—a dark romance—
“Kau tak bisa menyentuh sayap dari kaca… Kau hanya bisa mengaguminya—hingga ia retak.”
Dia adalah putri yang ditakdirkan menjadi pelindung. Dibesarkan di balik dinding istana, dengan kecantikan yang diwarisi dari ibunya, dan keheningan yang tumbuh dari luka kehilangan. Tak ada yang tahu rahasia yang dikuburnya—tentang pria pertama yang menghancurkannya, atau tentang pria yang seharusnya melindunginya namun justru mengukir luka paling dalam.
Saat dunia mulai meliriknya, surat-surat lamaran berdatangan. Para pemuda menyebut namanya dengan senyum yang membuat marah, takut, dan cemburu.
Dan saat itulah—seorang penjaga menyadari buruannya.
Gadis itu tak pernah tahu bahwa satu-satunya hal yang lebih berbahaya daripada pria-pria yang menginginkannya… adalah pria yang terlalu keras mencoba menghindarinya.
Ketika ia berpura-pura menjalin hubungan dengan seorang pemuda dingin dan penuh rahasia, celah di hatinya mulai terbuka. Tapi cinta, dalam hidup tak pernah datang tanpa darah. Ia takut disentuh, takut jatuh cinta, takut kehilangan kendali atas dirinya lagi. Seperti sayap kaca yang mudah retak dan hancur—ia bertahan dengan menggenggam luka.
Dan Dia pun mulai bertanya—apa yang lebih berbahaya dari cinta? Ketertarikan yang tidak diinginkan, atau trauma yang tak pernah disembuhkan?
Jika semua orang pernah melukaimu,
bisakah cinta datang tanpa darah?
Di dunia tempat takdir menuliskan cinta sebagai kutukan, apa yang terjadi jika sang pelindung tak lagi bisa membedakan antara menjaga… dan memiliki?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14
Namun keributan itu mulai menarik perhatian lebih besar.
Orang-orang berkerumun. Beberapa dari mereka mulai mengeluarkan Gulf untuk merekam. Dan yang paling berbahaya—seseorang meneriakkan bahwa prajurit penjaga kota Argueda sedang datang mendekat.
Kael tidak menunggu lebih lama.
Dengan satu hentakan kasar, ia melepaskan diri dari cengkeraman dua pria yang menahannya. Gerakannya cepat dan liar, cukup mengejutkan mereka yang menahannya.
Lalu dia langsung menyambar pergelangan tangan Ara.
Tanpa berkata apa-apa, tanpa sempat memastikan Ara siap, Kael menyeretnya pergi menembus kerumunan. Langkahnya cepat, nyaris seperti berlari. Tubuhnya penuh amarah dan darah.
Ada darah mengalir dari sudut bibirnya.
Beberapa luka memar mulai tampak di wajahnya. Di bawah mata kirinya, di pelipis, dan satu goresan panjang di rahang.
“Kael—” Ara tersendat, terseret oleh langkahnya. “Tunggu—Kael, pelan—”
“Diam,” katanya pendek. Nadanya dingin, penuh bara.
Dia tidak menoleh. Tidak bicara lagi. Hanya mencengkeram tangan Ara seolah takut kehilangannya.
Dan di belakang mereka, Domias berdiri sambil menyeka darah dari hidungnya, menatap kepergian mereka dengan tatapan penuh racun.
Sementara suara siulan penjaga kota mulai terdengar dari arah lain.
Mereka harus pergi.
Sebelum semuanya menjadi lebih buruk.
...****************...
Saat Kael merasa cukup jauh dari kerumunan, ia akhirnya melambat. Nafasnya masih terengah—lebih karena amarah ketimbang lelah. Tangan Ara masih dalam genggamannya, meskipun cengkeramannya sudah tidak sekuat tadi.
Ia berhenti di lorong kecil di antara dua bangunan toko, di bawah atap logam yang meneteskan sisa hujan.
Kemudian, Kael merogoh saku celananya.
Sebuah getaran terasa. Gulf—yang sebelumnya diklaimnya tidak dibawa—bergetar pelan. Layarnya menyala menampilkan panggilan masuk. Tania.
Kael mengangkatnya tanpa berkata apa-apa.
Suara Tania langsung terdengar, cepat dan penuh nada khawatir.
“Kael, kami sudah ada di rumah Alvero. Tapi dia pesan… kau harus bawa Ara menginap. Jangan pulang malam ini.”
Kael tidak langsung menjawab. Matanya menatap kosong ke kejauhan, sementara Ara berdiri di sisinya, masih basah, masih syok.
“…Alvero bilang begitu?” suara Kael akhirnya terdengar rendah dan datar.
“Ya. Dia bilang akan jelaskan besok. Jangan tanya kenapa. Bawa Ara, dan pastikan dia aman.”
Klik. Sambungan terputus.
Kael menyimpan kembali Gulf-nya dengan gerakan tenang, tapi rahangnya mengeras. Dia lalu menoleh ke Ara. Matanya gelap dan sulit dibaca.
“Kau dengar,” katanya singkat. “Kita tidak pulang malam ini.”
...****************...
Ara berjalan dengan canggung di dalam kamar. Kakinya masih sedikit basah, rok panjangnya lembab dan berat, membuat langkahnya terasa kikuk.
Kael membawa Ara ke rumah keluarganya. Namun, bukan untuk mempertemukannya dengan anggota keluarga lain… atau meminjamkan salah satu kamar tamu yang—tentu saja—pasti ada di rumah keluarga bangsawan sepertinya.
Tidak.
Dia justru langsung menarik Ara ke kamarnya sendiri. Menutup pintunya. Lalu meninggalkannya berdiri di tengah ruangan.
Kamar itu tidak seperti yang Ara bayangkan dari seorang anak bangsawan. Tidak ada lukisan besar, karpet mahal, atau lampu gantung berkilauan seperti di kamar Elvero.
Justru sebaliknya—kamar ini bersih dan rapi, namun sederhana. Furniturnya minimal. Hanya tempat tidur lebar dengan sprei abu-abu gelap yang tampak tak banyak disentuh, rak buku yang tersusun rapi, meja kerja penuh catatan dan pena logam.
Di sudut ruangan, ada alat musik yang mirip gitar, tapi bukan. Bentuknya ramping dan elegan, dengan senar-senar perak yang terlihat seperti jarang dimainkan.
Dan dari sekian banyak kamar… Kael membawanya ke sini.
Ke ruang yang paling pribadi.
Ara menelan ludahnya, lalu menoleh ke Kael, yang kini sedang melepaskan jasnya, menggantungkannya dengan tenang di belakang pintu.
“Kau tidak… meminjamkan kamar lain?” tanya Ara, suaranya rendah dan sedikit gemetar.
Kael menoleh singkat dari lemari tempat ia mengambil handuk, lalu menjawab tanpa banyak ekspresi, “Tidak perlu. Tempat tidurku cukup luas untuk kita berdua. Kecuali gaya tidurmu jelek seperti gangsing.”
Ara mengerutkan kening. “Aku tidak tidur seperti gangsing…”
Kael mengangkat bahu seolah tak yakin, lalu berjalan melewatinya menuju kamar mandi. “Kalau begitu, buktikan malam ini,” ucapnya, ringan namun menggantung.
Pintu kamar mandi menutup.
Ara berdiri di tengah kamar yang sunyi, menatap ranjang luas di hadapannya seolah itu adalah perangkap. Ia bisa mendengar derasnya air dari balik pintu, dan aroma lembut sabun yang mulai menyebar.
Perlahan ia menurunkan tasnya. Mengamati buku-buku Kael yang tertata rapi di meja, alat musik bersandar di pojok, dan selimut abu-abu yang dilipat setengah di ujung ranjang. Tidak ada barang perempuan di sini. Tidak ada aroma Tania. Tidak ada tanda siapa pun pernah berbagi ruangan ini dengan Kael sebelumnya.
Dan mungkin itu yang membuat jantung Ara berdegup lebih cepat.
Ketika Kael keluar beberapa menit kemudian dengan rambut basah dan kaus tipis melekat di tubuh, Ara buru-buru membuang pandangan.
“Kalau kau butuh baju ganti, laci bawah kanan,” katanya sambil duduk di tepi ranjang, memeriksa bekas luka di bibirnya di cermin kecil.
Ara tidak bergerak.
“Aku tidak akan menyentuhmu,” lanjut Kael, tanpa menoleh. “Kalau itu yang membuatmu membeku seperti kucing kehujanan.”
Ara meremas ujung bajunya.
“Bukan itu,” bisiknya, meski ia sendiri tak tahu apakah itu benar.
Kael menarik kaus miliknya dari laci, sebuah kaus abu-abu longgar yang tampak sering dipakai, lalu melemparkannya ke arah Ara. Ara menangkapnya dengan refleks pelan, aroma sabun dan sesuatu yang khas dari Kael langsung menyelinap ke hidungnya.
“Ada handuk di dalam kamar mandi,” katanya singkat. “Kau bisa pakai.”
Ara mengangguk kecil, masih tidak berani melihat wajahnya. Ia berjalan menuju kamar mandi, melewati Kael yang berdiri di dekat pintu. Bahu mereka hampir bersentuhan, dan detik itu terasa lebih panjang dari biasanya.
Kael tak mengatakan apa pun. Tapi saat Ara sudah hampir menutup pintu, ia menambahkan, suara pelan namun jelas,
“Jangan lama-lama.”
Ara ingin menjawab dengan sarkasme, tapi lidahnya seperti menempel ke langit-langit mulut. Pintu tertutup, menyisakan keheningan tipis di kamar itu.
Kael menghela napas panjang dan mengangkat kepalanya ke langit-langit. Entah lebih kesal karena Domias… atau karena Ara tidak sadar betapa ia sedang menahan diri keras-keras malam ini.
...****************...
Ara keluar dari kamar mandi dengan langkah pelan. Rambutnya masih sedikit basah, meneteskan air ke lantai kayu saat ia berjalan. Kaus Kael yang dipakainya menjuntai longgar sampai ke lutut, menyisakan kakinya yang telanjang dan pucat. Ia menggigit bibir saat menyadari betapa besar baju itu di tubuhnya.
Kael sedang duduk di tepi tempat tidur. Lengan bajunya tergulung, memperlihatkan lebam keunguan di sikunya. Di depannya, ada kotak P3K kecil yang terbuka. Ia sedang membersihkan luka sobek di sudut bibirnya dengan kapas.
Ara mendekat, ragu-ragu, lalu duduk di sampingnya. Jarak mereka tidak terlalu dekat, tapi cukup untuk merasakan kehangatan tubuh masing-masing di bawah cahaya remang dari lampu meja.
Hujan masih turun di luar, mengetuk-ngetuk jendela seperti ingin ikut masuk. Udara lembap menyelusup lewat celah dinding, menambah dingin di antara mereka.
Tanpa menoleh, Kael menyodorkan selembar kasa bersih ke samping. Tangannya diam di udara, menunggu.
Ara terdiam sejenak sebelum akhirnya mengambil kasa itu perlahan. Tangannya sedikit gemetar saat ia mulai membersihkan luka di sisi tubuh Kael yang memar dan mengelupas.
“Maaf,” ucapnya pelan.
Kael diam sejenak, lalu berkata datar, “Tidak perlu.”
Tak ada yang melanjutkan pembicaraan.
Ara terus membersihkan luka itu dengan pelan, sangat hati-hati, seolah takut menyakitinya. Hanya suara rintik hujan dan napas mereka yang terdengar di kamar. Satu-satunya sumber cahaya berasal dari lampu meja kecil di dekat tempat tidur, menciptakan bayangan lembut di dinding.
Setelah selesai menempelkan plester, Ara menarik tangannya perlahan. Ia menatap luka-luka itu beberapa detik, lalu menjauh sedikit, kembali diam.
Kael tidak berkomentar. Ia hanya merapikan kembali kotak P3K dan meletakkannya di atas meja.
“Tidurlah,” kata Kael pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara hujan di luar. Ia sudah selesai mengobati dirinya, dan kini beranjak ke sisi ranjang, menarik selimut tanpa banyak suara.
Ara berdiri di tempatnya, tak langsung bergerak. Matanya menatap bagian tempat tidur yang tersisa, lalu ke arah punggung Kael yang kini sudah berbaring, membelakanginya.
“Aku tak terbiasa… tidur satu kamar dengan orang lain,” bisiknya.
“Aku juga tak terbiasa membiarkan orang lain menyentuhku,” balas Kael datar, tanpa membuka mata.
Jawaban itu tak menenangkan, tapi juga tak menyerang. Hanya sebuah fakta. Dingin, seperti Kael.
Ara menarik napas. Perlahan, ia berjalan memutar ranjang, menuju sisi yang berlawanan. Suara langkahnya nyaris tak terdengar di lantai kayu yang bersih. Ia naik ke atas kasur, lalu menarik selimut setengah tubuhnya, membelakangi Kael.
Hening.
Hujan masih menari-nari di luar jendela.
Ara memejamkan mata, tapi tubuhnya tetap kaku.
Di sisi lain, Kael tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Namun napasnya yang panjang dan tenang menandakan bahwa ia tidak sedang tidur—hanya diam. Mungkin mendengarkan. Mungkin tidak.
Antara mereka hanya ada jarak satu lengan. Tapi terasa seperti dunia.