NovelToon NovelToon
Jodoh Ku Sepupuku

Jodoh Ku Sepupuku

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Keluarga / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:4.9k
Nilai: 5
Nama Author: Ann,,,,,,

Menikah dengan seseorang yang tumbuh bersama kita sejak kecil—yang rasanya sudah seperti saudara kandung sendiri—namun harus terpaksa menikah dengannya. Itulah yang kualami.

Namaku Alif Afnan Alfaris, seorang arsitek.
Sedangkan dia, Anna Maida, adalah adik sepupuku sendiri. Sepupu, kata ayahku, sudah sah untuk dinikahi—alasannya demi mendekatkan kembali hubungan darah keluarga. Namun sungguh, tak pernah sedikit pun terlintas di benakku untuk menikah dengannya.

Hubungan kami lebih mirip Tom and Jerry versi nyata. Setiap bertemu, pasti ribut—hal-hal kecil saja sebenarnya. Dia selalu menolak memanggilku Abang, tidak seperti sepupu-sepupu yang lain. Alasannya sederhana: usia kami hanya terpaut satu hari.

Anna adalah gadis cerdas yang menyukai hidup sederhana, meski ayahnya meninggalkan warisan yang cukup banyak untuknya. Ia keras kepala, setia, penyayang… dan menurutku, terlalu bodoh. Bayangkan saja, ia mau dijodohkan dengan pria yang sama sekali tidak ia kenal, di usia yang masih sanga

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ann,,,,,,, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Lo gak kenal Anna bang Rian

“Oh iya, Lif… gimana pekerjaan kamu di Singapura? Lancar?” tanyanya, lalu melirik Anna.

“Boleh lah nanti bantu kami desain rumah baru. Iya nggak, sayang?”

Ia menyebut kata sayang dengan sengaja—seperti ingin menegaskan sesuatu.

Anna hanya menoleh sekilas. Bibirnya terangkat membentuk senyum tipis, sopan, tapi kosong.

“Iya,” jawabnya pendek. Tak ada antusiasme. Tak ada kilau di mata.

Alif menangkap semuanya.

“Iya, Bang. Lancar,” jawabku santai, menyandarkan punggung ke sofa.

“Baru minggu lalu aku ngerjain rancangan interior rumah kakakku. Masih belum rampung sih, tinggal finishing dikit. Dia minta desain klasik tropis—biasalah, abang gue itu pencinta alam.”

Rian tertawa kecil. “Wah, cocok tuh. Kita juga kepikiran gaya yang adem-adam.”

Aku ikut tersenyum, tapi di dalam kepalaku… kata-kata itu berubah jadi umpatan.

Dasar bodoh.

Kamu nggak kenal Anna sebaik aku.

Aku bisa lihat dari cara dia duduk, dari caranya menghindari tatapanmu, dari senyum tipis yang cuma formalitas. Aku bisa baca matanya—mata yang dulu selalu hangat kalau melihatmu, sekarang dingin dan penuh jarak.

Anna sudah menutup pintu itu.

Semua pintu.

Dan kamu masih sibuk berpura-pura romantis, seolah semuanya baik-baik saja.

Aku mengepalkan tangan di atas paha, berusaha menahan emosi yang perlahan naik ke permukaan.

Tenang, Lif.

Bukan waktunya.

Tapi satu hal aku yakini—dalam hati, dengan sangat pasti—

Kamu sudah kehilangan tempat di hatinya.

Dan kalau kamu pikir ini akan berakhir baik-baik saja…

aku akan pastikan kamu menyesal.

SUara bel pintu tiba-tiba berbunyi, memecah ketegangan yang masih menggantung di ruang tamu.

Anna langsung berdiri.

“Ada yang datang,” ucapnya singkat.

Tanpa menunggu respons siapa pun, ia melangkah menuju pintu depan. Rian menoleh sekilas, sementara aku tetap duduk—mengamati punggung Anna yang menjauh.

Tak lama kemudian, pintu terbuka.

“Terima kasih, Mas,” suara Anna terdengar dari balik pintu.

Ia kembali masuk dengan menenteng beberapa paper bag cokelat berlogo restoran langganannya. Dari dalam kantong itu tercium aroma masakan yang menggugah selera—ikan bakar, tumisan, dan kuah yang masih hangat.

“Ma, makanan datang ya?” tanya Ayyan antusias sambil berlari kecil menghampiri.

“Iya,” jawab Anna lembut. “Mama pesan makan siang. Nasinya kan sudah mama masak pagi tadi.”

Ayyan bersorak kecil. “Hore!”

Anna berjalan ke dapur, mulai mengeluarkan satu per satu lauk dari paper bag, menatanya rapi di meja makan. Gerakannya tenang, terkontrol—seperti biasa. Tapi bagiku, ketenangan itu justru terasa seperti tembok yang sengaja ia bangun.

Rian ikut berdiri, mendekat.

“Kok pesan? Biasanya kamu masak sendiri,” katanya, nada suaranya terdengar ringan, tapi ada selip curiga.

Anna tak menoleh.

“Hari ini aku nggak sempat,” jawabnya singkat. “Tadi banyak urusan.”

Aku menyandarkan tubuh, melipat tangan di dada, pura-pura tak terlalu memperhatikan. Tapi telingaku awas. Setiap kata, setiap jeda—semuanya terasa berarti.

Rian terdiam. Ia menatap Anna lebih lama dari yang seharusnya, seolah mencari sesuatu di wajah istrinya—bekas kebiasaan lama yang dulu selalu ada.

Namun yang ia temukan hanya jarak.

Anna menutup paper bag terakhir, lalu berkata datar,

“Makan dulu sebelum dingin.”

Undangan itu terdengar biasa.

Tapi bagi Rian…

itu bukan lagi ajakan penuh cinta—melainkan sekadar kewajiban.

Kami akhirnya duduk bersama di meja makan.

Aku memilih duduk di seberang Rian, sementara Anna duduk di sisi anaknya. Sejak awal, perhatiannya tak lepas dan Ayyan—mengambilkan lauk, meniupkan kuah yang masih panas, memastikan mereka makan dengan rapi.

“Pelan-pelan makannya, Yan. Nanti tersedak,” ucap Anna lembut sambil menyendokkan sayur ke piring Ayyan.

“Iya, Ma,” jawab bocah itu patuh.

Rian mengambil nasi sendiri. Ia beberapa kali melirik Anna, seolah menunggu sesuatu—entah berharap Anna akan melayani nya, ditawari lauk, atau sekadar ditanya mau makan apa.?

Tapi tak ada.

Anna bahkan tak menoleh.

Aku pura-pura sibuk makan, tapi sudut mataku menangkap perubahan kecil di wajah Rian. Ada gelisah. Ada resah. Dan untuk pertama kalinya… ada rasa tidak dianggap.

Dalam hatiku, senyum puas hampir saja muncul.

Rasain.

Kamu pikir selama ini Anna bodoh? Kamu salah besar.

Sepupuku itu memang baik. Terlalu baik, bahkan. Tapi dia tidak pernah bodoh. Dia hanya memilih diam, memilih sabar—sampai satu titik, kesabarannya habis.

Dan ketika itu terjadi…

dia pergi tanpa ribut, tanpa drama.

Rian kembali melirik Anna.

“An… sambalnya pedas ya?”

Anna tetap fokus ke piring Bian.

“Iya. Hati-hati,” jawabnya singkat—tanpa menatap, tanpa nada manja.

Aku meneguk air mineral, menahan tawa yang nyaris lolos.

Lo harusnya bersyukur, Bang.

Dapat perempuan spek bidadari, luar dalam.

Tapi malah disia-siakan.

Sekarang rasakan.

Dicuekin pelan-pelan.

Ditinggalkan perlahan.

Dan kamu bahkan belum tahu…

ini baru permulaan.

1
Dew666
🍭🔥
Ann: terimakasih banyak 🙏🙏🙏
total 1 replies
DEWI MULYANI
cerita sebagus ini kok gak ada yg baca sih
semangat thor
Ann: terimakasih 🙏🙏🙏
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!