Dibawah langit kerajaan yang berlumur cahaya mentari dan darah pengkhianatan, kisah mereka terukir antara cinta yang tak seharusnya tumbuh dan dendam masa lalu yang tak pernah padam.
Ju Jingnan, putri sulung keluarga Ju, memegang pedang dengan tangan dingin dan hati yang berdarah, bersumpah melindungi takhta, meski harus menukar hatinya dengan pengorbanan. Saudari kembarnya, Ju Jingyan, lahir dalam cahaya bulan, membawa kelembutan yang menenangkan, namun senyumannya menyimpan rahasia yang mampu menghancurkan segalanya.
Pertemuan takdir dengan dua saudari itu perlahan membuka pintu masa lalu yang seharusnya tetap terkunci. Ling An, tabib dari selatan, dengan bara dendam yang tersembunyi, ikut menenun nasib mereka dalam benang takdir yang tak bisa dihindari.
Dan ketika bunga plum mekar, satu per satu hati luluh di bawah takdir. Dan ketika darah kembali membasuh singgasana, hanya satu pertanyaan yang tersisa: siapa yang berani memberi cinta di atas pengorbanan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NurfadilaRiska, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apakah Dia Kekasih Gelap Jie??
Setelah selesai di toko ramuan, Ling An mengantar Jingyan hingga ke depan istana. Bulan sudah tinggi di langit, menyinari halaman dengan cahaya lembut.
“Terima kasih atas bantuannya,” ujar Jingyan sambil tersenyum manis, menunduk sedikit. Ling An membalas senyum tipisnya, lalu pergi. Jingyan tetap tersenyum, berjalan memasuki istana.
Hari ini benar-benar menyenangkan baginya. Ia menuju ruang ramuan pribadinya, tempat ia biasa meracik obat-obatan. Selama bekerja, ia terus tersenyum, pikirannya dipenuhi bayangan Ling An.
Tiba-tiba, suara riang memecah kesunyian.
“Yanyan jiejie! Kau dari mana saja?? Kenapa baru kembali? Aku pikir ada yang menculik jiejieku yang cantik ini!”
Mei Yin langsung memeluk lengan Jingyan dari samping.
“Aku tadi pergi membeli beberapa bahan obat,” jawab Jingyan sambil tersenyum.
“Untuk siapa, jie?” Mei Yin melepas pelukan, menatap Jingyan serius.
“Untuk Nannan jiejie,” Jingyan menoleh sebentar, lalu fokus pada ramuan.
“Huuum, benarkah?” Mei Yin menatapnya penuh rasa ingin tahu. Namun Jingyan hanya mengangguk.
“Bukan untuk laki-laki yang mengantarmu pulang tadi kan?” tanya Mei Yin, melipat kedua tangannya dan menatap Jingyan dengan serius.
Jingyan tersentak.
“Hah??”
“Aku melihat kalian di depan istana tadi,” kata Mei Yin sambil tersenyum manis.
“Jie, apakah dia kekasih gelapmu??”
“Hah?? Kekasih gelap?” Jingyan menatap heran.
“Karna kalian bertemu di gelap malam,” Mei Yin tertawa kecil.
Jingyan hanya menggeleng, dan tersenyum tipis.
“Tidak, itu hanya teman biasa.”
“Oh ya? Benarkah???” Mei Yin menggoda.
“Mmm, kalau begitu dia cukup tampan… buatku saja, jie,” kata Mei Yin, tersenyum nakal, ia ingin melihat reaksi Jingyan.
Tapi Jingyan hanya menunduk, dan fokus pada ramuan yang ia buat saat ini.
“Mei Yin, sudahlah. Aku harus menyelesaikan ini dan mengantarkannya kepada Nannan jiejie.”
Mei Yin tersenyum, melihat kakaknya itu.
“Tapi jie, Nannan jiejie sudah pergi ke Longfeng bersama Weifeng Gege tadi.”
“Hah?? Benarkah??” Jingyan terkejut.
“Benar, tapi jie… aku ada ide.” Mei Yin menyeringai kecil, seolah-olah rencananya adalah satu-satunya jawaban dari seluruh permasalahan dunia.
Jingyan mengangkat alis.
“Apa itu?”
Mei Yin mendekat, menurunkan suaranya seperti sedang membocorkan rahasia kerajaan.
“Kita susul saja mereka ke Longfeng.”
Matanya berbinar-binar penuh antusias.
“Aku sudah lama ingin pergi ke sana, tapi Nannan jiejie tidak pernah mengizinkanku. Mungkin dia takut aku mengganggu prajuritnya berlatih.”
Jingyan memandang adiknya itu antara bingung, lelah, dan berusaha menahan tawa.
“Hahaha… carilah kesempatan dalam kesempitan,” batin Mei Yin sambil tersenyum lebar, seakan ia baru saja memenangkan peperangan besar.
Ia benar-benar merasa rencana ini adalah ide paling cemerlang yang pernah ia pikirkan.
“Hahaha! Nannan jiejie… akhirnya aku bisa menginjakkan kaki di tempat yang selalu kau larang itu!” Mei Yin menahan tawa, tubuhnya bahkan sedikit bergetar karena semangat.
Jingyan menatapnya lama.
Anak ini… semakin hari semakin aneh, pikirnya.
“Jie, kapan kita berangkat??” Mei Yin mendekat cepat, matanya berbinar seperti lampu lentera yang baru dinyalakan.
“Besok pagi saja,” jawab Jingyan tenang sambil berdiri untuk mengambil beberapa ramuan yang baru selesai ia racik.
“Tidak bisa sekarang juga ya, jie??” Mei Yin memonyongkan bibirnya.
“Mei Yin, kau mau jadi santapan serigala? Ini sudah larut malam.”
Mei Yin langsung tersentak.
“Benar juga. Aku belum mau mati sih… masih banyak makanan yang harus kunikmati di dunia ini.”
Jingyan memijit pelipis.
“Kau suka bicara soal makanan, tapi justru paling sering lupa makan.”
“Yaa begitulah hidup, jie. Kalau tidak ingat ya… lupa.”
Mei Yin tersenyum seenaknya.
Jingyan menggelengkan kepalanya melihat tingkah Mei yin.
“Sana. Kembalilah ke kamarmu. Besok kita berangkat.”
Mei Yin pun pergi sambil bersenandung, seperti anak kecil yang berhasil mencuri permen dari dapur.
semangat teruslah aku dukung🔥❤️