Selena tak pernah menyangka hidupnya akan seindah sekaligus serumit ini.
Dulu, Daren adalah kakak iparnya—lelaki pendiam yang selalu menjaga jarak. Tapi sejak suaminya meninggal, hanya Daren yang tetap ada… menjaga dirinya dan Arunika dengan kesabaran yang nyaris tanpa batas.
Cinta itu datang perlahan—bukan untuk menggantikan, tapi untuk menyembuhkan.
Kini, Selena berdiri di antara kenangan masa lalu dan kebahagiaan baru yang Tuhan hadiahkan lewat seseorang yang dulu tak pernah ia bayangkan akan ia panggil suami.
“Kadang cinta kedua bukan berarti menggantikan, tapi melanjutkan doa yang pernah terhenti di tengah kehilangan.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Pagi Yang Cerah
Pagi setelah malam panjang itu terasa begitu tenang. Sinar matahari menembus tirai kamar, menebarkan cahaya lembut ke seluruh ruangan. Daren membuka matanya perlahan, menatap sosok di sampingnya yang masih terlelap dengan napas teratur. Selena tampak damai—wajahnya bersandar di bantal, rambutnya terurai lembut menutupi sebagian pipi.
Senyum kecil muncul di wajah Daren. Ia menarik selimut lebih rapat menutupi tubuh istrinya, lalu bangkit perlahan dari tempat tidur agar tidak membangunkannya. Malam tadi memang panjang, penuh emosi, hangat, dan… melelahkan dalam cara yang indah. Selena pantas beristirahat lebih lama.
Ia mengenakan kaus abu-abu dan celana training, lalu berjalan ke kamar kecil di ujung lorong—kamar Arunika. Dari celah pintu yang sedikit terbuka, Daren bisa melihat gadis kecilnya sudah duduk di ranjang, rambutnya sedikit berantakan tapi matanya bersinar cerah.
“Selamat pagi, little girl,” sapa Daren sambil menyandarkan tubuh di kusen pintu.
“Selamat pagi, Ayah!” jawab Arunika riang, melompat kecil dari tempat tidur lalu berlari menghampiri Daren.
Daren tertawa kecil sambil menunduk, merapikan poni anaknya yang berantakan. “Bangun pagi sekali, ya? Belum sarapan tapi udah secerah matahari.”
“Aru mimpi indah tadi malam!” katanya bangga. “Aru mimpi jalan-jalan sama Ayah, Mama, terus beli balon warna pink!”
Daren tersenyum lembut. “Wah, mimpi yang bagus banget tuh. Tapi kalau mau, hari ini bisa beneran kita lakukan.”
Mata Arunika langsung berbinar. “Beneran, Ayah?”
“Iya.” Daren berdiri, merentangkan tangannya ke depan. “Ayah mau jogging sebentar di taman depan kompleks. Aru mau ikut atau mau bantuin Mama di rumah?”
Arunika berpikir sebentar, menatap ayahnya dengan tatapan penuh pertimbangan—dan gaya menggemaskan yang selalu membuat Daren tak tahan untuk tidak tersenyum.
“Aru ikut, tapi nanti beli roti coklat ya, Ayah. Soalnya Mama suka roti coklat.”
“Deal.” Daren terkekeh, mengangkat gadis kecil itu ke gendongannya. “Aru hebat banget, udah mikirin Mama bahkan sebelum sarapan.”
“Kan Mama capek semalam,” kata Arunika polos.
Daren sempat tersedak pelan mendengar kepolosan itu. “Ehem—iya, Mama memang capek, jadi biar Mama istirahat dulu, ya.”
Arunika mengangguk serius, seolah mengerti sepenuhnya. “Nanti Aru kasih Mama bunga dari taman, biar Mama cepet segar!”
“Wah, ide bagus banget,” kata Daren sambil berjalan keluar kamar, menuruni tangga bersama putrinya.
Udara pagi terasa segar, sedikit dingin, tapi menenangkan. Daren menurunkan Arunika di depan rumah, lalu memutar musik lembut dari ponselnya. Sementara Arunika memunguti bunga liar kecil di pinggir halaman, Daren mulai berlari kecil di sekitar taman.
Dari kejauhan, ia sesekali melirik anaknya yang berlari mengejar kupu-kupu. Hatinya terasa penuh.
Pagi itu sederhana—tapi bagi Daren, tidak ada yang lebih indah daripada melihat dua perempuan yang kini menjadi pusat hidupnya berada di bawah atap yang sama, dalam damai.
Setelah beberapa menit, Arunika berlari kembali menghampirinya, menggenggam setangkai bunga kecil.
“Ayah! Ini buat Mama!” serunya riang.
Daren berjongkok, menerima bunga itu dengan senyum lembut. “Nanti Ayah yang kasih, ya. Mama pasti suka.”
Dan di dalam rumah, Selena masih terlelap dengan senyum samar di wajahnya—seolah merasakan dari jauh kehangatan kecil yang kini benar-benar melengkapi hidupnya.
---
Selena membuka matanya perlahan, meringis kecil saat mencoba bangun. Tubuhnya terasa sedikit pegal, namun hangatnya sinar matahari pagi yang menembus tirai membuat matanya terbuka sepenuhnya. Ia menatap sekeliling kamar—sunyi. Tak ada tanda-tanda kehidupan, bahkan ranjang di sebelahnya sudah rapi.
Ia menarik napas pelan. Ke mana, ya? batinnya sambil menepuk pelipis.
Setelah merapikan diri seadanya, Selena keluar dari kamar. Suasana rumah masih tenang, hanya terdengar suara burung di luar jendela. Ia berjalan ke arah kamar Arunika, mengetuk pelan sebelum membuka pintu. Namun kamar itu pun kosong.
Alisnya berkerut.
“Hmm… ke mana mereka pagi-pagi begini?” gumamnya pelan.
Ia beranjak menuju dapur, berharap menemukan seseorang. Begitu masuk, aroma tumisan bawang langsung menyambutnya. Di sana, Bi Nana tampak sibuk memasak sambil bersenandung kecil.
“Bi, lihat Kak Daren sama Aru nggak?” tanya Selena sambil mendekat.
Bi Nana menoleh dengan senyum ramah. “Oh, tadi mereka pamit, Non. Katanya mau jogging di taman depan.”
Selena mengangguk paham. “Oh, gitu ya, Bi. Makasih ya.”
“Sama-sama, Non. Mau Bi buatin teh hangat sekalian?” tanya Bi Nana.
Selena tersenyum kecil. “Boleh deh, Bi. Badanku rasanya agak kaku pagi ini.”
“Namanya juga pengantin baru,” gumam Bi Nana pelan sambil terkekeh, membuat Selena refleks menunduk malu dan pura-pura sibuk mengambil gelas di meja.
---
Pulang dari jogging, Daren dan Arunika disambut oleh pemandangan hangat di ruang tamu. Selena sudah duduk manis di sofa, mengenakan dress bermotif bunga-bunga berwarna lembut. Rambutnya terurai rapi, wajahnya segar dengan senyum kecil yang menyambut keduanya.
“Mama udah bangun!” seru Arunika riang, matanya berbinar melihat Selena.
Selena pura-pura cemberut sambil menatap putrinya itu. “Iya nih, Mama udah bangun. Tapi princess-nya Mama nggak ada, Mama jadi sedih deh,” ucapnya dengan nada dibuat-buat manja.
Arunika langsung berlari kecil menghampiri. “Maaf, Mama… tadi Aru ikut Ayah olahraga di luar,” ucapnya sambil memeluk Selena erat.
Selena terkekeh, balas memeluk. “Pantesan, ini anak Mama kok bau kecut ya?” godanya sambil mencium pipi Arunika.
Arunika tertawa keras. “Ih, Mamaaa~”
Daren yang berdiri di belakang mereka ikut tersenyum. “Eh, kalian peluk-pelukan nggak ajak Ayah, nih?” katanya pura-pura kesal, lalu ikut memeluk keduanya sekaligus.
“Kaaak, lepasin pelukannya! Kamu belum mandi, masih bau keringat!” protes Selena sambil berusaha melepaskan diri, wajahnya setengah geli setengah malu. “Aku aja udah mandi loh!”
Daren malah tertawa pelan. “Nggak apa-apa, nanti mandi lagi bareng aku aja,” ujarnya menggoda dengan nada rendah.
Selena langsung menatapnya dengan pipi bersemu merah. “Apaan sih, Kak! Udah ah, Aru—ayo kita mandi dulu, tinggalin Ayah aja di sini!” katanya cepat-cepat sambil menggandeng tangan Arunika.
Arunika terkikik senang. “Dadah, Ayah bau keringat!” serunya sambil berlari kecil bersama Selena ke arah kamar.
Daren hanya tertawa pelan melihat tingkah dua perempuan kesayangannya itu. “Dasar, dua-duanya sama aja,” gumamnya sambil menggeleng kecil.
Sebelum menuju kamar mandi, ia sempat menaruh sebungkus roti dan dua gelas jus yang tadi sempat ia beli di jalan bersama Arunika di meja makan. Setelah itu, ia melangkah ke kamar untuk mandi dan bersiap sarapan bersama keluarganya.
Suasana pagi itu terasa begitu hangat—penuh tawa, cinta, dan kebersamaan sederhana yang bagi Daren… terasa seperti rumah yang sesungguhnya.
Namun di tengah canda dan aroma roti hangat itu, Daren menatap sekeliling ruang tamu rumah Selena yang penuh kenangan lama—dan ia tahu, cepat atau lambat, sudah waktunya melangkah ke babak baru.
---
“Sel, aku udah pikirin baik-baik,” ucap Daren tiba-tiba saat sarapan bersama.
Selena menatapnya bingung. “Pikirin apa, Kak?”
Daren tersenyum lembut, menggenggam tangan istrinya.
“Gimana kalau… kita pindah ke rumahku minggu depan? Aku pengen kamu dan Aru bener-bener tinggal di tempat yang akan kita sebut rumah kita sendiri.”
Selena terdiam. Sendok di tangannya berhenti di udara.
Pagi yang tenang itu mendadak terasa seperti awal dari sesuatu yang besar—sebuah langkah baru dalam hidup mereka bertiga.