Setelah pernikahan yang penuh kekerasan, Violet meninggalkan segala yang lama dan memulai hidup baru sebagai Irish, seorang desainer berbakat yang membesarkan putrinya, Lumi Seraphina, sendirian. Namun, ketika Ethan, mantan suaminya, kembali mengancam hidup mereka, Irish terpaksa menyembunyikan Lumi darinya. Ia takut jika Ethan mengetahui keberadaan Lumi, pria itu akan merebut anaknya dan menghancurkan hidup mereka yang telah ia bangun. Dalam ketakutan akan kehilangan putrinya, Irish harus menghadapi kenyataan pahit dari masa lalunya yang kembali menghantui.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EP: 13
Ethan membuka pintu mobil, menatap Irish yang tertidur, dan menepuk pipinya, "Bangun! Suruh suamimu keluar menjemputmu!"
"Suami apa? Suami siapa?" gumam Irish lirih dari dalam mobil, setengah sadar karena mabuk, sebelum kembali tertidur.
Ethan menggeram frustasi. Ia membungkuk, menarik tangan Irish dengan kasar dan menyeretnya keluar dari mobil. "Apartemen nomor 145, kan?" tanyanya sambil tetap menggenggam erat lengan Irish.
Irish tidak menjawab. Kepalanya pening, tubuhnya lemas, dan semuanya terasa berat. Ia hanya memejamkan mata, membiarkan tubuhnya diseret hingga ke depan pintu.
Dengan ekspresi jengah, Ethan menyandarkan Irish ke dinding. "Berdiri yang benar!"
Namun ketika ia melepaskan genggamannya, tubuh Irish langsung melorot, terduduk begitu saja dan tertidur kembali.
Ethan memijat pelipisnya dengan kesal. Ia menekan bel berkali-kali, tapi tak ada sahutan. Setelah beberapa kali, tak ada perubahan. Ia akhirnya berjongkok dan menepuk wajah Irish dengan paksa. "Hei! Bangun! Suruh suamimu keluar. Aku mau bicara!"
"Siapa... siapa yang memukulku…?" rintih Irish dengan wajah kebas.
"Jangan ngelantur! Mana suamimu? Telepon dia!"
Tapi Irish tertawa, matanya masih tertutup. "Suamiku? Mungkin dia ada di dalam tasku... atau sepatuku..."
Ethan mendengus. "Omong kosong apa ini!"
Dengan mata terpejam, Irish bergumam, "Kun… kunci di dalam tas…"
Ethan menatap tas di tangan Irish. Ia ragu, tapi kemudian meraihnya. Ia berharap tidak ada pria yang tiba-tiba muncul dan salah paham.
Begitu kunci didapat, ia membuka pintu. Suasana gelap menyambut. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Rumah itu kosong.
Ethan menatap Irish yang masih tertidur di lantai. Perasaan aneh menyelimutinya. Selama empat tahun terakhir sejak berpisah, wanita ini menjalani hidup seperti apa? Di pesta ia tampak glamor, tapi kini… mabuk dan sendirian.
Apa semua ini karena keputusannya meninggalkan Irish dulu?
Ia menggeleng cepat. Tak mau larut dalam rasa bersalah. Dunia ini keras, hanya yang kuat yang bertahan. Kalau Irish terpuruk, itu bukan tanggung jawabnya.
Dengan enggan, ia menarik tubuh Irish masuk. Wanita itu terlelap sambil memeluk satu sandal rumah miliknya.
Ethan meraba-raba saklar dan menyalakan lampu. Cahaya menyinari ruangan kecil berisi dua kamar dan satu ruang tamu. Perabotannya sederhana dan usang. Ruangan itu mengingatkannya pada masa-masa Irish tinggal di rumah mereka dulu, seadanya, tapi hangat.
Ia menyisir pandangan ke seluruh ruangan. Tak ada foto pria dewasa. Yang ada hanya satu bingkai foto kayu di rak kecil.
Dalam foto itu, Irish duduk di rerumputan sambil memeluk anak laki-laki dan perempuan. Mereka tertawa, ditiup angin musim panas.
Ethan mendekat, mengambil bingkai itu. Senyum tipis muncul di wajahnya, namun perlahan menghilang saat ia memperhatikan wajah kedua anak itu. Alis dan matanya… sangat mirip dirinya.
Ia cepat memalingkan kepala, memeriksa seisi ruangan lagi. Tidak ada sepatu pria. Tidak ada pakaian pria. Tidak ada tanda-tanda laki-laki tinggal di sini.
Ethan melangkah cepat ke kamar mandi. Hanya ada satu sikat gigi dan satu gelas kumur. Tak ada bukti keberadaan pria di rumah itu.
Jantung Ethan berdetak cepat. Jika anak itu memang darah dagingnya…
Ia segera kembali ke ruang tamu, membungkuk, menepuk wajah Irish dengan panik. "Irish! Bangun! Aku ingin bertanya!"
Irish mengerang dan menepis tangannya. "Aku ngantuk…"
"Irish!"
Ethan menatap lagi foto di tangannya. Jika itu memang anaknya, ia tak bisa membiarkannya hidup dalam kondisi seperti ini. Ia harus tahu siapa anak itu dan di mana keberadaannya sekarang.
Tanpa pikir panjang, ia menyeret Irish ke kamar mandi dan menyalakan shower. Air dingin langsung mengguyur kepala Irish.
"Aaagh!" teriak Irish kaget. Ia bangkit, kebasahan dan linglung. Setelah mengucek wajahnya, ia memandang Ethan dengan syok. "Ethan? Kenapa kamu… di sini?!"
"Jawab aku. Siapa anak dalam foto ini?"
Mata Irish membelalak. Ia cepat merebut bingkai dari tangan Ethan.
"Jangan sentuh barang-barangku!"
"Jangan alihkan pembicaraan. Siapa dia?!"
Tatapan Ethan tajam, menusuk. Irish menggenggam bingkai itu erat, wajahnya berubah kaku.
Diam.
Irish menggenggam erat bingkai foto dalam pelukannya, jemarinya bergetar saat ia berusaha menenangkan napas. Ia memalingkan wajah, menolak bertemu pandang dengan sosok yang berdiri hanya beberapa langkah darinya. Suaranya pelan tapi tajam, terdengar seperti sembilu yang menari di udara:
"Siapa mereka, apa urusannya denganmu?"
Ethan menatap Irish dengan penuh kecurigaan. Tak ada yang luput dari matanya, ekspresi bersalah, kilatan panik, dan ketegangan yang menyelimuti tubuh wanita itu. Dalam sekejap, ia melangkah maju, menjangkau dagu Irish dan memaksanya menatapnya langsung.
"Anak itu… mereka, berapa umur mereka?"
Irish menyentakkan wajahnya, menepis tangan Ethan dengan penuh emosi. Ia bangkit berdiri, dan baru menyadari dress pendek yang dikenakannya telah basah kuyup, menempel ketat di kulit. Seketika ia menutupi tubuhnya, melindungi dirinya sekaligus rahasia yang ia sembunyikan.
"Aku sudah bilang! Bukan urusanmu!" Ia mencoba melangkah pergi, membawa bingkai foto yang terus digenggamnya seolah nyawa si kembar tergantung di dalamnya.
Namun Ethan menghalangi jalan, tubuh tingginya berdiri kokoh, memagari langkah Irish. Tatapan matanya menusuk, nyaris menyentuh wajah Irish.
"Aku tanya lagi. Siapa mereka?"
Irish menahan napas. Ia menatap Ethan, dinding di punggungnya terasa dingin, namun bukan itu yang membuat tubuhnya menggigil. Yang membuatnya takut, adalah kemungkinan Ethan akan tahu kebenaran.
"Sudah kubilang, itu bukan urusanmu!" Ia mengangkat dagu, berusaha tampak tegar meski jantungnya berdegup liar.
Tapi Ethan tak bergeming. Ia menatap mata Irish seakan hendak menerobos isi hatinya.
"Anak-anak dalam foto itu... apakah—"
“Mereka anakku, dari suamiku.” Irish memotong, suaranya datar tapi bergetar.
Ethan terdiam. Suami?
“Jangan besar kepala,” lanjut Irish cepat, melihat kilasan keterkejutan di wajah Ethan. “Suami yang kumaksud bukan kamu. Kamu… kamu hanyalah kenangan buruk dari masa lalu.”
Kata-katanya tajam dan penuh kebencian. Ia menatap Ethan dengan dingin.
“Anak-anakku lahir dari pria lain. Tapi tak lama setelah itu… dia meninggal.”
Langkahnya maju perlahan, mendekat. Uap di kamar mandi menyelimuti sekeliling, menciptakan suasana yang nyaris mistis. Matanya berkilat tajam.
“Kau tahu bagaimana dia meninggal, Ethan?”
Ia tidak memberi waktu Ethan menjawab.
“Dia ditabrak mobil hingga tulangnya hancur, darahnya memenuhi jalan, tubuhnya digilas truk, lalu ditinggalkan tanpa ada yang peduli. Mayatnya baru diambil polisi, dikumpulkan dalam kantong mayat dan dibakar… hilang jadi abu.”
Wajah Ethan menegang. Tapi Irish belum selesai. Ia mendekat lagi, dan dengan suara setengah berbisik penuh amarah, ia berkata:
“Vivi dan Nathan adalah anakku. Selamanya milikku! Kau pikir hanya karena kau menyumbang sepotong kromosom kau punya hak atas mereka? Jangan harap!”
Ethan mencoba menahan emosinya.
“Mantan suamimu sungguh... malang.” Tapi dari nadanya, ia mulai sadar, semua ucapan Irish terasa seperti kutukan, seolah ia yang sedang dimaksud.
Irish menyipitkan mata.
“Bencana dari langit bisa dihindari. Tapi dosa yang dibuat sendiri… akan menuntut balas.”
Dia berdiri tegak. Tak lagi gemetar.
“Sekarang, sudah cukup pertanyaanmu. Kau bisa pergi.”
Ethan tertawa dingin, matanya menyala dengan ejekan.
“Tergesa sekali mengusirku? Empat tahun lalu, bukankah kau memohon padaku… hanya untuk dilirik sekali?”
Irish tersenyum sinis.
“Empat tahun lalu mataku sedang sakit. Tapi sejak kau menghempaskan surat cerai itu… aku sembuh total.”
“Jangan main-main denganku, Irish!” Ethan memicingkan mata.
“Anak itu… mereka… apakah mereka anakku?”
Irish menatapnya tanpa berkedip. “Bukan.”
“Kau pikir hubungan kita yang hanya satu malam itu cukup? Kau pikir dirimu hebat?” Ia tertawa pahit.
“Jika pun aku hamil anakmu waktu itu, aku pasti menggugurkannya. Aku tidak ingin darahmu mengalir dalam tubuh siapa pun yang kulahirkan!”
Dalam hatinya, ia meminta maaf berulang kali pada Vivi dan Nathan.
Maafkan mami...
Ethan tertegun. Kata-kata Irish menusuk lebih dalam dari yang ia duga. Ia mengenal wanita ini, dan ia tahu, dengan kebencian sebesar itu, bukan tidak mungkin Irish benar-benar akan menggugurkan kandungannya dulu… jika memang ada.
“Jadi... kau benar-benar membenciku?”
Irish menggeleng.
“Benci? Tidak. Aku… jijik.”
Ethan tertawa sinis.
“Jijik? Tapi tidak saat kau duduk bersama pria-pria itu, minum, tertawa, seperti kupu-kupu malam.”
Urat di pelipisnya mulai menegang.
“Kau pikir aku rela melakukan semua itu?” Irish membalas tajam.
“Jika bukan karena kau, aku takkan jatuh serendah ini!”
“Jangan lempar semua kesalahan padaku!”
Irish tak membiarkan Ethan menyela.
“Kalau bukan karena pengaruhmu, apakah Wakil Direktur Hendra akan memecatku dari Perusahaan tempatku bekerja? Siapa yang mengatur itu kalau bukan kau?”
Matanya membara.
“Pernikahanmu sekarang hampa, kau tak bisa punya anak, dan sekarang kau iri dengan hidupku? Aku bahagia dengan si kembar. Itu karma untukmu dan Carisa. Kalian memang pantas mendapatkan karma itu!"
PAK!
Ethan menghentakkan tangannya ke dinding, lalu mencekik tenggorokan Irish. Tatapan matanya gelap, penuh murka. Ia terlalu paham bahwa luka terdalam dalam hidupnya adalah kegagalannya memiliki keturunan bersama Carisa. Dan kini, Irish dengan kejam menyiram luka itu dengan garam.
hmm se makin menegangkan