Quin didaftarkan ke acara idol oleh musuh bebuyutannya Dima.
Alhasil diam-diam Quin mendaftarkan Dima ikutan acara mendaftarkan puisi Dima ke sayembara menulis puisi, untuk menolong keluarga Dima dari kesulitan keuangan. Sementara Dima, diam-diam mendaftarkan Quin ke sebuah pencarian bakat menyanyi.
Lantas apakah keduanya berhasil saling membantu satu sama lain?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon imafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Pintu rumah Dima terbuka sehingga dari halaman depan Dima bisa melihat ibunya sedang berdiri di meja dapur. Untung saja pagar halaman tertutup. Kalau tidak, ayam-ayam milik Haji Berkah bisa mengacak-acak isi ruang tamu. Dima duduk di lantai teras sambil membuka sepatunya. Ayam-ayam Haji Berkah ada di luar pagar. Dia tidak keberatan kalau ayam-ayam itu masuk. Sebab mungkin bisa jadi nanti malam dia yang makan nasi padang.
Dima masuk ke dalam rumah dan menutup pintu.
“Baru pulang, Dim?” Sahut ibunya dari dapur.
“Iya, Bu,” Dima masuk ke ruang tengah yang bergabung dengan ruang makan.
Terdengar suara ayahnya mengorok di dalam kamar dan suara musik dari lantai dua.
“Kakak sampe kapan sih liburnya?” Tanya Dima yang duduk di kursi meja makan memgambil tempe goreng di atas meja.
“Kenapa?” Tanya Ibunya yang rambut ikalnya dicepol ke atas dan memakai daster, muncul dari dapur.
“Kakak sampe kapan liburnya?” Tanya Dima setelah selesai makan tempe.
Belum sempat ibunya menjawab, terdengar derap langkah kaki Lala yang turun dari lantai dua.
“Dim! Elu ikutan lomba puisi Noveltoon?” Kata Lala yang baru saja turun dari tangga, dengan hape di genggamannya.
“Nggak,” jawab Dima sambil mencocol tempe ke sambel lalu memakannya.
“Ini, elu masuk seratus besar!” Lala menunjukkan layar hapenya pada Dima.
Ibunya Dima ikut melihat tulisan pengumuman bahwa puisi Dima berjudul Dia dan Hujan terpilih menjadi 100 puisi terbaik lomba puisi Noveltoon.
“Nggak! Aku nggak daftar, kok!” Kata Dima sambil berurai air mata.
“Nggak usah nangis gitu, elu emang layak kepilih, kok!” Kata Lala meledek Dima yang sibuk mengambil gelas dan mengisinya dengan air dingin.
“Ini bukan nangis, tapi kepedesan!” Sahut Dima lalu meminum air dingin banyak-banyak. “Sambelnya pedes amat, Bu?”
“Bukan ibu yang bikin!” Kata Ibunya sambil masuk ke dapur.
“Siapa?” Tanya Dima pada Lala yang nyengir dengan bangga, bisa membuat sambal yang pedas.
–
“Puisi yang paling banyak vote-nya, dia yang menang?” Tanya Nisa pada Quin yang baru saja tahu bahwa puisi Dima terpilih.
“Iya.”
“Sampai kapan votingnya?”
“Sebulan ini.”
“Berarti, Dima harus rajin promoin puisinya dia, ya?”
“Iya,” Quin termenung melihat media sosialnya Dima kosong. Tidak ada unggahan apapun. Jangankan posting, IGS saja tidak pernah.
Media sosialnya Dima cuma digunakan atas syarat sekolahan yang mengharuskan setiap anak punya media sosial agar bisa saling menyebarkan informasi soal kegiatan internal sekolah. Jadi Dima punya media sosial hanya untuk kegiatan sosial, bukan untuk melihat informasi seperti pada umumnya. Alias kudet.
“Dia tahu nggak kalau puisinya kepilih?” Nisa tampak kebingungan.
“Masa nggak tau?” Tanya Quin ragu juga apakah Dima se-kudet itu sampai tidak tahu bahwa puisinya kepilih.
“Aku posting di grup ya? Atau aku bikin IGS, aku tag Dima!” Jelas Nisa dengan semangat.
“Jangan!” Quin teriak sedikit panik.
Nisa langsung berhenti menatap layar hapenya, “Kenapa?” Dia tetap menanyakannya meski dia sudah tahu jawabannya.
Quin terdiam. Dia memikirkan kemungkinan apakah Dima akan marah kalau tahu bahwa yang mendaftarkannya adalah dirinya?
“Udah, jujur aja!” Nisa menatap Quin lekat-lekat.
“Jujur apa?”
“Bilang sama dia, elu yang daftarin puisinya dia!” Nisa mengambil hape Quin dan memberikannya pada Quin, menyuruhnya untuk menghubungi Dima.
“Iya, gue bakalan jujur,” Quin mengambil hapenya bukan untuk menghubungi Dima, tapi untuk disimpannya di lantai, jauh dari jangkauan Nisa.
“Tapi?” Nisa tahu, pasti ada ujungnya.
“Tapi kalau dia nanya. Kalau nggak, ya udah,” Quin bangkit, lalu pergi keluar kamarnya.
“Mau ke mana?”
“Kamar mandi! Mau ikut?”
Nisa menghela napas, lalu menatap layar hapenya. Dia ingin mengumumkan soal perlombaan puisi itu di grup, tapi ragu.
Kepala Quin tiba-tiba muncul dan berkata, “Jangan kirim ke grup!”
“Astagfirullah alazim! Kaget Quin!” Nisa terhenyak kaget. Quin lalu menghilang, pergi ke kamar mandi.
–
Dima dan Lala sedang duduk di teras rumahnya. Mereka video call dengan beberapa sepupu mereka.
“Vote, ya! Pokoknya sebarin ke semua orang!” Kata Lala pada sepupu-sepupu jauhnya. “Daaah!” Lala menurunkan hapenya.
Dima bersandar ke jendela, “Siapa sih yang ngedaftarin puisi gue?”
“Quin kali!”
Dima langsung duduk dengan tegak, “Hah, iya?”
“Kali!” Kata Lala asal bunyi.
“Tau dari mana?” Dima melihat hapenya untuk memeriksa media sosialnya Quin.
“Bisa jadi, Quin dendam sama elu, gara-gara daftarin ke YAMI, jadi dia daftarin puisi elu ke Noveltoon!” jelas Lala dengan santai, merasa analisisnya super duper akurat.
“Eh, pendaftaran puisi ini dibuka, jauh sebelum YAMI. Masa ada orang balas dendam, sebelum didendamin!” Kata Dima yang kemudian dia bingung sendiri atas apa yang diucapkannya.
“Apa sih lu? Nggak jelas!” Kata Lala menyenggol bahu Dima dengan bahunya.
“Ya pokoknya nggak mungkin, lah!” Dima mengerenyitkan dahi, kesal.
“Elu sebenernya sama Quin tuh kenapa sih?” Lala menyimpan hapenya di meja teras.
“Kenapa gimana?” Kata Dima yang masih menatap ke arah jalanan.
“Kenapa berantem melulu? Awal mulanya gimana?” Lala terdengar penasaran.
Dima terdiam mengingat waktu kelas satu mereka tidak pernah bertengkar. Sampai setelah ujian tengah semester, nilai mereka selalu sama. Dan karena nama Dima adalah D, lebih dulu dari Quin, jadi Dima lah yang selalu jadi yang nomor satu. Sejak saat itu, Quin selalu sensitif jika ditegur Dima.
“Terus kenapa, udah tahu kalau Quin itu merasa tersaingi sama elu, kenapa elu ngedaftarin dia ikutan YAMI?” Tanya Lala lagi.
“Soalnya dia emang bagus, Kak. Kalau disuruh tanding mata pelajaran lain, mungkin gue bisa lah jadi saingannya, tapi kalau disuruh tanding nyanyi, ya jauh! Bukannya bagus kalau akhirnya ada yang bisa dia kuasai tanpa harus gue saingin?” Dima berusaha menjelaskan dengan logika, padahal sebenarnya ada perasaan di sana.
“Oh jadi, karena itu?” Lala menganggukkan kepala. “Nggak ada yang lain?” Tanya Lala sambil melirik ke Dima.
“Ya nggak ada lah,” Dima menghela napas. Dia lalu menjelaskan, “Tapi salah sih.”
“Kenapa?”
“Ternyata Quin nggak mau jadi penyanyi. Dia punya trauma gitu soal nyanyi. Gue jadi ngerasa bersalah.”
Lala menepak kepala Dima dengan pelan, tapi masih tetap menyakitkan.
“Aduh! Kenapa dikeplak?” Dima menjauhkan diri dari Lala sambil mengusap kepalanya.
“Ya emang salah! Harusnya elu nanya dulu. Paling nggak, sekarang elu kasih tau dia, kalau elu yang daftarin! Dan elu jelasin tujuannya apa! Kan udah gue bilang, elu harusnya yang daftar, biar dapet uang buat gantiin…” Lala menoleh ke arah dalam rumah, lalu berbisik, “utangnya bapak!”
“Iya, ntar gue jujur sama dia!”
“Bagus! Jadi cowok harus jujur!”
Tiba-tiba datang dua orang pria menggotong Mang Ujo yang memakai jaket ojol tanpa helm. Wajahnya babak belur.
Dima dan Lala bangkit mempersilahkan dua orang itu menidurkan Mang Ujo di lantai.
“Kenapa?” Tanya Dima dengan wajah ketakutan.
“Kena begal. Motor elu diambil orang!”
Lala syok dan pingsan. Dima berhasil menahan badan Lala yang hampir jatuh ke lantai.
queen Bima
mantep sih