Di tengah gemerlap kota, kegelapan purba bangkit.
Satu per satu, para elite yang telah "bertobat" ditemukan tewas dalam ritual penyiksaan yang mengerikan. Mantan preman, pengusaha licik, semua yang kini dermawan, tubuhnya dipajang sebagai altar dosa masa lalu mereka.
Sang pembunuh tidak meninggalkan sidik jari. Hanya sebuah teka-teki teologis: ayat-ayat Alkitab tentang murka dan penghakiman yang ditulis dengan darah.
Media menjulukinya: "Sang Hakim".
Ajun Komisaris Polisi (AKP) Daniel Tirtayasa, detektif veteran yang hidupnya ditopang oleh iman, ditugaskan memburu bayangan ini.
Namun, perburuan kali ini berbeda. Sang Hakim tidak hanya membunuh; ia berkhotbah dengan pisau bedah, memutarbalikkan setiap ayat suci yang Daniel pegang teguh. Setiap TKP adalah kapel penghujatan yang menantang eksistensi pengampunan.
Kini, perburuan ini menjadi personal.
Mampukah Daniel menangkap Sang Hakim sebelum imannya sendiri hancur berkeping-keping?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14
Ruang komando Satgasus kini beroperasi dua puluh empat jam. Di dalamnya, waktu tidak lagi relevan; yang ada hanyalah siklus kafein dan kelelahan. Papan tulis putih yang tadinya bersih kini telah menjadi kanvas yang kacau. Di puncaknya, AKP Daniel Tirtayasa telah menuliskan poin-poin kunci dari profil Dr. Maya:
• SANGAT CERDAS & TERORGANISIR
• KOMPLEKS TUHAN / MESIANIK
• OBSESI PADA "PENEBUSAN PALSU"
• LUKA PSIKOLOGIS (TERKAIT PENGAMPUNAN)
• MENJALANI KEHIDUPAN GANDA (DIHORMATI/NORMAL)
Ini bukan lagi profil pembunuh; ini adalah deskripsi dari sebuah ideologi.
Daniel berdiri di depan timnya. Wajah-wajah lelah itu menatapnya dengan ekspektasi baru. Mereka tidak lagi berburu hantu. Mereka berburu tipe manusia.
“Baik, tim,” Daniel memulai, suaranya tenang namun tegas. “Papan ini adalah peta pikiran musuh kita. Dr. Maya telah memberi kita kompasnya. Sekarang, kita petakan ladang perburuannya. Kita tahu tipe orang yang dia incar: ‘Pendosa yang diampuni’. Bagaimana kita mengubah konsep abstrak itu menjadi data?”
Kompol Reza adalah yang pertama angkat bicara, matanya merah menatap laptopnya. “Profil digital, Ndan. Ini pekerjaan besar. Saya bisa merancang algoritma untuk menyisir arsip berita digital, postingan media sosial publik, dan database perusahaan dua puluh tahun terakhir. Kita cari kombinasi kata kunci. Nama seseorang yang muncul bersamaan dengan istilah ‘donasi’, ‘yayasan amal’, ‘kisah inspiratif’, atau ‘pertobatan’, yang juga memiliki kaitan dengan arsip kriminal atau kontroversi masa lalu.”
“Cara lama lebih bisa diandalkan,” sela Iptu Hasan, detektif veteran. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi. “Buka lemari arsip Jatanras. Kasus-kasus besar era 90-an dan awal 2000-an. Kita lacak pelakunya. Siapa yang sudah bebas? Apa yang mereka lakukan sekarang? Banyak preman tua yang sekarang punya KTP dengan jabatan ‘Direktur Utama’.”
Ipda Adit, yang sejak tadi mencatat, mengangkat kepala. “Mungkin kita bisa dekati dari sisi ‘pengampunan’-nya, Ndan. Lembaga keagamaan, gereja, masjid. Mereka mungkin punya catatan tentang jemaat atau donatur besar yang kisah pertobatannya sangat menonjol.”
Daniel mengangguk. “Bagus. Tiga cabang serangan. Reza, sapu dunia digital. Hasan, gali kuburan lama di arsip kita. Adit, dekati komunitas keagamaan; lakukan dengan hati-hati. Kita lihat jaring siapa yang menangkap ikan lebih dulu.”
Tiga hari berikutnya, ruang komando berubah menjadi pabrik data. Dengungan server Reza menjadi musik latar mereka. Printer di sudut tidak henti-hentinya memuntahkan artikel berita lama dan catatan kriminal.
Pada hari keempat, suasana di ruangan itu terasa berat.
“Ndan,” suara Ipda Adit terdengar lelah. Ia berdiri di depan papan tulis yang kini ditempeli ratusan lembar kertas kecil. Foto-foto wajah, nama, dan diagram koneksi yang rumit. “Jumlahnya terus bertambah. Ini baru dari data digital Reza dan laporan awal komunitas yang saya hubungi. Kita sudah melewati 400 nama.”
Hasan melempar sebuah map tebal ke atas meja. "Arsipku juga sama saja. Ada puluhan nama yang cocok. Ini daftar penumpang kapal yang akan menabrak gunung es. Bagaimana kita bisa melindungi semua orang ini? Kita butuh seribu orang."
Daniel menatap papan itu. Ia memahami keputusasaan mereka. 421 nama. “Kita tidak bisa melindungi semuanya,” kata Daniel. “Dan kita tidak perlu. Kita hanya perlu berpikir selangkah di depan Sang Hakim. Kita hanya perlu menemukan satu nama yang paling bersinar di matanya.”
Saat itulah Daniel memutuskan sudah waktunya memanggil para ahlinya.
Melalui layar monitor besar, wajah Dr. Maya Sari dan Dr. Samuel Adhinata muncul, menatap ke dalam ruang komando yang penuh data.
“Seperti yang bisa Anda lihat,” Daniel memulai, suaranya terdengar lelah. “Profil Anda, Dokter Maya, telah membuka pintu air. Kami sekarang memiliki 421 nama di Jabodetabek yang cocok dengan kriteria ‘pendosa yang diampuni’. Kami kewalahan. Kami butuh bantuan Anda untuk menyaringnya. Kami butuh bantuan untuk menemukan jarum di tumpukan jerami ini.”
Dr. Maya mengamati daftar yang ditampilkan Reza di layar. Ia mengangguk perlahan, matanya yang analitis memindai.
“Anda harus berhenti berpikir seperti polisi yang mencari target, Komandan,” kata Dr. Maya. “Anda harus mulai berpikir seperti sutradara teater yang mencari aktor utama. Sang Hakim adalah seorang narsisis dengan misi. Pembunuhannya adalah pementasannya. Dia tidak akan memilih aktor figuran untuk peran utama.”
“Apa maksud Anda?” tanya Daniel.
“Maksud saya, cari yang narasinya paling dramatis,” jelas Maya. “Abaikan mereka yang pertobatannya sunyi dan personal. Sang Hakim tidak tertarik pada itu. Dia akan mencari korban yang ceritanya menjadi cermin bagi kebesarannya sendiri. Saring daftar itu. Prioritaskan mereka yang kisah penebusannya paling publik, paling sering diliput media, paling dipuji-puji sebagai ‘kisah inspiratif’.”
Mata Dr. Maya kini terasa menusuk, bahkan melalui layar. “Semakin besar citra kesucian mereka di mata publik, semakin memuaskan bagi Sang Hakim untuk menghancurkannya. Dia tidak mencari penebusan; dia mencari kemunafikan.”
Wawasan itu seperti seberkas cahaya. Hasan dan Adit saling berpandangan.
Kemudian, Dr. Samuel angkat bicara, suaranya yang tenang dan logis memberikan lapisan lain pada analisis Maya.
“Saya setuju sepenuhnya dengan pendekatan psikologis dari Dokter Maya,” kata Samuel. “Dan saya bisa menambahkan perspektif forensik dan perilaku. Pelaku yang sangat terobsesi pada kontrol seperti Sang Hakim akan meminimalkan variabel.”
“Variabel?” tanya Adit.
“Orang asing,” jawab Samuel. “Saksi. Keamanan yang tidak terduga. Target yang terkenal dan kehidupannya terdokumentasi dengan baik di media adalah target yang ‘bersih’. Dia bisa mempelajari kebiasaan mereka, jadwal mereka, keamanan mereka dari jarak jauh melalui media sosial, wawancara majalah, laporan berita. Dia tidak akan memilih target dari kalangan bawah yang hidupnya tidak terduga. Dia akan memilih seseorang yang riwayat hidupnya sudah seperti buku yang terbuka, yang bisa ia pelajari sebelum ia menyerang.”
Kedua ahli itu, dari sudut pandang yang berbeda, sampai pada kesimpulan yang sama.
Publik. Terkenal. Terekspos.
Setelah panggilan video itu berakhir, sebuah semangat baru yang lebih tajam mengalir di dalam tim. Mereka kini memiliki filter.
“Reza,” perintah Daniel, suaranya kembali penuh otoritas. “Jalankan lagi algoritma-mu. Lupakan catatan kriminal kecil. Fokus pada kejahatan besar: pembunuhan, penipuan skala besar, korupsi. Lalu, tambahkan filter popularitas. Saring daftar 421 nama itu berdasarkan jumlah pemberitaan di media, jumlah pengikut media sosial, dan kemunculan di acara-acara publik dalam lima tahun terakhir. Aku ingin 50 nama teratas.”
Reza mengangguk, jari-jarinya kembali menari di atas keyboard. “Filter: Kejahatan Besar + Popularitas Publik. Sedang berjalan, Ndan.”
Daniel menatap sisa timnya. “Hasan, Adit. Setelah daftar itu keluar, kita bagi 50 nama itu. Kita akan mulai memeriksa kehidupan mereka satu per satu, lebih dalam dari sebelumnya. Kita akan mencari tahu siapa di antara mereka yang khotbah penebusannya paling lantang. Cukup lantang untuk menarik perhatian Sang Hakim.”
Beberapa menit kemudian, di layar utama, sebuah daftar baru muncul. Angka 421 menyusut dengan cepat… 312… 180… 97… dan akhirnya berhenti di angka 50.
Lima puluh nama. Foto-foto mereka berbaris seperti dalam buku tahunan sebuah sekolah elite. Pengusaha, politisi, mantan artis, tokoh agama.
“Ini dia,” kata Daniel, menatap daftar itu.
Daftar itu masih terasa sangat panjang. Lima puluh nyawa potensial. Lima puluh bom waktu yang terus berdetak.
“Sekarang kita punya daftar,” kata Hasan, suaranya serak. “Lalu apa? Kita pasang satu polisi di depan rumah mereka masing-masing? Kita tidak punya cukup orang.”
“Kita tidak akan menjaga mereka,” kata Daniel, matanya terpaku pada daftar itu. “Kita akan memburu Sang Hakim. Kita akan memprioritaskan daftar ini. Kita akan mencari siapa yang paling ‘sempurna’. Siapa yang dosanya paling gelap, dan siapa yang citra sucinya paling bersinar.”
“Kita mulai dari nomor satu,” kata Daniel. “Reza, tampilkan semua data tentang target pertama. Mari kita bedah hidupnya.”
Ladang perburuan itu telah dipetakan. Perburuan sesungguhnya, untuk menyelamatkan nyawa berikutnya, baru saja dimulai.