NovelToon NovelToon
Muslimah Gen Z: Iman,Cinta, Dunia.

Muslimah Gen Z: Iman,Cinta, Dunia.

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus / Identitas Tersembunyi / Teen Angst / Cinta Terlarang / Cinta Seiring Waktu / Berondong
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: syah_naz

Namaku Syahnaz Fakhira az-Zahra, berusia delapan belas tahun.
Aku baru saja menyelesaikan pendidikan selama enam tahun di Pondok Pesantren Darfal — sebuah pondok perempuan di salah satu kota di Jawa yang dikenal dengan kedisiplinan dan kedalaman ilmunya.

Selama enam tahun di sana, aku belajar banyak hal; bukan hanya tentang ilmu agama, tetapi juga tentang kehidupan. Aku tumbuh menjadi seseorang yang berusaha menyeimbangkan antara iman dan ilmu, antara agama dan dunia.

Sejak dulu, impianku sederhana namun tinggi — melanjutkan pendidikan ke Universitas Al-Azhar di Kairo, menuntut ilmu di tanah para ulama. Namun, takdir berkata lain.
Di tahun kelulusanku, ayah meninggal dunia karena serangan jantung. Dunia seolah runtuh dalam sekejap.
Aku sangat down, tertekan, dan rapuh.
Sejak kepergian ayah, keadaan ekonomi keluarga pun memburuk. Maka, aku memilih pulang ke rumah, menunda impian ke luar negeri, dan bertekad mencari pekerjaan agar bisa membiayai ibuku sekaligus untk kuliah.
lanjut? 🤭

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

cahaya di langit malam jakarta

Setelah tiba di restoran mewah itu, Syahnaz tertegun. Lampu-lampu kristal menggantung indah di langit-langit, memantulkan cahaya ke seluruh ruangan dengan nuansa keemasan yang hangat. Dinding kaca tinggi menampilkan pemandangan kota Jakarta malam hari yang berkilau.

Matanya berbinar. “Masyaa Allah… indah banget,” gumamnya pelan, tak lepas menatap setiap sudut ruangan.

Zio yang berjalan di sampingnya hanya terkekeh. “Ayo masuk, jangan diliatin terus kayak turis baru pertama kali ke Jakarta,” ujarnya menggoda.

“Hehehe… iya-iya,” balas Syahnaz dengan senyum malu, lalu melangkah masuk.

Begitu masuk, Zio menatapnya dengan gaya sok santai. “Gimana? Bagus, kan, tempat restonya? Semoga lu betah kerja di sini. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan bilang ke gue. Apalagi kalo ada yang ngebully lo di sini—gue turun tangan langsung.”

Ia berkata dengan nada sedikit sombong, sambil memainkan hidungnya seperti pahlawan kesiangan.

Syahnaz terkekeh geli. “Hahaha, iya, iya. Nggak ada juga yang bakal ngebully aku. Kalaupun ada, itu cuma masalah kecil. Tapi makasih ya, udah niat ngelindungin,” katanya ramah.

“Lah, gue serius, malah diketawain,” gumam Zio kesal setengah bercanda.

Mereka pun naik ke lantai atas menggunakan lift. Musik lembut mengalun, dan aroma rempah dari dapur restoran terasa menenangkan.

Begitu lift terbuka, Syahnaz langsung terpana lagi. Di depannya terhampar pemandangan malam Jakarta dari ketinggian. Gemerlap lampu kota seolah menari di bawah langit gelap bertabur bintang.

“Sini,” panggil Zio sambil menunjuk meja yang sudah disiapkan khusus. “Gimana? Bagus nggak pemandangannya?”

Syahnaz berdiri di dekat kaca, matanya berbinar. “Waah… masyaa Allah, keren banget. Bisa lihat Jakarta seindah ini, subhanallah,” ucapnya penuh kekaguman.

Zio tersenyum puas, merasa bangga karena berhasil membuat Syahnaz kagum. “Kalau gitu, mari kita makan. Ini menu spesial dari resto ini,” ujarnya sambil memperkenalkan satu per satu hidangan — dari steak, pasta, hingga dessert khas resto itu.

“Waaah, semuanya kelihatan enak banget,” ucap Syahnaz sambil tersenyum senang.

Mereka pun makan bersama sambil berbincang ringan. Tawa kecil kadang terdengar di antara mereka. Dan tanpa terasa, waktu berjalan cepat — malam sudah semakin larut, lampu-lampu kota mulai meredup satu per satu.

Di hati Zio, ada sesuatu yang berbeda malam itu.

Bukan cuma rasa bangga karena berhasil membuat Syahnaz tersenyum, tapi juga perasaan aneh yang tak bisa ia jelaskan.

Entah kagum, entah tenang… atau mungkin — sesuatu yang lebih dari itu.

...***************...

Setelah dinner bareng zio, Sebelum pulang, Syahnaz sempat mampir ke toko elektronik untuk membeli kompor dan magic com. Setelah itu, ia kembali ke kos dengan motor yang masih dipinjamkannya dari Zio untuk dipakai sehari-hari.

Sesampainya di kamar, ia langsung membersihkan diri, berwudu, lalu bersiap untuk tidur. Udara malam terasa hangat, sementara rasa lelah di tubuhnya mulai luruh setelah menunaikan ibadah.

“Alhamdulillaah... terima kasih yaa Rabb. Engkau telah menolong Syahnaz lagi dan lagi. Pertolongan-Mu selalu lebih besar dari keluh kesahku,” ucapnya lirih sambil tersenyum penuh haru, menatap langit-langit kamar yang redup diterangi lampu kecil di sisi kasur.

“Jujur... Syahnaz nggak pernah datang ke restoran semewah itu, yaa Allaah. Tapi Alhamdulillaah, Engkau berikan kesempatan untuk merasakan apa yang orang lain rasakan di sana,” lanjutnya sembari membuka ponsel dan melihat foto-foto yang diam-diam diambilnya saat makan malam tadi.

“Posting, ah... sekali-sekali nggak papa kan?” katanya pelan, tersenyum kecil sebelum mengunggah satu foto ke Instagram.

Di bawahnya ia menulis caption sederhana:

> Thank you, good man!

Tak lama setelah itu, ketika matanya mulai terpejam, ponselnya tiba-tiba berdering.

“Duh... siapa sih nelpon malam-malam begini?” gerutunya kesal, lalu mengambil ponsel di meja samping kasur. Begitu melihat nama yang tertera, ia langsung menegakkan tubuhnya.

“Akhhh... Darren nyebelin banget!” gumamnya sebelum mengangkat telepon.

“Syahnaz? Lu di mana sekarang?” suara Darren terdengar tegas, penuh selidik.

“Hmmm... di kasur, Daren. Mau tidur,” jawabnya malas dengan suara serak karena mengantuk.

“Ada apa sih, Ren? Besok aja deh ngomongnya...” ucapnya merengek pelan.

“Enggak! Nggak bisa besok!” suara Darren meninggi. “Gue mau nanya... siapa cowok yang lu maksud di Instagram?”ucapnya tegas setelah melihat postingan syahnaz di instagram.

Syahnaz mengerjap pelan, berusaha mencerna. “Oh itu? Astagfirullaah, itu cuma Zio. Dia ngajak aku ma—”

Belum sempat ia menjelaskan, Darren langsung memotong dengan nada marah.

“Baru juga pagi tadi sampai Jakarta, malamnya udah dinner sama orang baru dikenal?!”

Syahnaz terdiam sejenak, menahan sabar. “Aku nggak mau, Darren, tapi dia—”

“—Tapi akhirnya lu mau juga kan? Diajak gitu aja langsung iya?” potong Darren lagi, suaranya makin tajam.

Helaan napas panjang keluar dari bibir Syahnaz. Rasa lelahnya sejak siang tadi seperti pecah bersamaan dengan kalimatnya yang akhirnya meluncur penuh emosi,

“Yaa Allaah... kamu nggak tahu apa aja seharian ini yang aku alamin, Darren! Aku takut keluar cari makan sendirian!”

Nadanya bergetar. Ia menggenggam ponselnya erat-erat.

“Mangkanya aku akhirnya ngiyain ajakan Zio. Itupun aku nggak boncengan, Darren. Aku naik motor sendiri. Lagian, aku juga sekalian lihat tempat kerjaku besok. Dan kamu... cuma bisa marah-marah terus.”

Suasana hening sejenak. Hanya terdengar napas berat dari seberang telepon.

“Syahnaz?” suara Darren kini terdengar lembut, khawatir.

Namun Syahnaz tak menjawab. Ia hanya menatap langit-langit kamarnya yang gelap, matanya berkaca-kaca.

“Ampuni Syahnaz yaa Rabb...” gumamnya lirih, menahan air mata yang akhirnya jatuh tanpa izin.

“Syahnaz... are you okay?” suara Darren terdengar lebih lembut kali ini, hampir seperti bisikan yang takut memecahkan suasana hati yang rapuh di seberang sana.

Namun Syahnaz hanya diam. Hening. Yang terdengar hanyalah hembusan napasnya yang berat, diselingi isakan kecil yang berusaha ia tahan.

“Aku lelah, Darren...” suaranya pelan, serak. “Aku mau tidur, Darren. Assalamu’alaikum.”

Klik.

Sambungan terputus.

Darren terdiam menatap layar ponselnya yang kini gelap. Dadanya terasa sesak, pikirannya berputar, menyesali kata-kata kasarnya tadi. Ia tahu, ia sudah kelewatan — lagi.

Sementara di kamar kecilnya, Syahnaz menatap langit-langit sambil menggenggam ponsel di dada. Air mata menetes perlahan, membasahi bantal.

“Kenapa sih, Darren... selalu kayak gini...” gumamnya lirih.

Di luar, suara kendaraan Jakarta malam terdengar samar. Lampu kota berpendar lembut dari sela jendela kosannya yang belum tertutup rapat.

Syahnaz menarik selimut, menutup wajahnya. “Cukup untuk hari ini... Syahnaz cuma butuh tenang...” bisiknya, sebelum akhirnya tertidur dengan mata masih basah, membawa rasa kecewa, rindu, dan sedikit rasa bersalah yang tak sempat ia ungkapkan.

Sementara di tempat lain, Darren duduk termenung di kursinya, menatap foto Syahnaz di ponselnya yang dia ambil diam diam saat syahnaz ke pantai bersamanya dulu.

Tatapan mata gadis itu yang polos dan tulus terasa menamparnya.

“Maaf, Naz...” ucapnya lirih. “Gue cuma takut... kehilangan lu.”

1
Randa kencana
ceritanya sangat menarik
Goresan_Pena421
Kerenn, novel yang lain sudah duluan menyala, tetaplah berkarya Thor. untuk desain visual bisa juga pakai bantuan AI kalau-kalau kaka Authornya mau desain sendiri. semangat selalu salam berkarya. desain covernya sangat menarik.
Goresan_Pena421: sama-sama kka.
total 2 replies
Goresan_Pena421
☺️ kak kalau mau desain Visualnya juga bisa kak, buat pakai aplikasi Bing jadi nanti Kaka kasih pomprt atau kata perintah yang mau Kaka hasilkan untuk visualnya, atau pakai Ai seperti gpt, Gemini, Cici, atau meta ai wa juga bisa, kalau Kaka mau mencoba desain Visualnya. ini cuma berbagi Saja kak bukan menggurui. semangat menulis kak. 💪
Goresan_Pena421: ☺️ sukses selalu karyanya KA
total 2 replies
Goresan_Pena421
☺️ Bravo Thor, semangat menulisnya.
untuk desain Visualnya bagus membuat para pembaca bisa masuk ke alurnya.

Salam literasi.
Goresan_Pena421
wah keren si udh bisa wisuda di umur semuda itu....
sambil baca sambil mikir berarti lulus SMAnya umur 17th.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!