Amara adalah seorang polisi wanita yang bergabung di Satuan Reserse Narkoba. Hidupnya seketika berubah, sejak ia melakukan operasi hitam penggrebekan sindikat Narkoba yang selama ini dianggap mustahil disentuh hukum. Dia menjadi hewan buruan oleh para sindikat Mafia yang menginginkan nyawanya.
Ditengah - tengah pelariannya dia bertemu dengan seorang pria yang menyelamatkan berulang kali seperti sebuah takdir yang sudah ditentukan. Perlahan Amara menumbuhkan kepercayaan pada pria itu.
Dan saat Amara berusaha bebas dari cengkraman para Mafia, kebenaran baru justru terungkap. Pria yang selama ini menyelamatkan nyawanya dan yang sudah ia percayai, muncul dalam berkas operasi hitam sebagai Target Prioritas. Dia adalah salah satu Kepala geng Mafia paling kejam yang selama ini tidak terdeteksi.
Amara mulai ragu pada kenyataan, apakah pria ini memang dewa penyelamatnya atau semua ini hanyalah perangkap untuknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radieen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Konspirasi di Balik Pintu
Amara mengambil kertas itu. Ia tidak percaya pada pria itu, tapi rasa penasarannya jauh lebih besar.
Ia menatapnya, mencoba membaca pikirannya. “Kenapa kau menyelamatkanku? Apa rencanamu?”
“Aku tidak sedang menyelamatkan mu,” jawabnya datar. “Aku hanya ingin dia keluar dari bayang-bayang. Dia terlalu pengecut untuk menunjukkan dirinya.”
Amara tidak mengerti apa yang ia maksud. Pria itu lalu melompat ke bawah, mendarat dengan mulus di lantai bawah. Ia lalu menghilang di balik kegelapan.
Raditya dan tim memanggi - manggil nama Amara, ”Aku di atas, segera bawakan bantuan.”
Mereka segera menurunkan Amara. Bantuan datang dengan cepat. Meski sempat terjadi adu tembak, tidak ada satupun korban jiwa baik dari pihak polisi ataupun para anggota mafia. Hanya gudang tua itu sekarang yang hancur membara karena api.
Amara hanya bisa menatap gudang yang kini terbakar, dan kertas kecil di tangannya. Di sana, tertulis sebuah alamat, yang akan membawanya ke dalam pusaran masalah yang jauh lebih besar.
Hari berikutnya Amara memutuskan untuk mengambil cuti selama beberapa hari. Dia ingin menenangkan pikirannya sejenak dan memulihkan robekan pada kakinya. Dia telah melewati jebakan yang hampir membawanya pada kematian. Hatinya tidak pernah lagi tenang. Dirumah pun dia selalu tampak gelisah.
"Tok.. tok.. tok" Terdengar suara ketukan dari pintu kamarnya.
”Masuk..” Katanya cuek, sambil menggulirkan layar telponnya.
”Amara," suara itu terdengar begitu lembut dan hangat.
"Ya ma.. ”Amara menoleh dan meletakkan telepon genggamnya.
”Hari ini libur?”
"Iya.. capek banget belakangan ini, mau istirahat beberapa hari aja."
Ibu Amara, Sofia, mendekat. Dia mengelus kepala putrinya. ”Yah, lebih baik begitu. Belakangan ini perasaan mama sering tidak enak setiap kamu tugas."
Amara tertegun, dia teringat dengan pembunuhan berencana terhadapnya dan Raditya semalam. Tapi ia tidak berniat sedikitpun memberitahu siapa pun.
”Mama tenang aja, aku nggak mungkin jadi IPTU kalau nggak hebat. Kemana-mana juga bawa pistol."
”Iya deh, anak mama the best!” Sofia mencium kening Amara. "Ya udah ya, mama mau jemput Arga sekolah."
"iya mah.. "
Sofia keluar dan menutup pintu kamar Amara. meninggalkannya agar beristirahat.
Satu hari berlalu, kakinya mulai pulih. Amara memang jarang sakit. Stamina dan performa tubuhnya juga selalu lebih baik dibandingkan orang lain. Hanya saja saat ini pikiran Amara masih melayang pada malam itu. Di ruang kerjanya, ia mencoba mencerna semua yang terjadi. Ia tidak bisa melupakan tatapan dari mata hazel pria itu, suaranya yang berat, dan sentuhannya yang membuat tubuhnya merinding. Ia juga tidak bisa melupakan kata-katanya.
"Ada pengkhianat di dalam timmu."
“Tidak mungkin,” gumam Amara pada dirinya sendiri. Ia menyalakan laptopnya, mencoba mencari informasi tentang gudang itu. Tidak ada yang ia temukan. Gudang itu sudah lama ditinggalkan, dan tidak ada jejak kejadian malam itu. Seolah-olah semuanya hanyalah ilusi.
Ia mengambil kertas kecil yang dia simpan di laci meja kamarnya. Ia ingin membuangnya, tapi rasa penasarannya lebih besar. Ia menatap alamat yang tertulis di sana, lalu memutuskan untuk pergi. Ia tidak akan memberi tahu siapa pun. Ia akan pergi sendirian, dan jika ia menemukan pengkhianat itu, ia akan membunuhnya di tempat.
Pukul 22.00 WIB, Amara menyalakan motornya. Ia mengenakan jaket hitam dan memasukkan Glock 17 dan senter kecil ke dalam saku jaket. Udara malam terasa dingin, namun hatinya terasa lebih dingin. Ia memacu motornya dengan cepat, menuju alamat yang diberikan pria bermata hazel itu. Jalanan sepi, hanya ada beberapa mobil yang melintas. Amara merasa seperti sedang menuju ke dalam kegelapan.
Ia tiba di sebuah rumah tua di pinggir kota. Rumah itu tampak kosong, dengan jendela-jendela yang pecah dan pintu yang sudah berkarat. Terdapat sebuah kolam renang di halaman belakang, airnya kotor dan berlumut.
Amara turun dari motornya, melangkah perlahan ke dalam rumah. Ia mengeluarkan pistolnya, melangkah perlahan ke dalam. Ruangan itu gelap, debu tebal menutupi lantai dan perabotan. Ia menyalakan senter, menyapu cahaya di seluruh ruangan. Ia melihat sebuah meja di tengah ruangan, dan di atasnya ada sebuah kotak kecil.
Amara berjalan mendekat, membukanya. Di dalamnya, ada sebuah USB drive. Ia mengambilnya, namun tiba-tiba, sebuah suara terdengar dari belakangnya.
“Kau datang.”
Amara berbalik dengan sigap, pistolnya teracung. Pria bermata hazel itu berdiri di sana, dengan wajahnya yang tenang dan matanya yang memancarkan cahaya misterius.
“Bagaimana kau tahu aku akan datang?” tanya Amara.
“Aku tahu kau tidak akan membuang kesempatan untuk menemukan kebenaran,” jawabnya, senyumnya tipis. “Kau punya pertanyaan, kan? Kau ingin tahu siapa pengkhianat itu?”
“Apa kau tahu siapa dia?” tanya Amara, matanya tetap waspada.
Pria itu tidak menjawab. Ia hanya berjalan mendekat. “Jangan bertindak gegabah! Kau tidak bisa menangkap orang ini sendirian. Dia terlalu berbahaya. Jika rencanamu mencari tahu terkuak, kau bisa hilang sebelum menemukannya. Tanpa jejak. ”
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari belakangnya. Amara berbalik, dan melihat empat orang pria bersenjata mendekat. Mereka mengenakan jaket kulit hitam, wajah mereka tertutup topeng.
"Sial! Kau menjebakku!” seru Amara, ia tidak punya waktu untuk memikirkan yang lain.
Pria bermata hazel itu dengan sigap menarik Amara ke samping. “Ikut denganku!”
Mereka berlari ke arah kolam renang. Pria itu melompat ke dalam, Amara mengikutinya. Mereka berenang ke bawah, menghindari tembakan yang dilepaskan oleh para pria bertopeng.
Di bawah air yang keruh, Amara menatap wajah pria bermata hazel itu. Matanya begitu memikat, bahkan di dalam air. Ia merasa seperti sedang berada di dunia yang berbeda, di mana hanya ada mereka berdua. Pria itu menyentuh wajahnya, lalu menunjuk ke atas, memberi isyarat agar mereka naik.
Mereka berhasil naik ke permukaan, namun para pria bertopeng itu sudah menunggu. Mereka menodongkan senjata ke arah Amara dan pria itu.
"Kalian akan tamat!" bisik salah satu pria sambil tersenyum sinis kepada mereka.
Tiba-tiba, sebuah mobil hitam melaju dengan cepat, menabrak tembok rumah dan menabrak para pria itu. Amara terkejut, ia tidak menyangka akan ada bantuan.
Pria bermata hazel itu menarik Amara ke dalam mobil. “Cepat masuk!”
Mereka melaju dengan cepat, meninggalkan rumah tua.
Amara menatap pria itu, wajahnya pucat. "Apa itu tadi?"
Pria itu tersenyum. “Kau cukup berani. Kau tidak tahu siapa yang kau hadapi. Percaya dirimu bisa mengakibatkan kematian, gadis kecil.”
“Siapa rupanya yang aku hadapi?” tanya Amara, jantungnya berdebar kencang.
Pria itu menatap luar jendela, matanya menerawang jauh ke arah yang tak jelas. “Dia adalah seseorang yang kau kenal. Seseorang yang kau percaya. Seseorang yang sangat dekat denganmu.”
Amara menatapnya, matanya membesar. “Siapa?”
Pria itu mencondongkan tubuhnya ke arah Amara, membisikkan sesuatu di dekat telinganya.
"Komandan Alfian."
sungguh polisi masa gthu sih....
semangat.....