NovelToon NovelToon
Sebungkus Mie Instan

Sebungkus Mie Instan

Status: sedang berlangsung
Genre:Single Mom / Cerai / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Selingkuh / Janda / Romansa
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Tika Despita

Sudah empat tahun lamanya Aini menikah dengan suaminya Rendra. Namun dia tahun terkakhir Rendra tak bekerja. Sehingga kebutuhan sehari-hari di bantu bapak mertuanya. Terkadang Aini terpaksa memasak sebungkus mie instan untuk lauk makannya dirinya dan anaknya.

Disaat himpitan ekonomi, suaminya pun bertingkah dengan kembali menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tika Despita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pekerjaan Baru

Setelah Ibuk membawa Keenan ikut ke rumah depan untuk bekerja, aku pun meminta Kevin mengantarkanku ke tempat aku ingin melamar pekerjaan. Alamatnya tidak terlalu jauh dari rumah, bahkan searah dengan tempat kerja Kevin.

“Vin, Mbak turun di sini aja!” ucapku ketika motor Kevin berhenti di depan sebuah gedung besar dan megah.

Kevin menatap ke arah gedung itu dengan kening berkerut. “Yakin ini tempatnya, Mbak? Kok gedungnya gede banget, ya? Orang yang kerja di sini juga kelihatannya ramai.”

“Iya, Vin. Kata Lisa, alamatnya memang di sini,” jawabku sambil mengecek ulang alamat yang dikirim Lisa lewat pesan WhatsApp.

Kevin menunjuk logo besar di depan gedung.

“Mbak, itu kan logo yang sering kita lihat di bungkus minyak goreng, sabun, sama shampoo? Ini perusahaan besar, loh.”

Aku ikut menatap logo itu. Benar juga ucapan Kevin kalau perusahaan ini memang terkenal. Dalam hati, aku pun langsung merasa nyaliku menciut.

“Yaudah, Mbak masuk dulu aja. Nih, Lisa udah misscall Mbak dari tadi,” ucapki sambil menunjukkan layar ponsel ke Kevin.

“Oke, Vin. Makasih ya udah nganterin mbak. Kamu yang hati-hati di jalan!”

Kevin mengangguk dan kembali menyalakan motornya. “Semangat ya, Mbak! Semoga keterima.”

Akupun mengangguk.

Begitu motornya melaju pergi, aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan detak jantungku yang terasa lebih cepat dari biasanya. Melangkah masuk ke dalam lobi gedung itu saja sudah bikin aku gugup. Gedungnya besar, modern, dan ber-AC dingin. Para karyawan berlalu-lalang dengan pakaian rapi,ada yang pakai blazer, ada yang menenteng laptop. Semua terlihat sibuk dan profesional.

"Ya Tuhan, Jangan-jangan kayaknya salah alamat deh aku. Mana mungkin aku, tamatan SMA, kerja di tempat sekeren ini gumamku dalam hati.

Tapi aku segera menepuk pipiku pelan, mencoba menumbuhkan semangat.

Aku melangkah masuk lebih dalam, sampai melihat sosok Lisa yang melambaikan tangan ke arahku.

“Eh, sorry ya aku agak telat,” ujarku sambil menghampirinya.

“Gak apa-apa! Yuk, langsung ke bagian HRD aja. Aku udah bilangin sama Bu Siska biar kamu diterima kerja di sini,” kata Lisa cepat, lalu menggandeng tanganku tanpa banyak basa-basi.

Kami berjalan melewati lorong panjang berlantai marmer. Aku sempat melirik ke kanan dan kiri, kagum melihat ruangan-ruangan bersekat kaca. Semua tampak bersih dan berkelas.

Begitu sampai di ruangan HRD, terlihat seorang wanita berusia sekitar empat puluhan dengan tubuh agak berisi sedang duduk di depan komputer. Lisa langsung menyapanya.

“Bu Siska, ini teman saya yang saya ceritain tadi,” ucap Lisa.

Aku segera tersenyum sopan dan mengulurkan tangan.

“Aini, Bu.”

“Bu Siska,” balasnya ramah, meski matanya sempat meneliti penampilanku dari atas sampai bawah.

“Sebelumnya kamu udah pernah kerja jadi cleaning service?” tanyanya sambil membuka berkas di mejanya.

“Belum, Bu. Tapi kalau soal bersih-bersih, Insya Allah saya bisa diandalkan. Soalnya di rumah juga saya yang ngerjain semua,” jawabku dengan jujur.

“Hm… jadi kamu udah menikah?” lanjutnya lagi.

“Iya, Bu,” jawabku pelan.

Lisa langsung menyela, “Tapi sebentar lagi dia juga mau pisah sama suaminya, Bu. Dia bakal ngebesarin anaknya sendiri.”

Aku sontak menunduk malu, meremas jemari tangan sendiri.

Namun, Bu Siska justru tersenyum penuh pengertian.

“Bagus itu. Perempuan memang harus bisa berdiri di kaki sendiri. Gak ada suami pun, hidup tetap harus jalan.”

Aku mengangguk pelan, merasa sedikit lega.

“Baiklah, kamu saya terima,” lanjut Bu Siska akhirnya.

 “Kebetulan cleaning service di lantai atas baru aja berhenti. Jadi kamu bakal menggantikan posisi itu. Kamu calon cleaning service yang ke tiga puluh lima, loh.”

Aku sempat mengerutkan dahi. “Maksudnya, Bu?”

Bu Siska menghela napas pendek. “Iya, sebelum kamu udah tiga puluh empat orang yang kerja di sana, tapi semuanya gak ada yang betah. Bos di lantai atas itu perfeksionis banget. Orangnya tegas,cuma kalau gak suka langsung usir saja,makanya banyak yang gak betah. Padahal kerjaannya cuma nyapu, ngepel, ngelap debu, sama nyiapin teh.”

Aku menelan ludah. “Oh… gitu, ya, Bu.”

“Yaudah, semoga kamu betah ya, Aini,” ucap Bu Siska sambil memberikan satu set seragam kerja dan ID card kecil berlogo perusahaan.

Aku tersenyum lega. “Terima kasih banyak, Bu!”

“Kalau kamu nanti gak sanggup kerjanya, langsung temui saya aja. Nanti saya bantu urus pesangonmu,” tambah Bu Siska, suaranya setengah serius, setengah iba.

“Iya, Bu. Semoga saya bisa bertahan.”

Selesai urusan administrasi, aku dan Lisa keluar dari ruangan HRD. Lisa menatapku sambil tersenyum lebar.

“Kamu yang semangat, ya! Aku yakin kamu bisa bertahan. Ingat, demi Keenan!” katanya memberi semangat.

Aku ikut tersenyum, mataku terasa panas menahan haru. “Iya, Lis. Makasih banget ya udah bantuin aku cari kerja. Aku gak bakal lupa.”

Lisa menepuk pundakku lembut. “Udah, jangan terharu dulu. Nanti kalau udah gajian, traktir aku bakso aja udah cukup.”

Aku tertawa kecil.

“Deal!”

Kami pun berpisah di depan lift. Saat aku berdiri menatap seragam di tanganku, aku menarik napas panjang dan berbisik pada diri sendiri.

“Semoga ini awal yang baru buat aku dan Keenan…”

**

Aku segera menuju toilet untuk mengganti pakaian kerja. Seragam cleaning service yang baru kubawa dari HRD tadi kini sudah kukenakan. Rasanya agak aneh di awal seh tapi bukan karena tak nyaman, karena aku belum pernah memakai pakaian kerja seperti ini sebelumnya. Namun, demi Keenan, aku harus kuat dan belajar terbiasa.

Selesai beres-beres, aku merapikan ikat rambutku di depan cermin kecil di toilet.

“Bismillah,” gumamku, lalu melangkah keluar menuju pantry untuk menemui kepala cleaning service yang disebut Bu Siska tadi.

“Assalamualaikum,” sapaku sopan saat melangkah masuk ke dalam pantry yang sudah wangi pembersih lantai.

Seorang wanita dengan rambut disanggul rapi menoleh ke arahku. Usianya mungkin tak jauh beda dengan Bu Siska. Ia tersenyum ramah.

“Kamu Aini, ya? Tadi Bu Siska udah kasih tahu saya, katanya kamu cleaning service yang baru.”

Aku mengangguk cepat. “Iya, Mbak.”

“Kenalin, saya Cici. Kamu bisa panggil saya Mbak Cici aja,” katanya sambil mengulurkan tangan. Aku pun menyambut tangannya dan membalas senyumnya.

Setelah itu, Mbak Cici mulai menjelaskan secara rinci apa saja tugasku. Nada suaranya tegas tapi tetap ramah, seperti seorang kakak yang sedang menasihati adiknya.

“Jadi kamu nanti kebagian bersihin ruangan di lantai paling atas, lantai direktur. Di sana kebersihannya harus benar-benar dijaga, ya. Gak boleh ada debu sedikit pun. Dan satu hal yang paling penting yaitu kamu gak boleh sembarangan sentuh barang milik bos. Orangnya itu perfeksionis banget. Karena kalau barangnya geser satu sentimeter aja, dia langsung tahu.”

Aku spontan menelan ludah. “Oh... gitu, Mbak. Insya Allah saya sanggup.”

Mbak Cici tersenyum kecil. “Yaudah, bagus. Karena bos belum datang, kamu bisa bersih-bersih dulu ruangannya. Itu, sapu sama kain pel baru udah saya siapin di pojok situ. Kalau ada yang gak kamu ngerti, nanti tanya aja ke saya, ya.”

Aku mengangguk paham. “Baik, Mbak. Terima kasih.”

**

Tak lama kemudian, aku naik lift menuju lantai paling atas. Perasaanku campur aduk antara gugup, senang, dan penasaran. Saat pintu lift terbuka, aku langsung melihat suasana yang berbeda dari lantai-lantai sebelumnya. Sunyi, hanya terdengar suara pendingin udara yang berdengung lembut.

Di ujung lorong, ada satu ruangan besar bertuliskan “Direktur Utama”, dan di depannya terdapat meja panjang dengan papan nama bertuliskan Sekretaris. Dua wanita cantik duduk di sana, sibuk merapikan riasan di depan cermin kecil.

Aku melangkah mendekat pelan. “Permisi, Mbak. Saya mau bersih-bersih ruangan ini,” ujarku sopan.

Salah satu dari mereka menoleh sekilas, menatapku dari atas ke bawah. “Masuk aja, Mbak. Yang bersih, ya,” katanya datar, lalu kembali memoles lipstiknya.

Aku mengangguk dan membuka pintu ruangan besar itu.

Begitu masuk, aku langsung terpaku. Ruangan itu luar biasa luas dan terang. Dinding kacanya menampilkan pemandangan kota yang indah dengan gedung-gedung tinggi, jalanan yang sibuk, dan langit biru yang seolah menyambutku. AC-nya dingin dan aroma ruangan itu wangi dengan parfum ruangan yang mahal menurutku.

“Masya Allah, keren banget...” gumamku tanpa sadar. Tapi aku cepat-cepat menepuk pipiku sendiri pelan.

“Aini, fokus! Ini bukan waktunya kagum. Sekarang waktunya kerja.”

Aku mengambil kain lap dan mulai mengelap meja besar di tengah ruangan dengan sangat hati-hati. Aku benar-benar memperhatikan setiap sudut, takut ada debu yang terlewat. Setelah itu aku menyapu, mengepel, lalu memastikan semuanya mengilap tanpa noda sedikit pun.

Saat aku merasa pekerjaanku sudah cukup rapi, aku menarik napas lega.

“Alhamdulillah, udah bersih banget,” bisikku sambil tersenyum kecil.

Aku pun hendak keluar. Tapi baru saja tanganku menyentuh gagang pintu, suara pintu di belakangku terbuka perlahan. Langkah sepatu terdengar masuk.

Refleks aku menunduk. Dari aroma parfum yang kuat tapi elegan, aku bisa menebak orang ini pasti bukan karyawan biasa. Pasti dia... bos yang dimaksud Mbak Cici.

Aku menunduk sopan tanpa berani mengangkat kepala. Tapi semakin lama, aroma parfum itu terasa semakin familiar di hidungku. Seperti… aku pernah mencium bau ini sebelumnya.

Perlahan aku mengangkat kepala, dan pandanganku langsung membeku.

Astaga… dunia rasanya berhenti sejenak.

Pria yang berdiri di depanku dengan jas abu-abu rapi, dasi hitam, dan tatapan tajam itu bukanlah orang lain.

Itu Arsya.

Tetangga depan rumahku.

Aku sampai ternganga kecil, sementara Arsya memandangku dengan ekspresi terkejut yang sama.

“...Aini?” suaranya terdengar pelan, tapi cukup membuat jantungku nyaris berdetak kencang saking tak percayanya.

1
Kala Senja
Bagus ceritanya
Qhaqha
Semoga suka dengan karyaku ini... 😊😊😊
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!