip kembali tanpa izin, dan itu cukup menguras energinya.
Langkah Lara menjauh perlahan, menorehkan jejak halus di atas salju putih yang sunyi. Udara dingin seakan ikut menggigil bersamanya, dan danau beku di hadapannya menjadi cermin sunyi dari sesuatu yang tak bisa ia ungkapkan. Ia tak menoleh—seakan tahu, sekali saja ia melihat ke belakang, segalanya akan runtuh.
Liam menatapnya sejenak, ada sesuatu di matanya yang ingin menahan tapi tak bisa diberi nama. Adrian menggigit bibir, seperti ingin melontarkan lelucon lain, tapi kali ini diam saja. Bella hanya menatap, lalu pelan-pelan mengangguk.
Liam berdiri mematung, menatap punggung Lara seperti seseorang yang takut kehilangan sebelum sempat memiliki. Di balik matanya, ada kalimat yang tak pernah sampai.
Adrian masih diam di dekat bangku kayu, churros tinggal remah di tangannya. Untuk pertama kalinya, tak ada lelucon, tak ada gurauan. Hanya suara pelan, yang terdengar lebih dalam daripada biasanya.
“Aku iri pada diam,” ucapnya, mata masih mengikuti langkah Lara yang kian menjauh. “Karena dia bisa lebih mengenalnya... dibanding kita.”
Bella menoleh pelan padanya. Tak ada balasan, hanya sorot mata yang setuju dalam sunyi.
Danau Talloires tetap membeku.
Dan untuk sejenak, danau Talloires menjadi saksi dari satu kepergian kecil yang diam-diam terasa seperti kehilangan besar.
********
Untuk readers selamat datang di karya baru author, untuk yang sudah membaca. Terima kasih banyak, jangan lupa support author dengan like, komen dan vote cerita ini ya biar author semangat up-nya. Terima kasih😘😘😘
Aku udh mmpir.....
Dr awl udh nysek,kbyang bgt skitnya jd lara....d khianati orng2 trdkatnya,apa lg dia tau kl dia cm ank angkat.....btw,hkum krma udh mlai dtang kya'nya....mnimal tau rsanya khilangn dn smga mrsakn pnyesaln s'umr hdp.....
sekarang nikmati saja karma kalian