Musim pertama : Tatap Aku, Suamiku
Musim Kedua : Bunda dari Anakku
Jatuh cinta pada pandangan pertama, membuat Wira (22 tahun) nekad membawa kedua orang tuanya ke Yogyakarta untuk melamar Naina ( 17 tahun), yang hanya seorang gadis yatim piatu.
Wira yang terlahir dari keluarga berada, menikah dengan Naina yang hanya gadis dari keluarga biasa.
Lima tahun pernikahan, guncangan menghantam kehidupan rumah tangga mereka. Dunia Naina hancur seketika. Kebahagiaan yang selama ini direguknya, apakah hanya sebuah kebohongan semata atau memang nyata. Apakah pernikahan ini sanggup di pertahankan atau harus berakhir??
Ikuti perjalanan rumah tangga Wira dan Naina
“Tolong tatap aku lagi, Suamiku.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Casanova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
S1. Bab 11
“Mas, Nai hamil?” tanya Naina, berlinang air mata. Sesalnya menyeruak, saat mendapati kenyataan itu.
Wira mengangguk. Tak kuasa menjawab, terlalu menyakitkan. Hanya dengan melihat wajah sendu istrinya, rasa bersalah kembali menghantam dirinya.
“Maafkan Mas, Nai.” Lelaki itu langsung memeluk erat Naina.
“Harusnya Mas tidak meninggalkan Nai terlalu malam,” lanjut Wira. Hatinya tertusuk sembilu memandang wajah sedih yang berusaha ditutupi istrinya. Hatinya nyeri saat menatap raut terluka yang berusaha menguatkan diri dan menahan air mata supaya tidak luruh.
“Maafkan Nai, Mas.” Suara pelan Naina tercekat, bergetar hebat menahan isak tangis yang hampir pecah.
“Ini salah Nai. Harusnya Nai mendengarkan Mas untuk tetap menunggu di rumah mama, tetapi Nai membantah. Ini salah, Nai. Maafkan Nai, Mas.”
Naina meraih tangan kanan suaminya, mengecup punggung tangan Wira berulang kali sembari berucap kata maaf. Serasa mendapatkan hukuman berat, karena sudah menjadi istri yang durhaka.
Airmata itu menetes, turun perlahan menghiasi wajah pucat Naina. Pertahanan dirinya runtuh.
“Ini hukuman untuk Nai karena membantah semua ucapan suami Nai sendiri,” bisiknya pelan. Kembali meminta maaf.
Mendengar curahan hati Naina yang terus menerus merasa bersalah, Wira kembali memeluk untuk menenangkan.
“Bukan salah Nai, ini juga salah Mas. Jangan seperti ini, Sayang. Mungkin sudah jalannya. Kita masih berjuang lagi,” jelas Wira.
Hampir sepuluh menit, Naina berusaha menenangkan dirinya, menghentikan tangisnya, berusaha menerima kenyataan pahit ini.
“Nai, maafkan aku. Kita pasti bisa melewatinya bersama-sama,” ucap Wira menguatkan.
Naina mengangguk. “Iya Mas.” Naina bersuara, pelan nyaris tidak terdengar.
Dia harus bersikap tegar, demi Wira tidak merasa bersalah terus-menerus. Suaminya itu bahkan mengecup tangannya, ikut meminta maaf padanya.
“Iya Mas. Ini bukan yang pertama. Nai pasti bisa melewatinya, Mas juga pasti bisa,” ucap Naina berkaca-kaca. Ini bukan kejadian pertama. Selama lima tahun pernikahan mereka, Naina sudah beberapa kali mengalami keguguran.
***
Naina terdiam, mengingat perjalanan dua bulan ini. Berarti selama ini ada bayinya di dalam rahim, tetapi dia tidak menyadari. Mengulang kembali kenangan demi kenangan selama mengandung janinnya. Ada luka menganga tidak terlihat yang berusaha ditutupi dari suaminya.
Dia dan Wira sangat menginginkan kehadiran bayi, bukan sekarang, bahkan sejak awal menikah, tidak ada niatan untuk menundanya. Namun jodoh, maut, rezeki termasuk kehadiran anak di dalam rumah tangga mereka adalah bagian dari rencana Tuhan. Dia dan Wira tidak bisa berbuat banyak, selain berdoa dan berusaha.
Wira yang memilih tidak ke kantor hari ini, seharian hanya di rumah sakit menemani Naina. Lelaki itu baru saja mengabari kedua orang tuanya mengenai musibah yang menimpanya dan Naina. Dan sekarang papa dan mama Wira sedang dalam perjalanan menuju ke rumah sakit.
“Nai, kamu butuh sesuatu? Apa ada yang sakit?” tanya Wira. Sejak tadi dia memperhatikan istrinya yang tampak melamun.
“Nai baik-baik saja, Mas.” Naina menjawab singkat. Meskipun begitu, tatapannya masih kosong, menerawang.
Wira yang tadinya duduk di sofa, berjalan mendekat. Ada rasa khawatir dan sedih melihat kondisi istrinya. Walau Naina mengatakan dia baik-baik saja, Wira tahu kalau istrinya tidak sedang dalam keadaaan baik-baik.
“Mau mas suapi makan?” tanya Wira, menjatuhkan tubuhnya duduk di sebelah Naina.
“Nai masih kenyang, Mas.” Menggeleng pelan, menjatuhkan kepalanya di pundak Wira.
“Mas, maafkan Nai. Karena Nai, Mas jadi tidak bisa ke kantor,” ucap Naina pelan.
“Kenapa harus meminta maaf terus, Nai. Sudah menjadi tanggung jawabku untuk menjagamu. Mas ini suamimu,” ucap Wira, menjatuhkan kepalanya menempel di kepala Naina.
Tangan keduanya saling bertautan.
“Mas, kalau Nai tidak bisa hamil lagi, Mas bagaimana?” tanya Naina, mencoba mengeluarkan risau yang menyesak di dadanya sejak tadi.
“Pasti bisa, Sayang,” sahut Wira, mengeratkan gengaman tangan yang saling menaut.
“Pasti,bisa. Jangan sedih, Nai,” hibur Wira.
Dering ponsel dari kantong celana seketika membuyarkan kemesraan keduanya. Wira merogoh kantong dan mendapati Stevi yang menghubunginya.
“Sayang, Stevi menghubung. Mas angkat dulu, ya,” ucap Wira, menunjukan layar ponsel yang memunculkan nama sang sekretaris.
Wira memilih menerima panggilan di luar kamar, tidak ingin Naina mendengar pertengkarannya dengan Stevi.
“Ada apa, Stev?” tanya Wira begitu menerima sambungan teleponnya.
“Mas, kenapa tidak ke kantor?” tanya Stevi dari seberang.
“Istriku sedang sakit, aku tidak bisa ke kantor hari ini. Memang ada masalah apa?,” sahut Wira dan balik bertanya. Lelaki itu terlihat mondar-mandir di depan ruang perawatan dengan satu tangan terselip di saku celana.
“Naina sakit apa?” tanya Stevi, penasaran.
“Kamu tidak perlu tahu istriku sakit apa. Kamu tidak berhak ikut campur dan mengurusi kehidupan rumah tanggaku dan Naina. Yang harus kamu urusi itu Nola!” tegas Wira. Ada nada ketidaksukaan tercetak jelas.
“Kelewatan kamu, Mas. Aku bertanya baik-baik, tetapi sebaliknya kamu menjawabku seperti ini,” ucap Stevi terdengar kesal.
Wira menghela napas kasar. “Kalau memang menghubungiku untuk hal yang tidak penting, sebaiknya matikan saja,” tegas Wira.
Lelaki itu baru akan memutuskan sambungan, tetapi terdengar teriakan Stevi nyaring keluar dari gawai mahalnya.
“Mas!!”
“Jam berapa Mas akan menemui Nola. ANAK KITA itu sejak kemarin mencarimu, Mas,” tanya Stevi, sengaja mempertegas kata anak kita guna mengingatkan Wira.
“Aku tidak bisa menemui Nola hari ini Stev. Mungkin setelah kondisi Nai membaik, aku baru bisa menemuinya,” jelas Wira.
“Mas!!” Kembali terdengar pekik suara Stevi begitu keras memekikan telinga.
Emosi Stevi kembali membuncah saat Wira lagi-lagi tidak bisa datang menemui putrinya.
“Mas, kalau denganku Mas bersikap tidak adil, aku masih bisa terima, tetapi tolong jangan bersikap tidak adil juga pada Nola. Walau bagaimana pun, Nola darah dagingmu, Mas.” Stevi berkata, nada bicaranya melunak dan sedikit mengiba.
“Iya, aku tahu Stev. Memang aku pernah mengabaikan Nola? Tidak, kan? Hanya saja saat ini Naina membutuhkanku. Aku tidak bisa meninggalkan Naina sendirian. Dia tidak punya siapa-siapa,” jelas Wira.
“Kamu benar-benar tidak adil, Mas. Kami disini juga tidak punya siapa-siapa. Aku dan Nola itu hanya memilikimu, Mas. Kondisi kita disini juga sama seperti dengan Naina.” Stevi mulai terisak. Seperti biasa, lagi-lagi dia harus menelan kecewa.
“Mas tahu, kami tidak hanya butuh tercukupi semuanya. Kami tidak hanya butuh materi darimu, Mas. Nola itu butuh sosok papinya. Dia butuh keluarga yang utuh,” cerocos Stevi.
“Ya sudah. Kalau begitu serahkan Nola padaku. Aku dan Naina akan merawatnya disini, akan memberinya keluarga yang utuh,” tegas Wira.
“Kelewatan kamu, Mas.” Stevi menangis saat ini. Kalimat Wira sudah benar-benar menyakitinya. Sedikitpun lelaki itu tidak pernah menganggap keberadaannya.
“Jadi kapan Mas akan datang mengunjungi Nola?” tanya Stevi, menahan isak tangisnya. Berusaja mengalah dan mengalihkan pertanyaannya.
“Nanti aku kabari lagi. Sudah dulu Stev, Naina mencariku sekarang,” putus Wira, bergegas masuk kembali ke kamar perawatan.
***
TBC
Bahkan seakan ikut merasakan sakit yang sesakit itu bagi Dennis
full bintang ,subricrible, vote d tutup kopi
sebelum2 ni terlalu baik sampai tak peka langsung.