NovelToon NovelToon
THE SMILING KILLER : Faces Of Mercy

THE SMILING KILLER : Faces Of Mercy

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Action
Popularitas:518
Nilai: 5
Nama Author: Firmanshxx969

Di tengah gemerlap kota, kegelapan purba bangkit.

​Satu per satu, para elite yang telah "bertobat" ditemukan tewas dalam ritual penyiksaan yang mengerikan. Mantan preman, pengusaha licik, semua yang kini dermawan, tubuhnya dipajang sebagai altar dosa masa lalu mereka.

​Sang pembunuh tidak meninggalkan sidik jari. Hanya sebuah teka-teki teologis: ayat-ayat Alkitab tentang murka dan penghakiman yang ditulis dengan darah.

​Media menjulukinya: "Sang Hakim".

​Ajun Komisaris Polisi (AKP) Daniel Tirtayasa, detektif veteran yang hidupnya ditopang oleh iman, ditugaskan memburu bayangan ini.

​Namun, perburuan kali ini berbeda. Sang Hakim tidak hanya membunuh; ia berkhotbah dengan pisau bedah, memutarbalikkan setiap ayat suci yang Daniel pegang teguh. Setiap TKP adalah kapel penghujatan yang menantang eksistensi pengampunan.

​Kini, perburuan ini menjadi personal.

​Mampukah Daniel menangkap Sang Hakim sebelum imannya sendiri hancur berkeping-keping?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 13

Minggu ketiga investigasi. Ruang komando baru Satgasus "Operasi Penebusan" terasa seperti sebuah kapsul yang terisolasi dari waktu. Di dalamnya, udara terasa pengap oleh aroma kafein yang terbakar, kertas, dan frustrasi yang kental. Papan tulis putih yang tadinya bersih kini telah menjadi kanvas yang kacau. Foto Lukas dan Riana menatap mereka, seolah mengejek. Diagram alur investigasi bercabang ke puluhan jalan buntu.

AKP Daniel Tirtayasa memijat pangkal hidungnya, merasakan denyut lelah di belakang matanya. Petunjuk yang diberikan Dr. Samuel pelaku dengan latar belakang medis terasa begitu logis. Namun dalam praktiknya, itu adalah labirin tanpa akhir.

“Jarum di tumpukan jerami,” gumam Iptu Hasan, detektif Jatanras senior yang duduk di seberang meja, sambil melempar pulpennya ke atas tumpukan berkas. “Kita sudah memeriksa data dari Ikatan Dokter Indonesia, PPNI, bahkan daftar alumni fakultas kedokteran lima tahun terakhir. Ribuan nama, Ndan. Ribuan. Tidak ada satupun yang punya kaitan logis dengan kedua korban. Kita mencari hantu.”

“Data sampah, sampah keluar,” Kompol Reza menimpali dari sudutnya, matanya merah menatap tiga monitor sekaligus. “Aku sudah mencoba mencari koneksi digital tersembunyi. Email, media sosial, riwayat perbankan. Nihil. Mereka tidak terhubung.”

Daniel mengangguk. Timnya, ujung tombak barunya, mulai tumpul menabrak dinding bata. Mereka tidak hanya kekurangan bukti. Mereka kekurangan pemahaman. Mereka mencoba memecahkan persamaan matematika tanpa memahami bahasa dari angka-angka itu.

Dia sedang berkhotbah, pikir Daniel, menatap foto cermin berdarah itu. Khotbah.

Kata-kata Samuel terus terngiang. Jika ini khotbah, mereka butuh seseorang yang mengerti pikiran sang pengkhotbah.

Pagi itu, ia membuat sebuah panggilan. Sore harinya, perspektif baru itu berjalan masuk.

Pintu ruang komando terbuka. Dr. Maya Sari masuk dengan langkah yang tenang namun penuh percaya diri. Daniel telah membaca arsipnya: psikolog forensik lulusan luar negeri, konsultan independen yang dipinjam Polri untuk kasus-kasus paling aneh. Daniel membayangkan seorang akademisi yang kaku, tapi wanita di hadapannya jauh dari itu. Ia mengenakan blus sederhana, rambutnya diikat rapi. Di balik kacamatanya, sepasang mata yang tajam mengamati segala sesuatu dengan ketenangan seorang pengamat profesional.

“Dokter Maya, terima kasih sudah datang,” kata Daniel, berdiri untuk menyambutnya.

“Kasus seperti ini tidak bisa menunggu, Komandan,” jawab Dr. Maya, suaranya jernih.

Pandangan Dr. Maya kemudian menyapu ke sekeliling meja, dan Daniel tiba-tiba melihat timnya melalui mata seorang profiler. Ipda Adit, yang paling muda, duduk tegak, buku catatannya terbuka, siap menyerap informasi. Iptu Hasan, sang veteran jalanan, bersandar dengan lengan terlipat, ekspresinya jelas-jelas skeptis. "Psikolog? Kita butuh informan, bukan pembaca pikiran," gerutunya pada Daniel sejam yang lalu. Reza tidak mengangkat kepala dari laptopnya, tapi Daniel tahu sang jenius digital itu mendengarkan.

Dan di layar monitor besar di dinding, wajah Dr. Samuel Adhinata menatap mereka melalui panggilan video yang aman. Ekspresinya, seperti biasa, tenang dan analitis.

Dr. Maya tidak langsung duduk. Sebaliknya, ia berjalan perlahan ke papan tulis. Seperti seorang kurator seni. Ia tidak mengatakan apa-apa selama hampir lima belas menit, hanya menyerap semuanya. Ia mempelajari foto TKP, membaca profil korban, menelusuri garis-garis buntu investigasi.

Keheningan itu membuat Iptu Hasan berdeham tidak nyaman. Akhirnya, Dr. Maya berbalik.

“Baiklah,” mulainya. “Sebelum kita mencari siapa orang ini, kita harus paham apa dia. Dan dia bukan pembunuh biasa.”

Ia melangkah ke foto TKP Lukas Santoso. “Lihat ini. Keteraturan. Presisi. Kebersihan. Ini bukan hasil amarah atau dorongan sesaat. Ini adalah hasil dari fantasi yang telah diasah dan disempurnakan selama bertahun-tahun di dalam benaknya. Ini sebuah proyek, bukan kejahatan.”

Ia beralih ke foto Riana Wulandari. “Pola yang diulang sempurna di lingkungan yang sama sekali berbeda menunjukkan kemampuan adaptasi dan kontrol diri yang luar biasa. Pelaku kita sangat terorganisir, teliti, dan memiliki IQ jauh di atas rata-rata. Kemungkinan besar di atas 130.”

Iptu Hasan mendengus pelan. "Jadi kita mencari orang pintar. Itu tidak banyak membantu."

Dr. Maya menoleh padanya, senyumnya tipis. "Bukan hanya pintar, Iptu. Dia juga memiliki God Complex. Kompleks mesianik. Dia tidak melihat dirinya sebagai pembunuh. Di dalam benaknya, dia adalah agen pemurnian. Seorang hakim yang menjalankan keadilan yang, menurutnya, lebih tinggi dari hukum kita."

Daniel mengangguk. Ini menggemakan teorinya sendiri.

“Orang dengan kompleks seperti ini,” lanjut Dr. Maya, “merasa dipilih untuk sebuah misi khusus. Mereka percaya tindakan mereka benar secara moral. Dan obsesinya pada tema ‘penebusan palsu’ memberi kita petunjuk paling pribadi tentang dirinya.”

Mata Dr. Maya menyapu ruangan. “Obsesi ini tidak lahir dari ruang hampa. Ini lahir dari luka. Luka psikologis yang sangat dalam yang terkait langsung dengan konsep pengampunan. Sangat mungkin, di satu titik dalam hidupnya kemungkinan besar masa remaja atau awal dewasa dia atau seseorang yang sangat dekat dengannya, pernah merasa dikhianati secara fundamental oleh sebuah tindakan pengampunan.”

“Maksud Anda?” tanya Adit, pulpennya berhenti bergerak.

“Bayangkan,” kata Dr. Maya, suaranya kini seperti seorang pencerita. “Bayangkan seorang kriminal menyakiti keluarga Anda. Lalu, setelah beberapa tahun di penjara, dia ‘menemukan Tuhan’. Dia diampuni oleh masyarakat, oleh gereja. Tapi luka Anda tidak pernah sembuh. Anda melihat pengampunan itu sebagai sebuah penghinaan, sebuah kebohongan. Peristiwa seperti itu bisa menjadi pemicu, titik awal dari pembentukan ideologinya yang bengis.”

Daniel melirik ke layar monitor. Wajah Dr. Samuel tidak menunjukkan reaksi. Ia hanya mendengarkan dengan penuh perhatian, dagunya bertumpu pada tangannya, pose seorang akademisi yang sedang menyimak.

“Karena luka inilah,” kata Dr. Maya, “dia tidak akan pernah berhenti. Dan itu membawa kita pada karakteristiknya yang paling berbahaya: dia kemungkinan besar menjalani kehidupan ganda yang sempurna.”

“Maksudnya?” tanya Hasan, kini sedikit lebih tertarik.

“Maksud saya, di kehidupan sehari-harinya, Sang Hakim tidak akan terlihat seperti monster,” jelas Dr. Maya. “Dia akan menjadi kolega yang bisa diandalkan, tetangga yang sopan, seorang profesional yang sukses. Dia akan menjadi seseorang yang dihormati, memegang posisi yang membutuhkan kecerdasan, ketelitian, dan kepercayaan publik. Seseorang yang tidak akan pernah Anda curigai. Topeng normalitasnya adalah alat berburunya yang paling efektif.”

Ruangan itu menjadi sunyi. Setiap orang di sana mulai memikirkan lingkaran kenalan mereka sendiri.

“Terakhir, panggilan telepon kepada Anda, Komandan,” kata Dr. Maya, menatap langsung ke arah Daniel. “Itu bukanlah sebuah kesalahan. Itu adalah eskalasi yang terencana. Sebuah undangan. Dia sudah mengamati Anda. Dia melihat Anda sebagai lawan yang sepadan secara intelektual. Dia tidak hanya ingin menghakimi korbannya di depan Tuhan; dia ingin memvalidasi tindakannya di depan Anda. Dia ingin berdebat. Permainan ini, baginya, kini memiliki dua pemain utama.”

Presentasi itu selesai. Ada rasa hormat yang baru di ruangan itu. Dr. Maya telah memberi mereka peta dari pikiran sang pembunuh.

Daniel memperhatikan Samuel di layar. Sang ahli forensik itu akhirnya angkat bicara, suaranya tenang dan penuh rasa ingin tahu.

“Analisis yang sangat mendalam, Dokter Maya. Saya punya satu pertanyaan. Terkait ‘luka psikologis’ yang Anda sebutkan.”

“Silakan, Dokter Samuel,” kata Maya.

“Apakah Anda berteori bahwa luka ini harus bersifat personal dan langsung? Atau mungkinkah itu lahir dari pengamatan filosofis murni? Maksud saya, mungkinkah pelakunya sampai pada kesimpulan ini bukan karena trauma pribadi, tetapi karena observasi logis murni terhadap ketidakadilan di dunia?”

Pertanyaan itu cerdas. Sangat cerdas. Itu membuat semua orang berpikir.

Dr. Maya tersenyum tipis. “Itu pertanyaan yang sangat bagus, Dokter Samuel. Mungkin saja. Tetapi dalam pengalaman saya, ideologi yang begitu ekstrem yang mendorong seseorang untuk membunuh dengan cara ritualistik hampir selalu berakar pada rasa sakit yang sangat personal. Logika sering kali hanyalah bangunan indah yang kita dirikan di atas fondasi emosi kita yang paling dalam dan paling busuk.”

Ada jeda yang tegang. Daniel mengamati interaksi antara kedua ahli di timnya. Satu membedah tubuh, satu lagi membedah pikiran.

Di layar, ekspresi Dr. Samuel sedikit berubah. Itu sangat halus, nyaris tak terlihat. Ketenangannya yang biasa kini terasa lebih kaku. Ada kilatan dingin di matanya yang tidak bisa ditafsirkan Daniel. Itu bukan kemarahan. Itu... sesuatu yang lain. Sesuatu yang terkendali.

Ah, pikir Daniel. Ego. Dia tidak suka ada ahli lain di ruangannya. Dia tidak suka teorinya ditantang.

Daniel menafsirkannya sebagai persaingan intelektual biasa, gesekan yang wajar antara dua pikiran cemerlang.

Samuel kemudian mengangguk pelan, topeng profesionalnya kembali terpasang. “Sebuah hipotesis yang menarik, Dokter. Terima kasih atas klarifikasinya.”

Setelah rapat dibubarkan, Daniel melihat Samuel, yang masih berada di layar, bertukar beberapa patah kata lagi dengan Dr. Maya saat yang lain membereskan cangkir kopi mereka.

“Suatu kehormatan mendengarkan analisis Anda, Dokter Maya,” terdengar suara Samuel yang tenang. “Saya harap kita bisa bertukar pikiran lebih lanjut. Saya sangat tertarik dengan metodologi Anda.”

“Tentu saja, Dokter Samuel,” balas Maya dengan profesional. “Saya juga terkesan dengan laporan forensik Anda yang sangat rinci.”

Daniel memperhatikan mereka dua pilar kecerdasan di dalam timnya. Ia merasa puas. Timnya kini lengkap. Dengan keahlian Samuel di bidang fisik dan wawasan Maya di bidang psikologis, ia merasa Sang Hakim tidak lagi punya tempat bersembunyi. Kedua ahlinya sudah mulai terhubung.

Itu terasa seperti awal dari akhir perburuan ini.

1
Haruhi Fujioka
Wow, endingnya bikin terharu.
Si Hibernasi: mampir kak, judulnya Iblis penyerap darah, mungkin saja suka🙏
total 1 replies
Gohan
Ceritanya bikin merinding. 👻
naotaku12
Dapet pelajaran berharga. 🧐📝
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!