Ketika Victoria “Vee” Sinclair pindah ke Ashenwood University di tahun terakhirnya, ia hanya ingin belajar dari sutradara legendaris Thomas Hunt dan membuktikan mimpinya. Tapi segalanya berubah saat ia bertemu Tyler Hill, dosen muda yang dingin, sekaligus asisten kepercayaan Thomas.
Tyler tak pernah bermaksud jatuh hati pada mahasiswanya, tapi Vee menyalakan sesuatu dalam dirinya, yaitu keberanian, luka, dan harapan yang dulu ia kira telah padam.
Di antara ruang kelas dan set film, batas profesional perlahan memudar.
Vee belajar bahwa mimpi datang bersama luka, dan cinta tak selalu mudah. Sementara Tyler harus memilih antara kariernya, atau perempuan yang membuatnya hidup kembali.
Sebuah kisah tentang ambisi, mimpi, dan cinta yang menyembuhkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon redberry_writes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 14 - Berbagi Kepedihan
Eddie
Aku nggak pernah berpikir kalau es krim bisa menyelamatkan hari ini, tapi… ya, ternyata bisa juga. Vee duduk di seberangku di Scoops & Beans, sedang makan dua scoop salted caramel dengan drizzle cokelat. Salted caramel. Seperti biasa, membosankan tapi klasik.
Aku sendiri lebih memilih mint chocolate chip, dingin, segar, sedikit berantakan, kayak hidupku. Sekarang, Vee terlihat lebih seperti kakakku yang dulu—yang suka bikin sereal jam dua pagi karena aku merengek kelaparan—daripada calon sutradara yang stres karena tugas film pendeknya.
Oh, dan ada satu hal lagi. Pria itu.
Duduk di sebelahnya. Tinggi, tenang, rambut diikat rapi tapi ada beberapa helai lepas di sisi wajahnya. Turtleneck maroon. Dan, of course, entah kenapa warnanya senada dengan dress bunga pink pastel yang dipakai Vee.
Aku menatapnya curiga. “Jadi, kau siapa?”
Vee langsung salah tingkah, suaranya meluncur terlalu cepat. “Ini Tyler.” Senyumnya terlalu lebar, terlalu dipaksakan. “Dia… temanku.”
Ya, tentu. Teman. Yang kebetulan berpakaian couple dan memesan kopi hitam panas di kedai es krim. Psikopat kah dia?
Tyler menatapku tenang, suaranya ramah dan sopan. “Senang bertemu denganmu.” Sopan sekali, sampai aku merasa harus membalas dengan tatapan tajam.
“Benarkah cuma teman?” tanyaku datar. “Baju kalian senada, tahu.”
“Eddie!” Vee mendesis, hampir menjatuhkan sendok es krimnya.
Tyler tidak banyak bereaksi, tapi aku sumpah melihat ujung bibirnya bergerak sedikit. Menahan tawa.
Aku menyilangkan tangan di dada. “Kalau begitu, apa pekerjaanmu, Tyler? Kau bukan mahasiswa, kan? Pengacara? Akuntan? Kau kelihatan terlalu serius untuk seseorang yang makan es krim malam-malam.”
Tyler menyesap kopinya pelan. “Ya, begitulah.” Santai. Seolah semua pertanyaanku cuma angin lewat.
Vee menendang kakiku di bawah meja.
Aku hanya terkekeh. “Aku cuma mau tahu apakah dia cukup kuat buat bersamamu, Vee. Kamu itu bisa sangat menyebalkan, tahu nggak?”
“Eddie!” Vee nyaris menjerit, tapi pipinya sudah merah.
Dan saat aku mau menertawakannya lagi, Tyler menatap Vee sekilas dan berkata santai, “Dia memang… cukup menyebalkan.”
Aku menatapnya.
Apakah pria dingin ini baru saja meledek kakakku?
Vee langsung menatapnya, mata melebar. “Excuse me?!”
Kali ini, Tyler benar-benar tersenyum sambil menatapnya. Sebuah senyum kecil tapi hangat.
Dan dari cara Vee yang tiba-tiba kehilangan kata-kata, aku tahu pasti bahwa ada sesuatu di antara mereka.
Aku bersandar di kursi, puas.
Oke, mungkin aku bisa tenang sedikit. Siapa pun pria ini, dia bukan sembarangan. Kalau dia bisa bikin kakakku tersipu seperti itu, mungkin dia nggak seburuk dugaanku.
Tapi tetap saja… aku akan memperhatikannya. Kalau dia berani bikin Vee menangis, aku tahu harus mulai dari mana.
\~\~\~
Beberapa jam kemudian, kami sudah dalam perjalanan ke bandara. Mobil sunyi, hanya suara jalan dan napas Vee yang terlalu keras. Dia terus-menerus mengingatkanku tentang cara check-in online, padahal aku jelas-jelas sudah terbang sendiri ke sini. Kadang aku berpikir, siapa sebenarnya yang lebih butuh dijaga di antara kami?
Tyler menyetir tanpa banyak bicara, tapi entah kenapa kehadirannya bikin suasana nyaman.
Ada sesuatu di dirinya—bukan keras, bukan lembut, tapi lebih menenangkan. Seperti seseorang yang tahu kapan harus bicara, kapan cukup diam.
Begitu sampai, Vee keluar lebih dulu. Ia memelukku erat, terlalu erat, sampai aku nyaris nggak bisa bernapas. “Jaga dirimu, ya? Dan kalau Ayah mulai bertingkah aneh lagi, langsung telepon aku.”
“Iya, iya…” gumamku di bahunya. Sekarang aku lebih tinggi darinya, tapi dalam pelukannya, aku tetap merasa jadi anak kecil lagi. Aku menarik napas, menelan rasa perih di dada. “Jangan abaikan pesanku lagi, ya?”
Matanya melembut. Ada rasa bersalah di sana. “Aku janji.”
Aku mengangguk, melepas pelukannya, menyeka air mata cepat-cepat sebelum dia sempat melihat.
Lalu aku berbalik ke arah Tyler yang masih di balik kemudi.
“Tyler,” panggilku.
Ia menatapku, satu alis terangkat. “Ya?”
Aku menelan ludah, berusaha terdengar berani. “Vee… dia satu-satunya yang kupunya. Kalau kau sampai bikin dia menangis, aku bersumpah—nggak peduli berapapun usiamu—aku akan memberimu pelajaran.”
Aku menunggu tawa atau senyum sinis. Tapi tidak ada. Tyler hanya menatapku serius, lalu mengangguk pelan. “Baiklah.”
Satu kata. Tapi rasanya seperti janji.
Aku tersenyum kecil, mengangguk puas, lalu berjalan menuju pintu keberangkatan. Saat menoleh sekali lagi, aku melihat Vee berdiri di depan mobil, matanya mengikuti langkahku sampai aku hilang di kerumunan. Tyler masih di balik kemudi, menatap kami berdua dari kejauhan.
Dan untuk pertama kalinya hari itu, aku merasa tenang. Aku tahu Vee akan baik-baik saja.
Karena ada seseorang yang akan menjaganya saat aku tidak bisa.
Yeah.
Aku pikir… aku menyukainya.
\~\~\~
Tyler
Eddie. Anak itu… menarik.
Masih seperti anak-anak di depan kakaknya, tapi sudah punya cara sendiri untuk menantang dunia. Keras kepala, berani, dan terlalu cepat ingin jadi dewasa demi melindungi orang lain.
Dia mengingatkanku pada diriku sendiri di usia itu—berpura-pura kuat, seolah tak butuh siapa pun, padahal sebenarnya takut sendirian.
Banyak yang terjadi hari ini, terlalu banyak bahkan.
Masa lalu Vee terbongkar di meja makan Thomas Hunt.
Eddie datang, gemetar ketakutan.
Bayangan ayahnya kembali memburu mereka.
Dan aku?
Aku hanya ingin ada di sisinya.
Bukan karena kewajiban, tapi karena aku tahu—ia butuh seseorang untuk bersandar.
Dan entah sejak kapan, aku ingin menjadi orang itu.
\~\~\~
Perjalanan pulang dari bandara hening.
Vee duduk di sebelahku, menatap keluar jendela tanpa benar-benar melihat. Tidak ada suara ceria, tidak ada lelucon, tidak ada tanya-tanya kecil yang biasanya ia lontarkan. Hanya bayangannya sendiri di kaca, berbaur dengan lampu jalan yang berkelebat.
Lalu aku melihatnya.
Bahunya bergetar.
Air mata jatuh, pelan-pelan, lalu deras—seperti bendungan yang pecah.
Aku menepi di tempat pemberhentian terdekat, mematikan mesin. Dan sebelum aku sempat berpikir, aku menariknya ke dalam pelukanku.
Tangisnya pecah sepenuhnya kali ini.
Tubuhnya gemetar di dadaku, tangannya mencengkeram bajuku seolah takut tenggelam.
Suara itu keluar di antara isakannya, “Aku gagal sebagai kakak, Tyler… Aku meninggalkannya. Aku egois. Aku kabur sejauh mungkin, mengejar mimpiku sendiri, sementara Eddie tertinggal di rumah itu… bersama dia.”
Tangannya memukul dadaku pelan, frustrasi. Aku membiarkannya, sampai pukulannya berubah jadi genggaman lemah.
Aku memeluknya lebih erat. “Tidak.” Suara itu keluar lebih pelan dari yang kupikirkan. “Kamu bukan kakak yang gagal, Vee.”
Dia menggeleng. “Iya, aku—”
“Vee.”
Aku melepaskan pelukanku sedikit, agar bisa menatap matanya. Wajahnya penuh air mata, bibirnya gemetar, tapi mata hazelnya… masih indah. Rapuh, tapi hidup.
“Dengarkan aku,” kataku perlahan. “Kamu nggak meninggalkan dia. Kamu bertahan hidup. Dan itu memberinya alasan untuk ikut bertahan. Eddie melihatmu, dan dia tahu ada jalan keluar dari rumah itu—karena kamu sudah membuktikannya.”
Dia terisak lagi, tapi kali ini tanpa suara. Aku kembali menariknya ke dalam pelukanku.
“Aku cuma takut…” bisiknya di dadaku. “Takut kalau semua ini nggak cukup. Kalau semua yang kulakukan masih belum bisa menebus semua hal yang Ayah hancurkan.”
Aku memejamkan mata, menahan napas. Lalu berkata pelan, “Kau punya aku sekarang. Kamu nggak sendirian, Vee.”
Kami diam lama, hanya mendengar hujan yang mulai turun di luar. Hujan memukul lembut atap mobil, dan untuk sesaat dunia terasa berhenti. Tidak ada yang tersisa selain dua orang yang saling berpegangan di tengah kehancuran kecil masing-masing.
Ketika tangisnya mulai reda, aku baru menyadari betapa lama kami diam di sana. Ia melepaskan pelukannya perlahan, tapi tanganku masih di punggungnya—memberi jeda, memastikan ia tidak hancur lagi.
“Kamu hebat, Vee,” kataku akhirnya. “Kamu masih di sini. Masih tersenyum. Itu sudah luar biasa.”
Dia menggeleng, napasnya berat. “Kamu nggak tahu seberapa beratnya, Tyler. Kamu nggak tahu.”
Aku terdiam. Selama bertahun-tahun aku menyimpan semuanya sendiri. Tidak ada yang tahu, kecuali Thomas dan aku. Tapi entah kenapa, dengannya, aku ingin membukanya, luka yang ku pendam itu.
“Aku tahu,” kataku akhirnya.
Dia menoleh, matanya basah tapi penasaran.
“Orang tuaku meninggal waktu aku baru masuk kuliah,” aku melanjutkan. “Kecelakaan di jalan tol. Aku menerima satu telepon, dan semuanya hilang dalam sekejap. Dalam hitungan detik, aku yatim piatu. Aku masih ingat… suara di ujung sana bilang, ‘Kami sudah berusaha semaksimal mungkin.’ Hanya itu..”
Aku menarik napas berat. “Dan ternyata mereka meninggalkan hutang besar. Aku hampir menyerah. Hampir menjual semua yang kupunya, menghilang, hampir berhenti kuliah.”
Matanya membulat, bibirnya terbuka, tapi tak ada suara keluar.
“Thomas…” aku tersenyum samar. “Thomas Hunt-lah yang menolongku. Dia melunasi sebagian besar hutang, memberiku beasiswa, menjadikanku asistennya. Aku tidak tahu kenapa dia melakukannya. Tapi tanpanya, aku tidak akan ada di sini.”
Sunyi.
Hanya hujan di luar, dan napas kami yang pelan.
“Aku tahu rasanya merasa gagal,” kataku akhirnya. “Merasa bertahan hidup itu semacam pengkhianatan. Tapi bukan. Kita masih di sini, Vee. Itu artinya kita belum kalah.”
Dia menatapku lama sekali, seperti baru melihatku benar-benar untuk pertama kalinya. Mata hazelnya—masih lembap, tapi hangat—membuatku sulit berpaling.
Lalu, tanpa sadar, tangannya terangkat. Ia menyentuh lengan bajuku yang tergulung, jemarinya menelusuri tato kecil di sana.
Only connect.
Aku hampir lupa rasanya disentuh seperti itu—pelan, tapi cukup untuk merobohkan pertahanan yang kubangun bertahun-tahun.
“Tyler…” bisiknya, nyaris tak terdengar.
Suaranya menyebut namaku, membuatku kehilangan kendali. Dan tanpa kusadari, aku mulai mendekat. Terlalu dekat. Aku bisa mencium aroma napasnya seperti karamel yang bercampur dengan wangi hujan.
Dan dalam sekejap, aku melihatnya mendekat juga, menutup matanya.
Tapi aku berhenti.
Menutup mata, menunduk, dan menyandarkan kepalaku di bahunya.
Aku kalah.
Kalah dalam pertempuran yang bahkan belum sempat dimulai.
Setelah beberapa detik, aku menjauh pelan, kembali ke posisi semula di belakang kemudi. Ia menatapku, bingung, tapi tidak berkata apa-apa.
Kami diam. Hanya suara hujan yang mengisi jarak di antara kami.
Aku menyalakan mesin mobil, tapi napasku belum stabil. Masih ada aroma karamel di udara. Masih ada sisa getar di dadaku.
Itu bukanlah ciuman, tapi itu jauh lebih berbahaya.
Karena aku tahu, aku sudah menginginkannya.
Lebih dari yang seharusnya.
\~\~\~