Sangkara, seorang pemuda yang menjadi TKI di sebuah negara. Harus menelan pil pahit ketika pulang kembali ke tanah air. Semua anggota keluarganya telah tiada. Di mulai dari abah, emak dan adek perempuannya, semuanya meninggal dengan sebab yang sampai saat ini belum Sangkara ketahu.
Sakit, sedih, sudah jelas itu yang dirasakan oleh Sangkara. Dia selalu menyalahkan dirinya yang tidak pulang tepat waktu. Malah pergi ke negara lain, hanya untuk mengupgrade diri.
"Kara, jangan salahkan dirimu terus? Hmm, sebenarnya ada yang tahu penyebab kematian keluarga kamu. Cuma, selalu di tutupin dan di bungkam oleh seseroang!"
"Siapa? Kasih tahu aku! Aku akan menuntut balas atas semuanya!" seru Sangkara dengan mata mengkilat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon apriana inut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13
Tangan dokter Adit terangkat menunjuk kearah sebuah foto yang terpajang di ruang tamu. Matanya berkaca-kaca menatap penuh kerinduan pada foto tersebut.
“Itu kak Naya!” ujar dokter Adit.
“Bukan, dok. Dia adalah wanita yang sudah melahirkan saya. Namanya Lilis. Seorang wanita hebat nan lembut dan baik. Bukan Naya yang di maksud oleh dokter.”
Kepala dokter Adit mengeleng. Dia tampak yakin dengan dugaannya jika wanita yang di foto adalah Naya. Kakaknya yang telah lama menghilang tanpa jejak. Bahkan kakaknya lari dengan membawa calon keponakannya yang belum lahir.
“Dia Naya, Kara. Dia kakak saya. Dia kakak perempuan saya!”
“Mirip kali, dok. Setahu saya, emak hanya memiliki nama Lilis. Bahkan di kartu keluarga dan KTP juga namanya Lilis, bukan Naya.”
Dokter Adit tidak menjawab lagi. Matanya terus menatap foto tersebut tanpa kedip, seolah takut gambar wanita di foto itu menghilang begitu saja.
“Dok, anda jadi mau masak mie?”
“Eh, jadi. Tunggu bentar!”
Sangkara mengedikkan bahunya. Dia memilih untuk membersihkan tubuhnya. Bajunya yang tadi basah kuyup, sudah kering di badan. Dia harus menggantikannya dan menggunakan minyak angin untuk menghangatkan badan. Dia tidak boleh sakit atau sekedar masuk angin. Apa yang di cari, apa yang dia inginkan belum tercapai. Dia juga harus bisa mengontrol emosi agar tidak merusak semua rencananya sendiri.
Setelah mengganti baju, Sangkara menyempatkan diri untuk mengirim pesan kepada seseroang. Dia mengucapkan terimakasih karena orang itu sudah menyelesaikan tugasnya dengan baik. Dan dia juga mendapatkan fakta baru yang tidak dia ketahui sebelumnya.
“Kara, ayo makan! Mienya sudah masak, maaf jika saya lancang langsung ke dapur kamu,” seru dokter Adit dari luar kamar.
“Iya, dok,” sahut Sangkara. Dia mengambil satu stel baju yang bisa di gunakan untuk dokter Adit. Laki-laki itu sama saja dengan dirinya. Bajunya juga sudah kering di badan. “Silakan ganti baju dulu, dok. Tidak nyaman pakai baju itu!” ujar Sangakara memberikan bajunya kepada dokter Adit.
“Terimakasih.”
Sambil menunggu dokter Adit, Sangkara memeriksa ponselnya. Dia membaca beberapa email yang di kirim daddy-nya dari benua yang lain. Daddy dan para rekannya yang berencana hendak datang ke Indonesia, harus di undur. Karena di negara daddy timbul masalah yang harus di selesaikan terlebih dahulu. Namun, daddy membebaskan Sangkara untuk berbuat semaunya. Dan apabila terjadi sesuatu daddy yang akan back up atau turun tangan sendiri.
“Kenapa belum dimakan?”
Kepala Kara menoleh kearah dokter Adit, dia tersenyum tipis. “Tidak sopan kalau saya makan duluan. Sedangkan dokter yang masak, belum makan.”
“Ayoo, kita makan!” ajak dokter Adit.
“Kara, kamu mau dengar cerita saya gak?” celetuk dokter Adit memecahkan keheningan. “Cerita ini mengenai kakak saya yang bernama Naya. Kamu tahu Kara, dia adalah gadis yang cantik dan popular. Saat kuliah, dia jatuh cinta pada seorang laki-laki yang bernama Adi. Kata orang-orang dulu, mereka di gembor-gembor sebagai pasangan yang serasi. Karena takut kehilangan satu sama lain, mereka memutuskan untuk menikah. Awalnya orangtua aku tidak setuju. Tapi karena sikap bang Adi yang tampak tanggung jawab, akhirnya orangtua aku setuju. Mereka menikah, dua bulan kemudian kak Naya hamil. Dia hamil keponakan aku, Kara.”
“Kami senang, kami tidak marah. Walau kak Naya memutuskan untuk cuti kuliahnya. Tapi Kara, kebahagiaan mereka tidak lama. Saat kandungan kak Naya masuk tiga bulan, kak Naya dan bang Adi mendapatkan teror. Lalu tiba-tiba mereka menghilang, menghilang begitu saja bak di telan bumi.”
“Dulu saya masih terlalu muda, belum mengerti banyak hal. Anggapan aku, mama dan papa sudah tidak sayang lagi sama kak Naya. Karena mereka tidak mau berusaha mencari keberadaan kak Naya. Padahal orangtua aku memiliki kekuataan dan kekuasaan untuk melakukan hal itu. Namun saat SMA, aku baru sadar. Jika mama dan papa melakukan itu, untuk melindungi kak Naya dan bang Adi. Mereka biarkan nama kak Naya jelek, karena dianggap mempengaruhi kak Adi dalam melarikan diri atau istilahnya kawin lari. Mereka menanggung semua caci maki dari beberapa orang, agar kak Naya dan bang Adi bisa selamat. Walau mereka sendiri tidak tahu dimana keberadaan anak dan menantunya.”
Dokter Adi menarik napas panjang. Dia menatap Sangkara lekat, “mata kamu sangat mirip dengan kak Naya. Dan foto emak kamu itu juga sangat mirip dengan kak Naya. Walau sudah lama tidak bertemu, aku tidak bisa melupakan sosok kakak aku satu-satunya.”
Sangakara hanya tersenyum tipis, dia bingung harus menanggapinya seperti apa.
“Oh ya, dok! Sebenarnya ada masalah apa sampai kakak dokter menghilang? Dan siapa yang neror-nya?”
“Keluarga bang Adi. Keluarga bang Adi dan cewek yang akan di jodohkan oleh bang Adi yang meneror kak Naya dan bang Adi. Asal kamu tahu Kara, bang Adi itu pewaris satu-satunya di keluarganya. Karena om, tante dan keluarganya yang iri maka mereka ingin merebut harta warisan itu. Atau mereka akan jodohkan bang Adi dengan wanita yang mudah di atur sama mereka. Tapi nyatanya, bang Adi malah nikah sama kak Naya. Dia tambnah lagi kak Naya langsung hamil. Otomatis mereka semakin gila. Mereka melakukan apa saja untuk menghabiskan keturunan bang Adi. Agar bisa menguasai harta warisan itu.”
“Emang banyak ya dok?”
Kepala dokter Adit mengangguk. Dia menyebutkan beberapa perusahaan yang terkenal dan besar yang seharusnya milik kakak iparnya. Namun, karena kakak iparnya menghilang, perusahaan itu di ambil alih oleh kuasa hukum. Dan di bawah kuasa hukum, baru ada keluarga Adi yang memimpin, menguasai bahkan mengkorupsi. Atau lebih simpelnya kuasa hukum hanya mengawasi saja.
“Wow!!! Kaya juga ya? Wajar kalau mereka melakukan itu pada kakaknya dokter.”
“Kara, kamu hanya tahu nama emak kamu itu Lilis? Apakah kamu tahu kalau mereka menyimpan rahasia yang tidak di ketahui oleh orang lain? Entah aku yakin kalau kak Naya itu adalah Lilis.”
Sangkara diam, dia seperti tengah mencoba mengingat sesuatu. Namun, tidak dia paksakan. Karena sadar dengan kondisi kepalanya yang belum sepenuhnya pulih.
“Sepertinya ada sih, dok. Tapi saya lupa, dan saya belum bisa mengingatnya?”
“Coba kamu ingat-ingat lagi, Kara! Saya mohon….”
Sangkara menggelengkan kepalanya, “maaf, dok. Saya tidak bisa.”
“Kenapa?”
Sangkara kembali terdiam, dia tampak menimbang sesuatu. Dan akhirn]ya dia menyingkap rambutnya dan memperlihatkan bekas jahitan yang masih terlihat jelas.
“Astaga! Kamu kecelakaan atau kamu…”
“Hmm, bisa di katakan seperti itu, dok. Dan alasan saya pulang hanya untuk sembuh dan bertemu dengan keluarga saya. Tapi kenyataannya, malah jauh dari bayangan saya!”
“Kamu pasti menutupi sesuatu dari semua orang kan Kara? Janggal sekali jika kamu hanya sekedar TKI biasa!”
Bibir Sangkara tersenyum penuh arti. “Lebih baik anda pura-pura gak tahu, dok. Dari pada nanti kesulitan sendiri!”
Semangat untuk authornya... 💪💪