Kisah perjuangan seorang anak ningrat yang dibuang bersama ibunya, tumbuh miskin, dihina, dan bangkit menjadi legenda dunia bisnis—menaklukkan pasar saham, membangun kerajaan korporasi, dan akhirnya mengguncang fondasi keluarga bangsawan yang dulu mengusirnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LANGIT PEMALANG
Kabut turun pelan di pagi hari desa Gumalar, menutupi lereng gunung Slamet seperti selendang putih yang jatuh dari langit. Udara dingin menggigit tulang, tapi suara ayam jantan, derit bambu, dan sapaan ibu-ibu yang menanak nasi di dapur membuat kehidupan terasa hangat.
Di depan rumah berdinding papan, Lanang Damar Panuluh mengikat tali sepatunya yang mulai aus. Seragam SMP-nya sudah tak baru, tapi selalu bersih. Di belakangnya, Sari berdiri dengan termos air panas dan bekal nasi bungkus daun pisang.
“Sarapan di jalan jangan lupa ya, Nak. Jangan cuma jajan sembarangan. Perutmu masih sering masuk angin.”
Damar tersenyum, mengangkat tasnya.
“Iya, Bu. Aku cuma beli tahu petis di depan sekolah, itu juga kalau uang jajannya cukup.”
Sari terkekeh. “Dasar bocah. Ya sudah, hati-hati. Jangan ngebut di turunan, sepeda kamu itu udah goyang remnya.”
Damar mengangguk, lalu mengayuh sepedanya pelan. Jalan desa licin karena embun. Di kejauhan, gunung berdiri gagah, seolah menjadi saksi setiap langkah kecil mereka — ibu dan anak yang meniti hidup dengan sisa-sisa misteri masa lalu.
Setiap pagi, perjalanan ke sekolah seperti petualangan kecil bagi Damar. Ia melewati sawah yang baru ditanami padi, sungai kecil dengan batu besar di tengahnya, dan pos ronda tempat para bapak duduk menyeruput kopi. Kadang ada anak-anak kecil yang melambai sambil berteriak,
“Lanang! Nanti ajarin PR ya!”
Ia hanya tertawa dan melambaikan tangan. Di sekolah, Damar cepat dikenal karena kepintarannya. Tak hanya guru, kepala sekolah pun sering memuji.
“Kamu ini, Lanang, pikirannya udah kayak orang kuliahan. Kalau terus begini, bisa masuk olimpiade sains nasional.”
Tapi di balik sorot matanya yang tajam dan senyum polosnya, ada sesuatu yang lebih dalam — rasa ingin tahu yang belum terjawab. Setiap kali teman-temannya bicara tentang ayah, tentang keluarga, Damar hanya terdiam. Ia tahu ibunya selalu menghindar bila topik itu muncul.
Suatu malam, saat hujan turun pelan dan suara kodok memenuhi halaman, Damar mendekati ibunya yang sedang menjahit baju.
“Bu…”
“Hmm?”
“Ayah itu siapa?”
Sari terhenti. Jarum jahit di tangannya bergetar sedikit. Ia menatap Damar — mata anak itu seperti menyimpan sesuatu yang familiar, sesuatu yang dulu pernah ia lihat di seseorang, tapi entah siapa.
“Ayahmu orang baik, Nak. Tapi… dia jauh.”
“Kenapa jauh?”
“Kadang, orang dewasa harus berpisah bukan karena nggak saling sayang, tapi karena takdir.”
“Dia tahu aku ada?”
“Tahu.”
“Dia sayang aku?”
“Sayang sekali.”
Jawaban itu keluar lirih, nyaris patah. Damar menunduk.
“Kalau gitu kenapa dia nggak pulang, Bu?”
Sari tak bisa menjawab. Di dalam dadanya, sesuatu berdenyut — rasa sakit yang tak punya nama. Ia hanya mengusap rambut anaknya.
“Tidur, ya. Besok kamu harus berangkat pagi.”
Namun malam itu, setelah Damar tertidur, Sari duduk lama di tepi ranjang. Hujan makin deras, dan di kepalanya mulai muncul kilasan aneh: kilatan lampu kota, gedung tinggi berlogo sayap, suara pria memanggil namanya. Tapi setiap kali ia mencoba menggenggam ingatan itu, kepalanya seperti dipukul keras. Ia meringis, menahan sakit yang datang tiba-tiba, lalu semuanya gelap lagi.
Hari-hari berlalu. Damar semakin menonjol di sekolah. Ia memenangkan lomba cerdas cermat tingkat kabupaten, dan namanya dimuat di koran Pemalang Pos. Kepala sekolah datang langsung ke rumah untuk mengabarkan kabar gembira itu. Warga desa bangga, dan Sari tak henti bersyukur. Namun di balik kebahagiaan itu, ada kegelisahan kecil — seolah dunia luar mulai menjemput anaknya keluar dari lingkaran aman mereka.
Sore itu, Sari menatap dari beranda ketika Damar pulang membawa sepeda dengan senyum lebar.
“Bu! Aku juara satu! Dapet piala!”
Ia menunjukkan piala kecil berwarna emas. Sari menatap lama, lalu memeluk anaknya dengan erat.
“Ibu bangga sekali sama kamu, Nak.”
Tapi di sela pelukannya, air mata jatuh tanpa bisa dicegah. Damar heran.
“Lho, kok ibu nangis?”
“Nggak apa-apa, Nak… Ibu cuma bahagia.”
Namun hatinya bergetar — karena dalam kilasan samar di pikirannya, ia merasa pernah melihat piala serupa. Bukan di rumah ini, tapi di tempat lain… di ruang besar dengan kaca tinggi dan cahaya lampu kota.
Beberapa bulan kemudian, desa Gumalar kedatangan tamu dari kota. Mobil berpelat B berhenti di balai desa, membawa rombongan dari sebuah lembaga sosial pendidikan. Mereka memperkenalkan diri sebagai perwakilan dari Yayasan Kinasi — lembaga yang akan membantu membangun ruang kelas baru dan beasiswa untuk anak-anak desa.
Kepala sekolah SMP Pemalang tempat Damar belajar dipanggil untuk mendampingi rapat. Damar ikut membantu panitia menyiapkan konsumsi dan dokumentasi. Ia tak tahu, nama yayasan itu akan mengubah seluruh hidupnya.
“Kinasi…” gumam Damar pelan, membaca tulisan di spanduk.
Kata itu terasa aneh di lidahnya, tapi hangat di dada.
“Nama yang indah,” pikirnya.
Di rumah, malamnya, Damar bercerita dengan penuh semangat.
“Bu, nanti sekolah kita dibantu yayasan besar dari Jakarta! Namanya Kinasi! Katanya mau bikin program beasiswa juga!”
Sari tertegun.
“Kinasi?”
“Iya. Bu tahu nggak artinya?”
Sari menggeleng, tapi hatinya berdebar. Kata itu seperti membangunkan sesuatu dari kedalaman pikirannya. Ia menatap jauh ke luar jendela, ke arah puncak gunung yang diselimuti kabut.
Dalam detik itu, ia tak tahu kenapa air matanya mengalir.
Keesokan harinya, di Jakarta — Arif Dirgantara berdiri di depan jendela lantai 30 Dirgantara Tower, menatap langit Jakarta yang berwarna oranye keemasan. Di tangannya, proposal kunjungan yayasan berikutnya — tertulis dengan jelas di atas kertas: Kabupaten Pemalang, Desa Gumalar.
Tangannya bergetar. Ia menatap tulisan itu lama sekali, lalu tersenyum kecil.
“Entah kenapa, aku merasa harus pergi sendiri kali ini.”
Di luar, lampu-lampu kota mulai menyala, dan jauh di utara — di bawah langit Pemalang — seorang wanita bernama Sari memejamkan mata dalam gelisah, mendengar kembali suara samar di kepalanya.
“Retno…”
menarik