Tentang Dukun Santet Legendaris — yang berjaya dalam Mengusir Belanda, Tiga Abad Silam.
Tapi nasibnya berakhir tragis: dibakar hidup-hidup hingga arwahnya gentayangan
Sampai tahun 2025..
Jiwa LANANG JAGAD SEGARA:
tiba-tiba tersedot ke dalam tubuh ADAM SUKMA TANTRA, seorang INTERPOL Jenius, Muda dan Tampan.
Syarat tinggal di tubuh itu: cari dalang di balik pembunuhan Adam.
Maka dimulailah petualangannya menyelidiki kasus-kasus kriminal dengan cara aneh: Lewat Santet, Jimat Ghoib, dan Mantra Terlarang yang tak sesuai zaman. Tapi, justru cara kuno ini paling ampuh dan bikin partnernya cuma bisa terpana.
“Lho, kok jimatku lebih nendang daripada granat?!” — ujar Lanang, si Dukun Gaptek yang kini terjebak dalam lumpur misteri masa lalu.
Sanggupkah ia mewujudkan keinginan Jiwa asli sang pemilik tubuh?
Atau jangan-jangan justru terhantui rasa bersalah karena ternyata, penyebab Matinya Adam masih....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuni_Hasibuan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jalur Gelap Segara!
***
Suatu malam, dalam keheningan yang hampir mistis, Bryan merasakan sesuatu yang mengganggu. Sebuah gerakan mencurigakan dari balik kabut yang menyelimuti lereng gunung.
Dari kejauhan, telinganya menangkap derap kaki kuda yang gugup, diselingi ringkikan tinggi yang penuh ketakutan. Kuda itu tampak enggan mendekat, memberontak dan menginjak-injak tanah beku, seolah mampu merasakan aura kelam yang menyelimuti gubuk Lanang—atau mungkin, melihat makhluk-makhluk tak kasat mata yang berkeliaran di antara pepohonan.
Pemilik kuda itu terdengar berbisik gemetar, berusaha menenangkan hewan tunggangannya yang ketakutan. "Sssst! Diamlah!"
Ketenangan Lanang yang sedang bersemedi langsung buyar. Bryan merasakan gelombang kewaspadaan yang tajam menyapu dirinya. Ini adalah tamu yang tidak diundang.
Dan ternyata, tamu itu adalah Saloka. Sosoknya terlihat samar-samar mengintip dari celah-celah dinding kayu gubuk yang reyot.
Tiba-tiba, ia tersentak dan menutup hidungnya. Bau anyir darah segar menyeruak, bercampur dengan aroma dupa yang pekat dan menusuk. Saloka menahan napas ketika matanya menangkap pemandangan di dalam: sebuah kepala kambing terpancang di atas altar sederhana dari tanah, darahnya masih menetes pelan ke dalam sebuah wadah tanah liat. Di sudut ruangan, sebuah boneka jerami berdiri menyeramkan, ditancapi oleh paku-paku besi berkarat.
Dan di tengah lingkaran ritual itu—duduklah sosok yang sangat ia kenal. Lanang. Sahabatnya.
“Lanang… Berarti benar, semua ini ulahmu?” gumam Saloka, suaranya bergetar, dipenuhi rasa tidak percaya dan ngeri.
Lanang menoleh. Wajahnya basah oleh keringat dingin, matanya merah namun sorotnya tajam. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis yang membuat bulu kuduk merinding. “Saloka.Akhirnya kau datang juga?" ujarnya, suaranya serak. "Tapi untuk apa? Untuk akhirnya mengakui bahwa caraku… lebih masuk akal? Lebih berhasil?"
Saloka memaksakan diri melangkah masuk, menyingkirkan hawa mistis yang seakan hendak mencekiknya. “Ini gila, Lanang! Lihat apa yang kau lakukan!” serunya, suaranya parau. “Kau pikir darah dan kepala hewan ini bisa membawa kemenangan? Ini bukan jalan benar… Kau bisa terjerat, ini jalan iblis!”
Lanang berdiri tegak. Tatapannya membara, penuh dengan keyakinan yang sudah terdistorsi. “Tidak,Saloka. Kau yang salah. Aku tidak terjerat olehnya,” hardiknya, tangannya menunjuk ke sekitar. “Akulah yang mengendalikan kekuatan ini! Kekuatan untuk membantu rakyat kita, kaum yang tertindas, yang dianggap lemah dan sampah oleh para penjajah itu!”
Saloka menggeleng, tak mampu menerima penjelasan itu. "Jangan congkak, Lanang! Apa kau yakin betul bisa mengendalikan sesuatu seperti ini?" keluhnya, matanya sempat mendelik liar melihat bangkai hewan berserakan. "Ini... ini semua terlalu mengerikan."
"Semua kekuatan ini sekarang ada di genggamanku!" lanjut Lanang, suaranya meninggi penuh euforia beracun. "Dan dengan ini, kita bisa mengusir Belanda sampai ke akar-akarnya. Bukankah itu tujuan kita sejak awal? Bukankah itu yang kita perjuangkan?"
Saloka mendekat, tangannya mencengkeram bahu sahabatnya itu dengan erat, berusaha menembus kegilaan yang menyelimutinya. “Tujuan kita benar,Lanang. Tapi caramu salah. Sekali kau menyerahkan jiwamu pada kegelapan, kau tidak akan bisa kembali. Aku takut… aku takut kau bukan lagi Lanang yang kukenal.”
Lanang menepis tangan Saloka dengan kasar. “Jangan banyak bicara soal ketakutan!Kau tidak tahu rasanya menjadi aku. Ini satu-satunya cara! Dan aku yakin, aku bisa mengendalikannya!”
Hening sejenak. Hanya desis dupa yang api kecilnya bergetar, seakan ikut menyaksikan perdebatan dua jiwa yang berseteru. Saloka menunduk, rahangnya mengeras. Ia tahu, kata-katanya telah mentah, tak ada yang mampu menembus tembok kesombongan dan kegelapan yang telah dibangun Lanang malam itu.
“Baik,” ucap Saloka akhirnya, suaranya datar dan dingin, menyembunyikan luka yang dalam. “Aku tidak akan ikut campur dengan caramu. Tapi,” ia menatap tajam ke mata Lanang, “aku tidak akan berhenti mengawasimu. Karena aku masih sahabatmu. Dan kita tidak diciptakan untuk meninggalkan sahabatnya… bahkan ketika ia memilih untuk berjalan di jalan yang gelap.”
Lanang membisu. Dia memalingkan muka, kembali memusatkan perhatian pada lingkaran ritualnya, seakan kehadiran Saloka hanyalah gangguan kecil. Namun, jauh di dalam relung hatinya, Bryan merasakan sesuatu yang bergetar. Seperti sebuah kesadaran pilu bahwa jarak antara dua sahabat itu telah terbentang sejauh jurang, dan mungkin, tak akan pernah lagi bisa diseberangi.
.
.
.
Kilatan cahaya selanjutnya membawa Bryan terhanyut, menyelami arus ingatan yang membentang dua tahun ke depan. Kini, yang ia lihat adalah tubuh Lanang yang telah berubah.
Tubuh remajanya yang dulu telah luruh, digantikan tubuh tegap seorang lelaki dengan postur yang berisi.
Namun, bukan hanya fisiknya yang berubah. Sorot matanya memancarkan keteguhan baja, wajahnya mengeras bagai dipahat oleh luka batin dan disiplin bertapa yang keras. Tanpa Bryan sadari sepenuhnya, langkah Lanang kini telah menyatu dengan barisan pasukan perlawanan rakyat. Kumpulan petani dan warga biasa yang bangkit melawan Belanda.
Seolah Bryan bisa merasakannya, bukan hanya melihat, ada semangat juang yang membara dari rakyat kecil itu mengalir di sekeliling Lanang.
Senjata mereka, memang cuma tombak dari bambu runcing, pedang karat peninggalan leluhur, dan keberanian yang hampir-hampir nekat. Tapi di tengah kerumunan itu, terselip sebuah rahasia besar, karena mereka memiliki dukungan penuh dari Lanang Jagad Segara.
Pemuda yang telah menjelma menjadi seorang dukun itu, memang tak pernah maju ke garis depan. Karena ia bukan prajurit... Tapi kesaktiannya, mampu menghancurkan beberapa Prajurit sekaligus, dalam sekali hantam
Dalam enam tahun berikutnya, Bryan menjadi saksi bisu bagaimana Lanang menorehkan perang dengan caranya yang unik.
Bukan dengan mengayunkan pedang, melainkan melalui jalur gelap dalam bayangan.
Saat hujan lebat mengguyur tanpa ampun, menjebak pasukan Belanda dalam kubangan lumpur hingga mobil-mobil mereka terperosok, itu adalah hasil rancangan Lanang.
Ketika kabut pekat tiba-tiba menyelubungi perkemahan musuh, membuat mereka panik dan saling menembaki teman sendiri, itu juga buah dari mantranya yang senyap.
Dan di kala malam tiba, Bryan mendengar jeritan ngeri serdadu Belanda yang tak melihat lawan nyata. Yang muncul dari kegelapan hanyalah momok mengerikan, terkadang wajah hantu tanpa kepala, ratapan perempuan yang mati terbakar, dan sosok bayangan tinggi menjulang yang tak tersentuh peluru.
Semua ilusi itu adalah ciptaan Lanang, menggerogoti nyali musuh, setapak demi setapak, hingga mental mereka remuk redam.
Keadaan mereka di perparah ketika Lanang nekat menjatuhkan pesawat dengan badai petir, dan menenggelamkan kapal layar mereka dengan serangan Badai.
Tal pelak lagi, akhirnya datang keputusan dari Queen Victoria, untuk menarik pasukannya dari wilayah itu.
Tanah itu pun sejenak bisa bernapas lega. Rakyat bersujud syukur, menyalakan dupa, dan berterima kasih kepada para pejuang gagah berani. Juga pada 'Semesta' yang seolah sedang bekerjasama membantu mereka.
Di antara bisik-bisik perayaan rakyat, tersiar kabar tentang adanya penolong gaib, sosok misterius yang melindungi mereka dari balik layar kegelapan, yang mereka pikir tadinya hanya kerja alam semesta.
Sejenak, Bryan merasakan dada Lanang bergetar hebat oleh rasa kebanggaan yang samar, suatu kepuasan yang tak pernah ia pamerkan.
Bagi segelintir yang tahu, Lanang adalah pahlawan tanpa tanda jasa, yang ingin menyamarkan identitasnya. Namun, dari dalam sanubari Lanang yang ia selami, Bryan merasakan sesuatu yang lain, ada sebuah beban dan rahasia gelap yang tak bisa dibagikan kepada siapa pun.
***
seru dan menyeramkan.
tapi suka
semakin seru ceritanya