Cintanya itu harusnya menyatukan bukan memisahkan, kan? Cinta itu harusnya memberi bahagia bukan duka seumur hidup, kan? Tapi yang terjadi pada kisah Dhyaswara Setta dan Reynald de Bruyne berbeda dengan makna cinta tersebut. Dua orang yang jatuh cinta sepenuh jiwa dan telah bersumpah di atas darah harus saling membunuh di bawah tuntutan. Siapakah yang menang? Tuntutan itu atau cinta mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caeli20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ep.12 : Rencana Jahat Meneer Lorens
Bukan hanya Dhyas yang tersenyum sendiri dalam kamarnya. Perasaan Cakra juga tidak kalah berbunga-bunga nya. Bagaimana tidak, perasaan yang terpendam bertahun-tahun akhirnya bisa dia ungkapkan pada Dhyas.
Cakra duduk di depan meja belajarnya di kamarnya. Suasana rumahnya yang hening membuat dia bisa meresapi bunga-bunga hatinya. Sri Lestari, ibunya, seperti biasa, sedang ada agenda pribadi bersama lelakinya. Entah dengan siapa kali ini. Cakra sudah tidak peduli. Dia memilih mengunci dirinya di kamar dan memikirkan Dhyas.
"Yas, aku ingin memilikimu seutuhnya," gumam Cakra.
"Tapi aku mau memantaskan diri dulu. Aku ingin menikahimu dengan usahaku sendiri. Aku ingin kamu membanggakan ku sebagai suami mu nanti," Cakra menutup matanya meresapi isi hatinya sendiri.
**
“Lagi-lagi kau gagal, Lukman!," Wajah Lorens merah, bibirnya bergetar menahan ledakan.
Suaranya meledak menghantam dinding-dinding ruangan.
Lukman menunduk, kedua tangannya meremas topi lusuhnya,
“Maaf, Tuan… tadi ada....,"
PLAAAKK!
Tamparan itu menggema keras. Lukman terhuyung ke samping, meringis sambil memegang pipinya. Suara tamparan itu bahkan membuat kaca jendela bergetar tipis.
Meneer Lorens mendekat, menatap Lukman seperti seekor binatang hendak menerkam.
“Aku tidak membutuhkan alasan. Aku membutuhkan hasil !!,"
Lukman berusaha memperbaiki napasnya,
“Tuan… tadi ada dua anak muda yang ikut melawan. Yang satunya seorang pemuda blesteran, sedangkan yang satunya lagi perempuan yang lalu juga menyerangku. Gadis itu sangat hebat. Bahkan mungkin kalau hanya pemuda itu, dia tidak mampu menghadapi para preman kita. Tapi gadis itu sangat tangguh. Terlihat dari setiap gerakannya," Lukman berusaha menjelaskan ditengah menahan nyeri karena tamparan bosnya itu.
Lorens mengerutkan dahi.
Ketertarikannya muncul begitu saja, campuran penasaran dan rasa ingin memiliki kendali.
"Gadis yang menarik, hmmm.. Siapa dia?,"
“Namanya Dhyas. Putri Cak Din, carik desa,"
Lorens berhenti berjalan.
Ia menatap kosong ke jendela, kemudian tiba-tiba tertawa kecil, tawa yang mengandung niat buruk,
“Ah… jadi ini gadis yang kau katakan punya nyali seperti lelaki itu ya,"
Lukman mengangguk tergesa.
“Benar, Tuan. Dia jago bela diri,"
Lorens melipat tangan,
"Hmmm menarik," lalu berkata dengan nada lebih rendah namun lebih menakutkan,
“Kalau begitu… bawa saja gadis itu padaku.”
Lukman terangkat sedikit, seperti mendapatkan restu untuk melakukan sesuatu yang selama ini hanya berani ia pikirkan.
“Tuan menginginkan… Dhyas?,"
Lorens mendekat, membungkuk agar wajah mereka sejajar,
“Tangkap dia sesegera mungkin. Aku ingin melihat sampai di mana kehebatannya,"ada
Lukman mengangguk cepat, meski rasa takut masih membuat tubuhnya gemetar.
Sementara itu, di luar pintu, seorang prajurit muda berseragam tentara rakyat berdiri membawa map cokelat berisi surat resmi. Ia datang atas urusan administrasi kantor tentara setempat.
Ia hendak mengetuk ketika suara tamparan dan teriakan terdengar dari dalam.
Ia menahan napas, ragu apakah harus masuk atau menunggu.
Namun ketika ia mendengar nama itu,
“Dhyas, anak Cak Din, Carik desa,"
tubuhnya langsung menegang.
Damian. Dia mendengar semuanya.
Niat buruk yang terselip dalam tawa Lorens.
Prajurit muda itu menggenggam map di tangannya lebih erat.
Rahangnya mengeras.
Sesegera mungkin dia mengetuk pintu ruangan itu untuk menyelesaikan masalah administrasi itu dengan Meneer Lorens dan dia ingin kembali ke desa malam ini juga untuk memperingatkan Dhyas.
**
Matahari pagi bersinar dengan cerahnya. Bi Mirna baru saja selesai mengatur sarapan di meja makan ketika Cakra baru bangun dan menuju meja makan dengan langkah gontai karena masih mengantuk.
Sri Lestari sudah di sana. Walaupun baru bangun tidur, riasan wajahnya tetap on point. Dia jarang terlihat kusut maupun kusam. Mungkin hanya saat di kamar mandi saja dia tidak bersolek.
"Ada surat dari ayahmu," kata Sri Lestari tanpa basa-basi begitu Cakra menyentuh kursi dan duduk di sana.
Dengan gerakan malas, Cakra mengambil surat itu dan mulai membacanya. Dia harus mengulang beberapa kali karena bahasa yang digunakan ayahnya campur-campur. Baru setelah memahami isi surat itu, Cakra menaruh surat itu kembali.
"Ke Belanda? Heh, aku tidak mau," ucap Cakra.
"Balas surat ayahmu itu. Beri alasan yang kuat supaya dia tidak memaksamu lagi. Kamu tahu sendiri betapa keras kepalanya ayahmu itu,"
"Aku akan mengiriminya surat," Cakra mengunyah rotinya dengan kasar.
**
"Damian? Kapan kamu pulang?," seru Dhyas sumringah melihat adiknya satu-satunya pulang. Selama ini, Damian mendapat jatah kamar di barak militer sehingga dia tidak perlu bolak balik ke desa setiap hari.
Tapi hari itu dia khusus pulang untuk melindungi kakaknya dari rencana jahat Meneer Lorens.
Dhyas merangkul kepala Damian yang sedang duduk menikmati kopi bersama ayah mereka, Cak Din.
"Duduklah kak. Ada yang ingin aku katakan,"
Dhyas duduk di depan adiknya dan mulai mendengarkan.
**
"Ayah langsung balik sore, kan?," tanya Ayudiah seraya menyiapkan bekal perjalanan untuk ayahnya dan Pak De Rusdi.
"Iya. Ayah tidak menginap. Ini hanya undangan makan biasa dari panglima Wira. Tapi ayah tidak tahu juga kalau ada misi yang harus dilakukan," jawab Mbah Lodra sambil memakai sorban putih di kepalanya.
"Kalau sudah larut malam, sebaiknya menginap saja. Keadaan sekarang kan semakin tidak aman. Belanda bergerilya menculik para pejuang bawah tanah seperti kita,"
"Ayah dan Pak De nanti ditemani Arya,"
"Arya ikut?,"
"Ya,"
Ayudiah terdiam sejenak bersamaan dengan Arya yang muncul dari pintu. Mata Ayudiah langsung terpaku pada Arya. Arya menatap gurunya. Sama sekali tidak menoleh pada Ayudiah.
"Kuda sudah siap, guru. Pak De Rusdi juga sudah menunggu di depan,"
"Baiklah. Kita pergi,"
"Ayah, jangan lupa bekalnya," Ayudiah menyerahkan sebuah bungkusan. Lalu melirik lagi pada Arya yang sama sekali tidak menoleh padanya.
Arya mundur satu langkah, mempersilakan Gurunya untuk berjalan ke luar duluan. Arya berdiri di depan Ayudiah. Ayudiah memanfaatkan kesempatan itu untuk berbisik,
"Hati-hati di jalan dan pulang selamat,"
Arya terkejut mendengar itu. Dia hanya menoleh sebentar pada Ayudiah dan mengangguk pelan lalu menyusul gurunya keluar.
Ayudiah hanya bisa menatap punggung Arya. Pria yang selama ini diam-diam dikaguminya.
**
Wajah Cakra memerah mendengar apa yang baru saja diceritakan Dhyas.
"Bedebah! Belanda kurang ajar!," maki Cakra.
"Aku tidak menyangka mereka akan berbuat sehina itu. Kalau bukan adikku sendiri yang menceritakannya mungkin aku tidak akan percaya," ujar Dhyas.
Cakra berpikir sejenak sambil menahan amarahnya.
"Akan kita hadapi cecunguk-cecunguk itu. Kita beri mereka pelajaran berharga. Aku akan meminta bantuan Yudistira,"
"Damian juga bisa membantu kita," usul Dhyas.
"Jangan. Terlalu berisiko. Damian bekerja di bagian administrasi yang notabene akan banyak berhubungan diplomasi dengan orang Belanda itu. Kalau dia sampai terlibat, takutnya wajahnya tersebar dan mereka menandai dia untuk dicelakakan,"
Dhyas mengangguk pelan,
"Benar juga,"
Cakra menyentuh pipi Dhyas,
"Tenang saja. Sekalipun tidak ada yang membantu ku, aku akan tetap berjuang melindungimu. Tidak akan aku biarkan mereka menyentuh satu helai rambut mu sekalipun,"
Dhyas tersenyum manis.