Dr. Tristan Aurelio Mahesa, seorang dokter jenius sekaligus miliarder pemilik rumah sakit terbesar, dikenal dingin, tegas, dan perfeksionis. Hidupnya hanya berputar di sekitar ruang operasi, perusahaan farmasi, dan penelitian. Ia menolak kedekatan dengan wanita mana pun, bahkan sekadar teman dekat pun hampir tak ada.
Di sisi lain, ada Tiwi Putri Wiranto, gadis ceria berusia 21 tahun yang baru saja resign karena bos cabul yang mencoba melecehkannya. Walau anak tunggal dari keluarga pemilik restoran terkenal, Tiwi memilih mandiri dan bekerja keras. Tak sengaja, ia mendapat kesempatan menjadi ART untuk Tristan dengan syarat unik, ia hanya boleh bekerja siang hari, pulang sebelum Tristan tiba, dan tidak boleh menginap.
Sejak hari pertama, Tiwi meninggalkan catatan-catatan kecil untuk sang majikan, pesan singkat penuh perhatian, lucu, kadang menyindir, kadang menasehati. Tristan yang awalnya cuek mulai penasaran, bahkan diam-diam menanti setiap catatan itu. Hingga akhirnya bertemu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Keesokan paginya, matahari baru saja menyingkap tirai tipis di jendela besar rumah Tristan. Aroma sup jahe yang mengepul dari dapur menyelinap sampai ke lantai dua. Tiwi sudah sibuk sejak subuh berkeliaran dengan celemek, rambut dikuncir asal, dan wajah penuh semangat, meski semalam tidurnya hanya sebentar karena bolak-balik memeriksa kondisi “pasien”.
“Ya ampun, rasanya aku udah naik level nih. Dari ART jadi perawat, sebentar lagi jangan-jangan bisa dapat gelar dokter juga,” gumam Tiwi sambil mengaduk sup.
Di tangan kirinya sudah siap sticky note berwarna kuning cerah. Ia menulis dengan spidol tebal:
‘Pasien Vampir, jangan nekat turun sebelum aku suruh. Kalau bandel, sumpah tak bikin pengumuman di lobi RS: dokter paling dingin tumbang gara-gara masuk angin.’
Dengan puas, Tiwi menempelkan kertas itu tepat di pintu kamar Tristan sebelum masuk.
Tristan masih berbaring, matanya baru setengah terbuka. Ia tampak lemah, tapi sedikit lebih baik daripada semalam. Saat pintu dibuka, ia langsung mendengar suara khas Tiwi yang selalu ribut mendahului tubuhnya.
“Selamat pagi pasien VIP! Bagaimana tidurnya? Demam turun? Kalau bohong, aku punya termometer loh. Jangan coba-coba ngibul, nanti aku jadi detektif kesehatan.”
Tristan menutup mata kembali. “Kamu… terlalu berisik pagi-pagi.”
Tiwi mendecak. “Ya ampun, manusia mana coba yang masih bisa protes kalau lagi sakit? Harusnya bersyukur punya ART yang sekaligus jadi perawat full package.”
Ia duduk di tepi ranjang, menaruh nampan berisi bubur hangat, air putih, dan obat. “Oke, sekarang sarapan. Jangan banyak alasan. Nih, aku udah bikin sup jahe spesial biar badan kamu anget. Kalau nggak mau, siap-siap aku telepon Mama Tina.”
Tristan mendesah berat. “Kamu pakai Mama buat ngancam terus.”
“Ya jelas dong. Itu jurus pamungkas. Sekarang ayo, buka mulut.”
Dengan pasrah, Tristan menuruti. Tiwi menyuapinya perlahan, lalu menyelipkan komentar di sela-sela sendok.
“Nah gitu. Kamu tuh mirip bayi tau nggak? Bedanya, bayi biasanya lucu. Kalau kamu? Ya dingin. Tapi nggak apa-apa, aku bisa bikin kamu jadi bayi versi limited edition.”
Tristan hampir tersedak. “Tiwi…”
“Apa?”
“Kamu…” ia berhenti sebentar, menatap wajah Tiwi yang sumringah. “…kamu keterlaluan.”
Tiwi justru senyum lebar. “Keterlaluan itu nama tengahku, Dok.”
Setelah sarapan, Tiwi sibuk menata obat-obatan di meja nakas. Ia bahkan menulis jadwal minum obat besar-besar di sticky note, lalu menempelkannya di dinding kamar.
‘Jam 10: obat biru. Jam 2 siang: obat putih. Jam 8 malam: vitamin. Kalau bandel, siap-siap ceramah 2 jam full.’
Tristan hanya bisa menghela napas. “Kamu kira aku pasien anak-anak?”
“Bukan anak-anak. Pasien keras kepala. Lebih parah!” Tiwi menunjuk hidungnya sendiri dengan bangga. “Untung ada aku. Kalau nggak, kamu bisa-bisa pingsan sendirian kayak semalam. Serem tau!”
Diam-diam, meski wajahnya tetap dingin, Tristan merasa dadanya menghangat. Ada sesuatu dalam perhatian Tiwi yang berbeda—bising, tapi tulus.
Menjelang siang, Tiwi membawa laptopnya ke kamar Tristan. “Oke, karena kamu nggak boleh kerja, aku bakal ngawasin. Laptop kamu aku sita. Kamu cuma boleh main Sudoku atau nonton drama Korea bareng aku. Setuju?”
Tristan mengangkat alis. “Aku punya pasien.”
“Pasien bisa ditunda. Kesehatanmu dulu. Kalau kamu nekat pergi, aku iket kamu di ranjang ini, Dokter lain juga banyak di rumah sakit.”
Tristan menatapnya tajam, tapi Tiwi malah nyengir. “Eh, jangan mikir aneh-aneh ya. Iketnya pake tali jemuran, bukan yang lain-lain.”
Untuk pertama kalinya, Tristan tak bisa menahan senyum tipis. Ia langsung menutup wajah dengan selimut agar Tiwi tak melihat jelas.
Tapi tentu saja, Tiwi sadar. “HAHA! Aku liat tuh! Kamu senyum! Ya ampun, vampir es batu akhirnya mencair juga. Bentar, bentar, aku catet dulu di sticky note: ‘Hari ini, tanggal sekian, pasien vampir resmi senyum ke aku’.”
Tristan menghela napas keras. “Kamu gila.”
“Gila manis,” Tiwi menambahkan cepat.
Sore harinya, Tristan akhirnya bisa duduk di tepi ranjang. Demamnya mulai turun, meski tubuhnya masih lemas. Tiwi berdiri di depannya dengan tangan berkacak pinggang.
“Good. Kamu udah lebih baik. Tapi jangan sok kuat. Aku tau banget tipe cowok kayak kamu baru bisa duduk aja udah sok mau kerja lagi. Jangan coba-coba.”
Tristan menatapnya datar. “Kamu pikir kamu siapa?”
“Loh dokter lupa aku siapa, aku ini ART limited edition, perawat dadakan, dan calon menantu idaman Para Mama” Tiwi mengedip nakal.
Tristan terdiam, wajahnya sedikit memerah. “Tiwi…”
“Ya?”jawab Tiwi
“Diam sebentar bisa tidak?”tany Tristan
“Tidak bisa,” jawab Tiwi cepat. “Kalau aku diam, rumah ini sepi kayak kuburan. Kamu malah bisa stres. Jadi biarin aja aku ngoceh, demi kesehatan mentalmu juga.”
Tristan memijat pelipis, setengah frustasi, setengah terhibur.
Malam datang. Tiwi masih berkeliaran dengan segudang sticky note. Ia menempelkan di pintu kamar, lemari, bahkan cermin kamar mandi.
Di pintu kamar:
‘Pasien jangan kabur kerja malam-malam. Kalau kabur, siap-siap aku jadi satpam pribadi.’
Di lemari:
‘Pilih baju yang hangat, jangan nekat pakai jas tipis. Aku awas loh.’
Di cermin:
‘Dokter paling ganteng kalau sehat. Jadi sembuh cepet, ya!’
Tristan hanya bisa menggeleng melihat hasil karya seni aneh itu. “Kamu benar-benar tidak waras.”
Tiwi menjawab dengan bangga, “Ya jelas. Kalau aku waras, aku nggak mungkin tahan sama kamu yang dingin kayak freezer.”
Beberapa hari kemudian, kondisi Tristan semakin membaik. Ia sudah bisa berjalan keliling rumah, meski Tiwi masih melarang keras kembali ke rumah sakit.
---
Pagi itu, ia menemukan Tiwi tertidur di sofa ruang tengah, pelukannya masih mengenggam botol air hangat. Rambutnya berantakan, wajahnya lelah, tapi tetap ada senyum kecil di bibirnya seakan sedang bermimpi indah.
Tristan berdiri lama menatapnya. Untuk pertama kalinya, ia merasa… rumahnya tidak lagi sepi. Ada tawa, ada suara ribut, ada kehangatan yang anehnya membuatnya tenang.
Perlahan, ia membenarkan selimut Tiwi. Hatinya berdesir, meski bibirnya masih tetap datar.
“Limited edition…” gumamnya lirih. “Memang benar.”
Dan sejak hari itu, Tristan tahu Tiwi bukan sekadar ART cerewet. Ia sudah jadi bagian penting dari hidupnya.
Bersambung…
weezzzzz lah....di jamin tambah termehek-mehek kamu....🤭
Siapa sih orang nya yang akan diam saja, jika dapat perlakuan tidak baik dari orang lain? Tentunya orang itu juga akan melakukan pembalasan balik.
Lope lope sekebon Author......🔥🔥🔥🔥🔥
Tak kan mudah kalian menumbangkan
si bar bar ART.....💪🔥🔥🔥🔥🔥