Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Sumbing, Temanggung, hidup seorang pemuda bernama Arjuna Wicaksono. Sejak kecil, ia hanya tinggal bersama neneknya yang renta. Kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat ia masih balita, sementara kakeknya telah lama pergi tanpa kabar. Hidup Arjuna berada di titik terendah ketika ia baru saja lulus SMA. Satu per satu surat penolakan beasiswa datang, menutup harapannya untuk kuliah. Di saat yang sama, penyakit neneknya semakin parah, sementara hutang untuk biaya pengobatan terus menumpuk. Dihimpit keputusasaan, Arjuna memutuskan untuk merantau ke Jakarta, mencari pekerjaan demi mengobati sang nenek. Namun takdir berkata lain. Malam sebelum keberangkatannya, Arjuna menemukan sebuah kotak kayu berukir di balik papan lantai kamarnya yang longgar. Di dalamnya tersimpan cincin perak kuno dengan batu safir biru yang misterius - warisan dari kakeknya yang telah lama menghilang. Sejak menggunakan cincin itu, kehidupanNya berubah drastis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RivaniRian21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 Ujian Universitas
Dini hari, bahkan sebelum adzan Subuh pertama berkumandang, Arjuna sudah terjaga. Tidak ada rasa gugup yang berlebihan seperti yang ia duga. Sebaliknya, ada ketenangan dan fokus yang luar biasa, seolah seluruh sel di tubuhnya tahu persis apa yang harus dilakukan hari ini. Setelah shalat, ia tidak lagi membuka bukunya. Ia hanya duduk bersila di atas sajadah, memejamkan mata, membiarkan semua materi yang telah ia pelajari mengendap dengan rapi di dalam benaknya.
Saat ia bersiap untuk berangkat, hanya dengan bekal sebotol air mineral dan beberapa lembar dokumen di dalam tasnya, Budi dan Ucup yang kebetulan hendak ke pasar untuk membeli sarapan, mencegatnya di depan pintu.
"Wih, pagi amat, Jun! Udah kayak mau ngejar setoran," sapa Budi.
"Mau berangkat ujian, Mas," jawab Arjuna sambil tersenyum.
"Oh iya, ujian beasiswa itu ya?" Ucup membetulkan letak kacamatanya. "Semoga lancar ya, Jun. Nggak usah grogi. Anggap aja lagi ngisi teka-teki silang."
"Doain yang terbaik ya, Mas-Mas," kata Arjuna tulus.
Perjalanannya menuju Universitas Nusantara Global kali ini terasa sangat berbeda. Jika dulu ia datang dengan rasa minder dan kebingungan, kini ia datang dengan kepala tegak. Kemegahan kampus itu tidak lagi mengintimidasinya; sebaliknya, itu menjadi pemandangan yang menyulut api tekadnya. 'Aku pantas berada di sini,' bisiknya dalam hati.
Aula ujian sangat besar dan sudah dipenuhi ratusan calon mahasiswa lain dari berbagai penjuru. Udara di dalamnya terasa tegang, penuh dengan bisik-bisik doa dan ambisi yang meluap. Arjuna mencari nomor kursinya di antara lautan wajah-wajah cerdas dan penuh harap itu.
Saat ia berjalan di salah satu lorong kursi, matanya tanpa sengaja menangkap sesosok yang ia kenali. Sosok itu duduk beberapa baris di depannya, dengan punggung tegak dan aura yang tenang namun dingin. Rambut hitamnya yang panjang tergerai indah. Arjuna langsung mengenalinya. Dia adalah "bidadari kos" yang beberapa malam lalu membuat Budi dan teman-temannya terdiam.
Arjuna terkejut. Jadi, gadis itu juga salah satu peserta ujian beasiswa ini? Pesaingnya ternyata adalah tetangganya sendiri. Seolah merasakan ada yang memperhatikan, gadis itu menoleh sedikit. Mata mereka bertemu untuk sepersekian detik. Tidak ada senyum, hanya tatapan datar penuh pengakuan sekilas, sebelum ia kembali fokus menatap ke depan.
"Harap tenang! Ujian akan segera dimulai!" Suara pengawas menggema melalui pengeras suara, membuyarkan lamunan Arjuna.
Lembar soal dan jawaban dibagikan. Jantung Arjuna berdebar sedikit lebih cepat, bukan karena takut, melainkan karena antisipasi.
Saat ia membalik halaman pertama lembar soal, keajaiban itu terjadi.
Soal-soal matematika yang berisi deretan angka dan rumus rumit, yang seharusnya membuatnya pusing, kini tampak seperti teka-teki sederhana. Jawaban dan metode penyelesaiannya seolah muncul begitu saja di dalam kepalanya, jernih dan tak terbantahkan. Tangannya bergerak di atas kertas dengan kecepatan stabil, menuliskan jawaban dengan penuh keyakinan.
Bagian tes potensi akademik dan pengetahuan umum terasa lebih luar biasa lagi. Pertanyaan tentang sejarah dunia, prinsip-prinsip sains, hingga isu-isu global, semua bisa ia jawab seolah ia sedang membaca dari sebuah ensiklopedia tak kasat mata di dalam otaknya.
Kemudian bagian bahasa Inggris. Kosakata sulit, struktur gramatikal yang kompleks, pemahaman bacaan yang panjang—semuanya terasa mudah. Ia bahkan bisa merasakan nuansa dan makna tersembunyi di balik setiap kalimat.
Cincin di jarinya terasa hangat, mengalirkan energi yang menenangkan dan mempertajam pikirannya hingga ke batas yang tak pernah ia bayangkan. Ia bukan lagi hanya menjawab soal, ia merasa menyatu dengan pengetahuan itu sendiri.
Waktu tiga jam terasa begitu singkat. Saat pengawas mengumumkan waktu habis, Arjuna sudah menyelesaikan semua soal dan memeriksanya kembali sebanyak dua kali. Ia meletakkan pulpennya dan menghela napas panjang, merasakan sedikit kelelahan mental namun juga kepuasan yang luar biasa.
Saat para peserta mulai beranjak keluar dari aula, Arjuna kembali melihat gadis dari kosnya. Ia berjalan dengan anggun, wajahnya tetap tenang, mustahil untuk ditebak apakah ia merasa kesulitan atau tidak. Mereka kembali berpapasan, kali ini lebih dekat. Sekali lagi, hanya sebuah anggukan singkat tanpa kata yang terjadi di antara mereka, sebuah pengakuan bisu bahwa mereka adalah rival dalam kompetisi ini.
Arjuna melangkah keluar dari gedung itu, kembali menatap langit Jakarta. Ujian telah selesai. Ia sudah melakukan bagiannya dengan cara yang paling ajaib. Sekarang, sekali lagi, yang bisa ia lakukan hanyalah menunggu dan menyerahkan sisanya pada takdir.
Tentu, ini akan menjadi interaksi pertama yang sesungguhnya antara Arjuna dan "bidadari kos," sebuah momen yang penting. Mari kita lanjutkan ceritanya.
Setelah keluar dari kerumunan peserta ujian, Arjuna tidak langsung pulang. Energi mentalnya terasa terkuras habis. Ia berjalan perlahan menjauhi gedung utama, mencari tempat teduh untuk sekadar meluruskan punggung dan menenangkan pikirannya. Ia menemukan sebuah pohon rindang di salah satu sudut taman kampus yang sepi. Rumput hijau di bawahnya tampak mengundang.
Arjuna pun duduk, menyandarkan punggungnya pada batang pohon yang kokoh. Ia membuka tutup botol air mineralnya, satu-satunya bekal yang ia bawa, dan meneguknya hingga tersisa separuh. Rasa sejuk air membasahi kerongkongannya yang kering, memberikan sedikit kelegaan. Ia memejamkan mata sejenak, membiarkan angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya. Semua terasa begitu nyata sekaligus sureal.
"Arjuna, kan?"
Sebuah suara lembut namun jernih memecah keheningannya.
Arjuna membuka mata dengan kaget. Di hadapannya, hanya berjarak beberapa langkah, berdiri dua orang gadis. Salah satunya adalah sosok yang paling tidak ia duga akan menghampirinya: sang "bidadari kos". Di sebelahnya berdiri seorang gadis lain yang tampak lebih ceria dengan rambut sebahu dan senyum ramah.
Arjuna, yang terkejut namanya dipanggil, refleks bangkit berdiri. Sikapnya sedikit canggung, ia mengusap celananya yang sedikit kotor karena debu.
"I-iya, saya Arjuna," jawabnya, suaranya terdengar sedikit serak.
Gadis berambut panjang itu menatapnya dengan sorot mata yang tenang dan sulit ditebak. "Aku tidak sangka kita akan ujian bersama di sini," katanya. Itu bukan pertanyaan, melainkan sebuah pernyataan. Nadanya datar, namun ada secercah rasa ingin tahu di dalamnya.
"Aku juga kaget lihat kamu di sini!" timpal temannya dengan lebih antusias. "Aulia cerita katanya ada tetangga kosnya yang ikut juga, ternyata benar kamu ya! Kenalin, aku Rina."
Arjuna sedikit lega mendengar penjelasan Rina. Setidaknya kini ia tahu mengapa gadis ini bisa tahu namanya.
"Aku Aulia," kata sang bidadari kos, akhirnya memperkenalkan diri. Suaranya tetap lembut, senada dengan penampilannya yang anggun.
"Aulia... Rina... Salam kenal, Mbak," jawab Arjuna sambil sedikit menundukkan kepala, masih merasa canggung berhadapan dengan mereka berdua, terutama Aulia.
"Jangan panggil 'Mbak', panggil nama aja," kata Rina sambil tertawa kecil. "Kita kan seumuran, sama-sama lagi berjuang buat masuk sini."
Aulia mengamati Arjuna dari atas ke bawah, tatapannya tajam seolah sedang menilai. "Bagaimana ujiannya menurutmu?" tanyanya tiba-tiba, langsung ke inti.
Arjuna sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. "Alhamdulillah... cukup lancar," jawabnya jujur namun tetap rendah hati.
"Lancar?" Aulia mengangkat sebelah alisnya. "Soal-soal tadi cukup sulit, terutama bagian analitik dan bahasa Inggrisnya. Banyak yang keluar dari prediksi."
"Benar banget!" sambung Rina. "Aku tadi sampai pusing tujuh keliling ngerjain bagian matematikanya. Kamu bisa ngerjain semuanya, Jun?"
Arjuna tidak tahu harus menjawab apa. Mengatakan bahwa ia merasa semua soal itu mudah akan terdengar sombong. "Saya hanya berusaha semampu saya," jawabnya, memilih jawaban yang paling aman.
Aulia tersenyum tipis, sebuah senyuman yang nyaris tak terlihat. "Jawaban yang rendah hati. Tapi aku lihat kamu keluar ruangan lebih awal dari yang lain. Entah kamu menyerah di tengah jalan, atau kamu memang sudah selesai."
Sekali lagi, Arjuna hanya bisa diam, sedikit kagum dengan daya observasi Aulia yang tajam.
"Ya sudah, kami duluan ya," kata Aulia, seolah sudah mendapatkan informasi yang ia butuhkan. "Semoga kita berdua berhasil." Ia menekankan kata "berdua", seolah Rina atau peserta lain tidak masuk dalam hitungannya.
"Eh, bertiga dong, Li! Aku juga mau berhasil!" protes Rina, menyikut pelan lengan Aulia.
Aulia tidak menanggapi protes temannya. Ia hanya mengangguk singkat pada Arjuna sebelum berbalik dan melangkah pergi bersama Rina.
biar nulisny makin lancar...💪