"Aku mau kita putus!!"
Anggita Maharani, hidup menjadi anak kesayangan semata wayang sang ayah, tiba-tiba diberi sebuah misi gila. Ditemani oleh karyawan kantor yang seumuran, hidupnya jadi di pinggir jalan.
Dalam keadaan lubuk hati yang tengah patah, Anggita justru bertemu dua laki-laki asing setelah diputuskan pacarnya. Jika pepatah mengatakan tak kenal maka tak sayang, kalau ini malah tak kenal tapi berujung perjodohan.
Dari benci bisa jadi tetap benci. Tapi, kalau jadi kekasih bayaran ... Akan tetap pura-pura atau malah beneran jatuh cinta?
Jangan lupa follow kalau suka dengan cerita ini yaa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zennatyas21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
JSD BAB 14
Menatap meja makan yang kosong membuat Anggita mengernyit. Ia baru turun dari kamar berjalan menuju ruang makan.
"Loh, kok kosong nih. Bi Unah mana? Udah malem loh, tumben banget," gumam Anggita pelan.
Dari kamar tamu dekat ruang makan pintu terbuka sedikit. Munculah seorang pria yang tak lain adalah Anggara.
"Bi Unah lagi diantar sama Pak Ragil pulang ke kampung. Katanya ada kumpul keluarga, jadi Ayah izinin mereka sekaligus sama Pak Ragil juga."
Mendengar penjelasan itu Anggita mengangguk paham. "Ya udah, kalau gitu aku masak sendiri aja deh. Laper juga ini perut."
"Suami kamu juga udah di dapur tuh, masa kamu kalah sama Widi."
Seketika Anggita melongo. "Hah? Seorang preman lagi di dapur? Masak apaan? Wah, jangan-jangan masak hasil sayur nyuri di pasar tuh. Ck, gak beres, patut dicurigai," cerocosnya.
Anggita muncul ke dapur dengan gaya petantang-petenteng seperti emak sedang mencari anaknya.
Yah, benar juga. Widi ada di sana, tapi kok mencuci piring?
"Lah, lo kan suami gue, kenapa malah jadi lo yang masak? Lo pikir gue gak bisa masakin buat suami?!" Gita memarahi Widi, sedangkan yang dimarahi sibuk sendiri.
Karena Gita melihat makanan yang dibuat sudah selesai, kini saatnya ia bertempur dengan sang suami.
"Aku bukan gak menghargai kamu, ya aku begini biar kamu gak kelaparan aja," jawab Widi tenang.
Namun, Anggita justru semakin dibuat bingung. Sebab, sejak kapan si suami itu bisa bersikap dingin?
"Halah, ya udah buruan bawa ke meja makan! Malam begini masa nasi goreng sama ayam!" protes Gita lirih.
"Ya aku masak dengan bahan seadanya."
Beralih ke meja makan Anggita sedikit terkejut ketika Ayahnya tiba-tiba sudah ada di ruang makan.
"Ehh ... Ayah, udah lama kah?" tanya sang anak pura-pura manis.
Anggara tersenyum sekilas. "Kamu jangan marah-marah loh sama suamimu. Ingat, Gita, kamu itu sudah dewasa. Kamu tahu gak kalau tadi ayah habis nonton berita katanya ada istri yang gak sayang sama suami, ehh pas suaminya kerja tiba-tiba dibunuh sama seseorang. Dan kamu tahu gimana akhirnya? Suaminya udah gak ada loh, Git." Anggara menceritakan apa yang telah ditontonnya pada sang anak.
Seketika Anggita terdiam. Kepalanya sedikit tertunduk menatap piring yang masih kosong.
"Kasihan istrinya yang ditinggal ya, Pak. Terus memang di luar rumah saat ini benar-benar sedang tidak aman sih, kemarin salah satu temanku juga ada yang dibacok," ujar Widi.
Secara langsung Anggara terkejut, beliau menghentikan acara makannya. "Serius kamu, Wid? Lalu, kronologinya gimana?"
Diam-diam pula Anggita melirik ke arah Widi. "Gak beda sama yang Bapak tonton di berita, cuma teman saya alhamdulilah masih bisa diselamatkan. Saya sarankan juga Bapak harus selalu dengan asisten pribadi sebagai penjaga, karena di sekitar rumah ini banyak mata-matanya.m," jelas Widi. Membuat Anggita mendongak. Wajahnya malah khawatir.
"Tapi, untuk apa mereka jaga rumah ini?" tanya Pak Anggara.
Sebelum menjawab Widi lebih dulu menghela napas. "Mereka sebenarnya mengincar aku, karena dua tahun aku gak mereka dapatkan dengan cara dibunuh."
Uhukk
Anggita mendadak tersedak saat mencoba makan satu suap sambil mendengarkan cerita Widi. "Eh, maaf, aku gak bermaksud ngagetin." Widi ingin menyentuh Anggita pun berakhir mengambang dan tak jadi.
"Anggita kenapa?" Kali ini Gita mendapat pertanyaan dari Ayahnya.
Widi juga terlihat jelas menatap Anggita yang diam. "Gak apa-apa, mungkin aku kaget aja. Soalnya belum pernah ada orang di rumah ini yang jadi sasaran mau dibunuh."
"Kamu tenang aja, mereka gak akan nyerang kalian kok. Mereka cari aku, yang pasti kalian aman," celetuk Widi, melanjutkan makan malamnya.
Anggara merasa ada yang tidak beres. "Dua tahun kamu dijadikan buronan? Jadi, mereka siapa? Tidak mungkin kalau hanya sebatas preman seperti kamu, Widi."
Lagi-lagi orang yang duduk bersebrangan dengannya itu berhenti makan. "Mereka di masyarakat memang dikenal preman pasar dan tukang malak, tapi kalau dimata sama-sama preman mereka itu gak sekadar orang biasa. Bisa dikatakan bahaya, tapi ya sudah lebih baik jangan dibahas semakin dalam, Pak."
"Berarti lo— ehm, maksudnya Mas bakal terus dikejar sampai ...."
"Iya, sampai dibunuh. Karena menurut mereka aku yang paling keras suka menantang kalau mendapatkan perintah yang bagiku itu menyakitkan untuk orang-orang kecil."
Begitu mendengar jawaban dari Widi, Anggita langsung menyorongkan kursinya. Ia menghadap ke Widi.
"Wid— eh, Mas, boleh peluk gak?"
Sontak keadaan seakan dibungkam oleh pertanyaan dari Anggita. Terlebih lagi melihat Anggara yang diam-diam menahan senyum.
"Hah? Oh, yaa boleh."
Tanpa lama Anggita langsung memeluk Widi sangat erat sekali. Bahkan laki-laki itu nyaris tak bisa bernapas tenang. Sementara Anggara? Jelas memalingkan wajahnya usai melihat adegan berpelukan tersebut.
"Gue emang gak cinta sama lo, Wid. Tapi, gue juga masih punya hati. Gue gak mau lo jadi sasaran preman sialan itu, lo lebih berharga tau gak sih ...."
Jantung Widi seketika berhenti berdetak dua detik. Apa ini? Anggita menangis?
"Ehm, yang penting aku gak lari dari tanggung jawab sebagai suami. Meskipun kita dijodohkan tapi aku tetap ada tanggung jawabnya yang bukan hal kecil, soal sasaran itu gak apa-apa, jangan dipikirin terus."
Dirasa sudah selesai makan, Anggara tanpa kata segera pindah dari ruang yang sudah dipenuhi hawa cinta itu. Kini hanyalah tinggal dua orang masih berpelukan erat.
Dua detik kemudian Anggita melepas pelukan. Matanya lekat menatap Widi. "Gue tau lo ini preman yang mungkin ditakutin sama orang dan bukan musuh sembarangan buat orang yang ngincer lo selama dua tahun itu. Tapi, dimata gue lo itu tetap suami gue. Tentunya orang yang gue sayang dan gak boleh pergi lah dari hidup gue."
Mata Anggita sudah merah, hidungnya pun mulai mengeluarkan ingus karena ia menangis secara tiba-tiba.
"Tapi, kita kan dijodohkan, Anggita. Kita gak tahu nanti atau kapan kita bisa tiba-tiba berpisah. Mungkin juga saling membenci satu sama lain. Karena kamu belum tahu soal aku semuanya."
Air mata kekhawatiran itu berubah drastis menjadi air yang seakan membentuk kekecewaan. Ya, lekuk senyum di bibir Anggita kini tampak kecut. Widi pun menyadari hal itu. Namun, ia tetap diam dan menunggu apa tanggapan istrinya.
"Oh, belum tahu, ya? Oke! Kasih tahu semuanya! Bongkar aja soal lo baik buruknya kayak apa!"
Tatapan tajam itulah yang membuat Widi yakin untuk berterus terang tentang dirinya sendiri.
"Aku ini preman suruhan. Tugasnya, aku ... Harus bisa membunuh kamu dan ayah kamu."
"Apah!?"
hai kak, aku mampir, cerita kakak bagus💐