Casanova seorang gadis cantik. Namun sayang sekali dengan parasnya yang cantik ia memiliki kekurangan. Kedua matanya buta. Meski ia buta ia merupakan kembang desa. Karena kecantikannya yang luar biasa. Walaupun ia buta ia memiliki kepandaian mengaji. Dan ia pun memiliki cita cita ingin menjadi seorang Ustadzah. Namun sayang...cita cita itu hanya sebatas mimpi dimana malam itu semuanya telah menjadi neraka. Saat hujan turun lebat, Casanova pulang dari masjid dan ditengah perjalanan ia dihadang beberapa pemuda. Dan hujan menjadi saksi. Ia diperkosa secara bergantian setelah itu ia dicampakan layaknya binatang. Karena Casanova buta para pemuda ini berfikir ia tidak akan bisa mengenali maka mereka membiarkan ia hidup. Namun disinilah awal dendam itu dimulai. Karena sifat bejad mereka, mereka telah membangkitkan sesuatu yang telah lama hilang didesa itu.
"Mata dibayar mata. Nyawa dibayar nyawa. Karena kalian keluarga ku mati. Maka keluarga kalian juga harus mati.
Yuk...ikuti kisahnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wida_Ast Jcy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14 MINTA TOLONG PAK KADES
Setelah berjalan cukup jauh, Bu Rahmi akhirnya sampai di depan rumah Pak Kades. Ia dipersilakan masuk, tetapi dengan kurang ramah. Bu Kades langsung bertanya apa maksud Bu Rahmi mengganggunya pagi-pagi sekali.
"Ada apa, Bu? Mau minta sumbangan ya? Pembangunan Bulog kan masih minggu depan," kata Bu Anggie istri Pak Kades dengan angkuh.
Bu Rahmi menggelengkan kepala dengan cepat dan menjelaskan maksud kedatangannya kepada Bu Kades.
"Bukan ,bu. Saya ingin bertemu dengan Pak Kades Pak Suryo. Anak saya, Casanova telah dilecehkan. Bukan hanya oleh satu orang, tetapi oleh empat pemuda sekaligus, Bu!" jawab Bu Rahmi dengan lirih.
Bu Rahmi tak kuasa menahan air mata saat menceritakan hal menyedihkan itu lagi. Kenangan itu selalu membuat jantungnya terasa hancur dan kecewa. Rasanya ia tak ingin menceritakan kisah itu lagi.
"Apa? Ah... ada ada saja ibu, Kok bisa, bu? Jangan asal lapor kalau tidak ada bukti, Bu. Nanti malah bisa menjadi fitnah!" seru seorang pria berbatik cokelat keluar dan langsung menyela obrolan antara Bu Rahmi dan Bu Anggie. Siapa lagi pria itu kalau Pak Kades.
"Lagipula, dari mana Casanova bisa tahu kalau ada empat orang, Bu? Dia itu kan buta!" tanya Bu Kades yang masih kurang yakin, kata-kata dan pertanyaan itu sangat menusuk hati Bu Rahmi.
"Saya tidak berbohong, Pak, Bu. Anak saya Casanova benar-benar telah dilecehkan! Casanova telah menjadi korban kebiadaban para pria yang tak bertanggung jawab Pak, Bu." jawab Bu Rahmi menjelaskan dengan terisak.
"Pak Suryo, tolong lah bantu saya dan anaknya saya untuk mencari siapa pelakunya! Saya ingin keadilan untuk Casanova putri saya, Pak. " ujar Bu Rahmi dengan tatapan pilu.
Pak Kades terdiam. Tangis Bu Rahmi menyayat hati. Namun, hal itu sama sekali tak menggetarkan hati Pak Kades. Ia masih merasa sakit hati karena tempo hari pernah ia diam-diam mendekati Casanova tanpa sepengetahuan istrinya.
Namun, gadis buta itu malah menolaknya mentah-mentah. Pak Kades merasa Casanova jual mahal. Ia juga sakit hati pada Bu Rahmi yang dulu menolak lamarannya untuk Casanova waktu itu.
"Kami tidak bisa membantu, Bu Rahmi. Maaf, karena tidak ada bukti sama sekali, semua harus berdasarkan bukti. Baru laporan bisa dibuat. " ucap Pak Kades.
Pernyataan itu membuat Bu Rahmi semakin bersedih. Pupus sudah harapannya. Kepada siapa lagi ia harus meminta pertolongan? kenapa tidak ada seorang pun yang peduli atas kejadian yang menimpa putrinya Casanova.
"Sudahlah, Bu. Casanova kan buta, kalau memang sekarang tidak perawan lagi ya sudahlah, lagipula belum tentu kalau dia itu perawan masih ada yang mau dengannya. " ucap Bu Kades.
"Belum tentu juga laku dia. Anak muda itu mah hal biasa kalau keperawanannya hilang saat pacaran. Zaman sekarang susah mencari gadis yang masih perawan, bahkan di kampung sekali pun. "ucap nya lagi.
"Sudah lah Bu Rahmi faham faham saja lah. Kelakuan anak anak muda sekarang. Toh sudah suka sama suka kan? "ucap Bu Kades yang semakin membuat luka itu seperti ditaburi garam.
Perih. Rasa perih itu begitu menyesakkan karena tak ada satupun yang bisa membantu. Bu Rahmi pulang dengan tangan kosong. Bukan bantuan yang ia dapatkan, malah cibiran dan hinaan dari orang-orang yang disebut pejabat daerah yang seharusnya mampu mengayomi dan membantu warganya.
"Anakku sayang, anakku malang, Casanova, maafkan ibu, Nak," ucap Bu Rahmi terus menangis sepanjang jalan pulang.
Pak Kades berdiri membisu sejenak, lalu perlahan menarik sebelah sudut bibirnya. Bukan senyum simpati, melainkan lengkungan licik yang penuh perhitungan. Amarah membara dalam dadanya karena kehormatan Casanova telah diinjak-injak, namun alih-alih memikirkan keadilan, pikirannya malah berputar pada sesuatu yang jauh lebih gelap.
Baginya, ini bukan bencana melainkan ini sebuah kesempatan. Kesempatan untuk memiliki gadis yang selama ini selalu berdiri tegak, menatapnya dingin, menolak setiap pendekatannya tanpa ragu. Kini, benteng itu telah runtuh. Dan ia tahu, inilah saatnya menancapkan paku terakhir.
"Kalau sudah begini," desisnya pelan, suaranya serak seperti racun yang merayap, "dia tak akan bisa lagi menolak ku." Aku bisa menawarkan diri untuk melamarnya dan akan kujadikan istri, tentu dia pasti akan menerimanya. "batin Pak Suryo.
"Dia tidak mungkin mau anak itu lahir tanpa seorang ayah. "batin Pak Suryo lagi dengan tawa devil.
Matanya menyipit, dan senyum congkak itu semakin lebar, menandakan kemenangan yang tak adil kemenangan yang diperoleh dari luka orang lain.
DISISI LAIN DIDALAM RUMAH
Di ruang tamu yang sederhana dan penuh kenangan, Kayano duduk gelisah di samping kakaknya. Sofa usang yang dulu sering menjadi saksi tawa dan kehangatan kini terasa dingin, beku, seolah tak lagi mengenali penghuninya.
Casanova gadis dengan senyum teduh dan suara lembut yang biasa melantunkan ayat-ayat suci Alquran, kini duduk diam membatu. Pandangannya kosong. Matanya tak bisa melihat, tapi Kayano tahu, kegelapan yang menyelubungi hati kakaknya jauh lebih pekat dari kebutaan itu sendiri.
Kayano melirik perabotan di sekeliling mereka mesin penggiling, meja putar, alat cetak semua tertata rapi, tak terusik. Alat-alat yang dulu menjadi bagian dari keseharian kakaknya, kini seperti benda mati yang kehilangan makna.
Dulu, tangan Casanova begitu terampil membentuk tanah liat menjadi gerabah indah, sambil menghafal ayat demi ayat suci Alquran. Karya-karyanya bahkan menarik perhatian pembeli dari kota, membawa kebanggaan tersendiri bagi keluarga mereka.
Namun kini, tak ada yang bergerak. Alat-alat itu hanya berdiam di tempatnya, seperti menanti sentuhan yang mungkin tak akan pernah kembali. Akankah Casanova bisa lagi mengukir senyum sambil membentuk tanah liat? Akankah tawa riangnya kembali bergema di ruangan ini? Dan lantunan Al-Qur'an yang biasa menghangatkan malam mereka masihkah ada harapan mendengarnya lagi dari bibir kakak tercintanya?
Dengan hati berdebar, Kayano menggenggam ujung bajunya. Ia mencoba mengusir kekakuan yang melingkupi ruang itu. Perlahan, ia menyalakan radio dan memutar murattal Al-Qur’an, berharap suara-suara dari langit itu mampu menjangkau hati kakaknya yang sedang dirundung sunyi dan luka.
Lantunan ayat-ayat suci dari radio mulai mengisi ruangan, berharap bisa menjadi penghibur jiwa yang luka. Biasanya, suara itu akan membuat Casanova tersenyum, tenang, seolah luka dan gelap di matanya tak pernah ada. Tapi kali ini… berbeda.
“Matikan, No!” ucap Casanova memecah keheningan. Tegas, namun ada getir di dalamnya. Lemah, tapi tajam seperti pisau yang menusuk batin.
Kayano mematung. Alisnya mengernyit, bibirnya terbuka tanpa kata. Ia sungguh heran kenapa tiba-tiba kakaknya menyuruh untuk mematikan radio itu.
“Hah, matikan? Kenapa, Mbak?” tanyanya bingung. Ini pertama kalinya kakaknya menolak untuk mendengarkan murattal.
BERSAMBUNG...
mampir juga yuk kak ke karyaku