Dua tahun menjadi istri dari pria cuek nan dingin yang tak pernah mencintaiku, aku masih bersabar dalam pernikahan ini dan berharap suatu hari nanti akan ada keajaiban untuk hubungan kami.
Tetapi, batas kesabaranku akhirnya habis, saat dia kembali dari luar kota dengan membawa seorang wanita yang ia kenalkan padaku sebagai istri barunya.
Hatiku sakit saat tahu dia menikah lagi tanpa izin dariku, haruskah dia melakukan hal seperti ini untuk menyakiti aku?
Jujur, aku tak mau di madu, meskipun awalnya aku meyakinkan diriku untuk menerima wanita itu di rumah kami. Aku memilih pergi, meminta perpisahan darinya karena itulah yang ia harapkan dariku selama ini.
Aku melangkah pergi meninggalkan rumah itu dengan hati yang hancur berkeping-keping. Kupikir semua sudah berakhir begitu aku pergi darinya, namun sesuatu yang tak terduga justru terjadi. Ia tak mau bercerai, dan memintaku untuk kembali padanya.
Ada apa dengannya?
Mengapa ia tiba-tiba memintaku mempertahankan rumah tangga kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisdaa Rustandy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#33
[KEESOKAN HARINYA – PAGI HARI]
Langit Medan tampak cerah sejak pagi. Sinar matahari menembus tirai kamar, membuat ruangan tempat Naysila dan Alden menginap tampak hangat. Di depan cermin, Naysila sedang berdandan, mengenakan gamis berwarna pastel dengan hijab senada. Wajahnya tampak segar setelah tidur cukup panjang semalam, meski sisa gugup masih terasa karena ini hari pertama ia benar-benar ikut dalam acara keluarga besar Alden.
Dari balik pantulan cermin, ia sempat menatap suaminya yang sedang merapikan dasi di depan cermin besar. Alden mengenakan kemeja putih dengan jas abu muda, terlihat rapi dan berwibawa. Ketika tatapan mereka sempat bertemu, Naysila buru-buru mengalihkan pandangan.
"Sdah siap?" tanya Alden sambil mengambil jam tangannya dari meja.
"Sudah," jawab Naysila pelan. " Ibu tadi sudah telepon, katanya semua tamu keluarga sudah mulai datang ke ballroom."
Alden mengangguk. "Oke, ayo kita turun. Takutnya acara akad keburu dilaksanakan."
"Iya."
Naysila bangkit dan mengambil tas kecil miliknya. Mereka berjalan berdampingan keluar dari kamar, menuju lift. Meskipun tidak banyak bicara, langkah keduanya seirama. Sesekali Naysila melirik ke arah Alden yang tampak tenang. Dalam hatinya, ia kagum dengan cara Alden membawa diri di tengah keluarga besar yang penuh aturan.
"Mas," ucap Nasyila. "aku gugup. Takut gak bisa menyesuaikan diri di acara ini. Takut bikin Om Roman dan keluarganya kecewa."
"Gak perlu gugup, Nay. Aku di sini, gak akan jauh-jauh dari kamu kok," jawab Alden santai.
Naysila sempat terdiam mendengar itu, sedikit banyaknya kata-kata Alden cukup untuk membuatnya mengerti bahwa Alden tak akan pernah membiarkannya sendiri di tengah-tengah acara.
Begitu mereka masuk ke dalam lift, Alden dan Naysila berdiri bersisian. Naysila sempat melirik suaminya dan menemukan rambut Alden sedikit berantakan.
"Mas."
"Hmm?"
"Rambut kamu kurang rapi," jawab Nasyila sambil menunjuk bagian rambut Alden.
Alden menyentuh rambutnya. "Yang mana? Rasanya tadi sudah rapi."
"Itu, di bagian atas."
Alden meraba-raba bagian rambutnya yang ditunjuk Naysila, tetapi ekspresi Naysila tampak tak senang seolah ingin mengatakan kalau rambut suaminya masih belum rapi.
"Apa masih belum rapi juga?" tanya Alden.
Naysila mengangguk. "Boleh aku bantu rapikan?"
Tanpa berpikir panjang, Alden langsung mengangguk setuju. Ia sedikit membukukan tubuh tingginya ke arah Naysila.
Naysila perlahan mengangkat kedua tangannya, jari-jarinya yang ramping menyentuh lembut rambut di bagian atas kepala Alden. Ia berusaha merapikan beberapa helai yang berdiri nakal dengan gerakan pelan agar tidak terlalu mencolok. Aroma sabun dan parfum pria yang segar langsung tercium, membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat tanpa bisa dikendalikan.
Sementara itu, Alden hanya diam, matanya tak beranjak sedikit pun dari wajah istrinya. Dalam jarak sedekat itu, ia bisa melihat bagaimana bulu mata Naysila bergetar halus setiap kali ia menarik napas, dan bagaimana rona pipinya memerah karena gugup.
Saat Naysila menunduk sedikit, berusaha menata bagian terakhir rambut Alden, mata mereka tanpa sengaja bertemu. Seketika, waktu terasa berhenti.
Wajah Naysila langsung memanas. Ia buru-buru menarik tangannya dan menunduk dalam, pura-pura merapikan jilbabnya padahal hatinya berdebar tak karuan.
"Kenapa tatap aku kayak gitu, Mas?" tanyanya gugup tanpa berani menatap. "Apa dandananku aneh?"
Alden menahan senyum. Ia menggeleng pelan sambil memperbaiki posisi dasinya yang sebenarnya sudah rapi. "Nggak juga," ujarnya lembut. "Justru kamu terlihat manis."
Naysila spontan mendongak, matanya melebar. Apa ia tak salah dengar? Alden memujinya? Sebuah kata yang tidak pernah keluar dari mulutnya ketika mereka masih tinggal bersama.
Naysila tak percaya Alden menyebut dirinya 'manis'. Selama ini, pria itu bahkan selalu bersikap dingin padanya.
Naysila langsung menunduk lagi, tak kuasa menahan gejolak hati mendengar pujian dari orang yang dicintainya itu.
Alden tersenyum kecil menyadari kegugupan Naysila. Kali ini matanya menatapnya dengan lebih lembut. "Aku nggak pernah bercanda soal itu."
Seketika, pipi Naysila semakin merah. Ia hanya terus menunduk, tersenyum kikuk sambil memeluk dirinya sendiri. Lift berdenting pelan, pintunya terbuka menuju lobi hotel yang ramai, memecah suasana canggung di antara keduanya.
Alden melangkah lebih dulu, kemudian menoleh dan mengulurkan tangan pada istrinya. "Kalau kamu nggak keberatan, sebaiknya kita bergandengan tangan. Om Roman pasti akan bertanya-tanya mengapa kita tidak terlihat mesra seperti dulu."
Naysila tertegun sejenak sebelum akhirnya menyambut uluran tangan itu. Ia ragu untuk menggandeng tangan Alden, tetapi ia tahu Om Roman selalu teliti dengan hal-hal sekecil itu.
*
[Ballroom Hotel – Acara Akad Nikah]
Begitu pintu ballroom terbuka, suasana langsung terasa hangat, sakral, dan elegan. Ruangan besar itu disulap menjadi tempat akad nikah bernuansa Batak Muslim modern — memadukan keindahan adat dengan sentuhan modern yang lembut.
Langit-langit ballroom berhias ornamen ulos berwarna merah marun dan emas, dipadukan dengan dekorasi bunga melati dan mawar putih di sepanjang jalan menuju meja akad. Di sisi panggung, berdiri para pemain gondang sabangunan yang memainkan musik dengan tempo pelan dan harmonis, menciptakan atmosfer khidmat.
Para tamu pria tampak gagah mengenakan songkok hitam dan ulos di bahu, sementara para perempuan tampil anggun dalam kebaya modern berwarna lembut, beberapa di antaranya juga mengenakan hijab.
Naysila berjalan di samping Alden, menggandeng tangan suaminya dengan sedikit gugup. Apalagi , ia juga sedikit malu karena pakaiannya tidak sama dengan yang lain.
"Mas, yang lain pakai bajunya khas Batak, tapi kita pakai baju kayak gini. Apa gak masalah?" bisik Naysila.
"Kenapa harus masalah? Di sini, kita itu tamu dan kita berhak memakai baju apapun yang kita inginkan," jawab Alden.
Naysila mangut-mangut paham, meskipun sebenarnya masih saja merasa canggung karena tak sama.
Beberapa anggota keluarga besar sudah duduk di barisan depan, termasuk Om Roman, ayah dari Aura, perempuan yang hari ini akan melangsungkan akad nikah dengan pria pilihannya.
"Banyak juga tamu yang datang, ya," bisik Naysila pelan.
Alden mengangguk sambil melirik ke arah pelaminan. "Iya. Aura memang anak kesayangan Om Roman. Acara ini pasti disiapkan dengan matang dan mengundang banyak tamu."
Di depan, Aura terlihat duduk anggun di kursi pelaminan dengan kebaya putih berhias payet halus, wajahnya bersemu bahagia. Di samping penghulu, calon suaminya duduk dengan wajah tegang namun mantap.
Suara penghulu mulai terdengar lembut, mengucap basmalah sebelum memulai ijab kabul. Semua tamu mendadak hening. Suara gondang perlahan berhenti, menyisakan keheningan yang penuh doa.
Ketika akad nikah dimulai dan penghulu melapalkan kalimat ijab. Mempelai pria langsung menimpali dengan kalimat kabul secara lantang dalam satu tarikan napas.
"Saya terima nikahnya Aura Salsabila binti Roman Hasibuan dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai."
"Bagaimana saksi? Sah?" tanya penghulu pada para saksi.
"Sah!" seru para saksi serempak.
Tepuk tangan kecil dan ucapan syukur pun terdengar. Alden dan Naysila ikut bertepuk tangan, turut bahagia untuk Aura.
Naysila tersenyum haru melihat Aura menunduk malu saat disematkan cincin di jarinya.
"Cantik banget, ya," bisiknya dengan mata berbinar.
Alden menoleh sekilas, lalu mengangguk. "Iya. Aura memang cantik, sangat cocok dengan Fahri."
Tak lama, ibu Aura naik ke pelaminan membawa ulos hela, kain adat yang menjadi simbol restu keluarga. Dengan penuh kelembutan, ia menyelimutkan ulos di pundak kedua mempelai sambil mengucap,
"Ulos ni tondi tu tondi, semoga diberkahi dan saling menguatkan satu sama lain."
_
Alunan lagu Batak versi lembut kembali menggema dari pengeras suara. Para tamu berbahagia untuk kedua mempelai dan mendoakan mereka.
Alden dan Naysila ikut berdiri memberi hormat, lalu bertepuk tangan pelan bersama tamu lainnya. Naysila menatap Aura dengan senyum hangat, namun di balik itu, ia merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan, perasaan hangat, tapi juga getir.
Entah kenapa, melihat Aura dan Fahri saling menatap penuh cinta, membuatnya sedikit sadar… bahwa ia dan Alden dulu tak pernah punya momen seperti itu.
Suasana menjadi haru, tapi penuh kebahagiaan dalam momen itu. Om Roman menghampiri Alden dan Naysila lalu mendoakan keduanya agar segera memiliki momongan. Hal itu membuat Naysila melirik suaminya, hingga membuat keduanya kikuk dan tak mampu berkata-kata lagi selain berterima kasih atas doanya.
_
[JAM 11 SIANG]
Setelah prosesi akad selesai, para tamu mulai bersiap untuk sesi foto bersama. Aura dan Fahri berdiri di depan pelaminan, bergantian berfoto dengan keluarga. Naysila ikut membantu tim dokumentasi keluarga Haldy mengatur posisi tamu.
"Mbak, tolong ambilkan buket cadangan di meja belakang, ya," pinta seorang panitia wanita pada Naysila.
"Baik," jawab Naysila cepat, lalu bergegas. Langkahnya ringan, namun ia hampir saja terpeleset karena karpet licin di dekat panggung.
Untung saja tangan Alden sigap menarik lengannya. "Pelan-pelan, Nay," ucap Alden dengan nada lembut tapi tegas. "Kenapa harus buru-buru? Nanti kamu jatuh."
Naysila menatap suaminya sekilas. "M-maaf… aku gak tahu karpetnya licin."
Alden menghela napas pelan, namun menghela napas lega. "Gak apa-apa. Tapi jangan jalan buru-buru, kalau jatuh nanti sakit. Biar aku bantu, sini."
"Boleh."
Alden mengambil buket bunga tadi dan mengajak Naysila berjalan bersamanya, membuat keduanya berjalan berdampingan lagi. Sekilas, pasangan muda itu terlihat serasi di mata keluarga besar. Beberapa sepupu Alden bahkan berbisik-bisik sambil tersenyum melihat kedekatan mereka.
Acara pun berlanjut dengan meriah, semua orang terlihat bahagia. Canda, tawa dan obrolan hangat memenuhi ruangan. Namun, Naysila memilih kembali ke kamarnya saat acara masih berlangsung karena lelah. Ia tidur sebentar sebelum bersiap kembali untuk acara resepsi yang akan di adakan nanti malam dengan tema internasional.
Mengetahui istrinya kembali ke kamar hotel, Alden pun menyusul. Ia pun ikut beristirahat di sofa dan tidur nyenyak bersama istrinya itu.
*****