Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Sumbing, Temanggung, hidup seorang pemuda bernama Arjuna Wicaksono. Sejak kecil, ia hanya tinggal bersama neneknya yang renta. Kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat ia masih balita, sementara kakeknya telah lama pergi tanpa kabar. Hidup Arjuna berada di titik terendah ketika ia baru saja lulus SMA. Satu per satu surat penolakan beasiswa datang, menutup harapannya untuk kuliah. Di saat yang sama, penyakit neneknya semakin parah, sementara hutang untuk biaya pengobatan terus menumpuk. Dihimpit keputusasaan, Arjuna memutuskan untuk merantau ke Jakarta, mencari pekerjaan demi mengobati sang nenek. Namun takdir berkata lain. Malam sebelum keberangkatannya, Arjuna menemukan sebuah kotak kayu berukir di balik papan lantai kamarnya yang longgar. Di dalamnya tersimpan cincin perak kuno dengan batu safir biru yang misterius - warisan dari kakeknya yang telah lama menghilang. Sejak menggunakan cincin itu, kehidupanNya berubah drastis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RivaniRian21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 Inikah Takdir Ku?
Suara gemetar pemuda itu menarik Arjuna kembali dari keterkejutannya pada kemampuannya sendiri. Ia berbalik, dan tatapan dingin yang tadi membekukan para pengeroyoknya kini melunak, kembali menjadi sorot mata seorang Arjuna yang polos dan sedikit canggung. Ia melihat pemuda itu, yang masih berdiri mematung dengan wajah pucat pasi dan mata yang memancarkan campuran antara rasa takut dan kekaguman yang luar biasa.
"Tidak apa-apa," ujar Arjuna dengan suara lembut, mencoba menenangkan. Kata-kata itu keluar begitu saja, kontras dengan adegan brutal yang baru saja terjadi. "Semua sudah baik-baik saja sekarang. Mereka tidak akan mengganggumu lagi."
Ia melangkah mendekat, dengan hati-hati melewati salah satu preman yang masih mengerang di tanah. Ia mengulurkan tangannya, bukan untuk menyerang, melainkan untuk menepuk pelan bahu pemuda itu, sebuah gestur menenangkan yang sering dilakukan Mbah Darmi padanya dulu.
"Kamu... kamu tidak terluka, kan?" tanya Arjuna, matanya dengan tulus memeriksa kondisi pemuda di hadapannya. "Mereka tidak sempat menyentuhmu?"
Pemuda itu tersentak pelan oleh sentuhan di bahunya. Ia menggeleng kaku, lidahnya masih terasa kelu. Matanya bergerak liar dari wajah tenang Arjuna ke para preman yang terkapar, lalu kembali lagi ke Arjuna. Logikanya masih sulit memproses kejadian itu.
"Sa-saya... saya tidak apa-apa," jawabnya terbata-bata. "Tapi... kamu... bagaimana kamu..."
Arjuna tersenyum tipis, sebuah senyum yang terasa sedikit lelah. "Jangan dipikirkan. Yang penting sekarang kamu aman."
Ia kemudian berjongkok sejenak untuk memungut pisau lipat yang tadi terjatuh, membungkusnya dengan sobekan kertas dari sakunya dengan hati-hati sebelum memasukkannya ke dalam tas. Ia tidak ingin senjata itu disalahgunakan lagi atau menjadi bukti yang menyusahkan.
"Sebaiknya kita segera pergi dari sini," kata Arjuna sambil kembali berdiri. "Sebelum ada orang lain yang datang atau mereka sadar dan mencari masalah lagi."
Saran itu seolah menyadarkan pemuda itu sepenuhnya dari keterkejutannya. "I-iya, benar! Kita harus pergi!"
Arjuna mengangguk. Saat ia hendak melangkah, pemuda itu tiba-tiba membungkuk dalam-dalam di hadapannya.
"Terima kasih... terima kasih banyak, Mas! Saya... saya tidak tahu bagaimana harus membalasnya. Kalau Mas tidak ada, saya tidak tahu akan jadi apa malam ini," ujarnya dengan suara tulus yang bergetar karena emosi.
"Sama-sama. Sudah kewajiban kita untuk saling menolong," jawab Arjuna, merasa sedikit tidak nyaman dengan ucapan terima kasih yang begitu formal. Ia membantu pemuda itu untuk berdiri tegak.
"Nama saya David," kata pemuda itu sambil mengulurkan tangannya yang masih sedikit gemetar. Kali ini, tangannya tidak lagi memeluk tasnya dengan ketakutan, melainkan terulur dalam rasa terima kasih.
Arjuna menyambut uluran tangan itu. "Arjuna."
Genggaman tangan mereka terasa hangat di tengah dinginnya malam dan suasana gang yang mencekam. Itu adalah genggaman tangan antara dua anak rantau yang sama-sama berjuang, yang nasibnya baru saja bersinggungan dengan cara yang paling tidak terduga.
"Ayo, David. Kita pergi dari sini," ajak Arjuna sekali lagi.
David mengangguk cepat. Keduanya pun bergegas meninggalkan gang sempit itu, meninggalkan bayang-bayang para preman yang terkapar dan sebuah pertarungan singkat yang akan selamanya terpatri dalam ingatan David. Di jari Arjuna, cincin wasiat itu kembali terasa tenang, seolah tidurnya belum terganggu sama sekali.
Arjuna dan David berjalan cepat tanpa menoleh ke belakang, menyusuri trotoar yang remang hingga tiba di sebuah perempatan jalan yang ramai dan terang benderang. Suara klakson dan hiruk pikuk kendaraan seolah menjadi perisai yang memisahkan mereka dari bahaya yang baru saja mereka tinggalkan di gang sempit tadi.
Di bawah cahaya lampu jalan, David berhenti dan kembali menatap Arjuna. Wajahnya masih pucat, namun rasa syukurnya terlihat jelas.
"Jun, sekali lagi, terima kasih banyak," katanya dengan sungguh-sungguh. "Aku... aku tidak tahu harus bilang apa lagi. Kalau kamu tidak ada di sana..."
"Sudahlah, lupakan saja. Yang penting kamu tidak apa-apa," potong Arjuna lembut.
"Tapi ini bukan hal kecil," desak David. "Aku berhutang nyawa padamu. Setidaknya, izinkan aku mentraktirmu kopi atau apa pun besok. Boleh aku minta nomormu?"
Arjuna sedikit ragu. Ia tidak terbiasa dengan semua ini. Namun, melihat ketulusan di mata David, ia akhirnya mengangguk dan menyebutkan nomor ponselnya yang ia hafal di luar kepala.
"Pasti akan aku hubungi besok!" janji David sambil menyimpan nomor itu di ponselnya yang layarnya sudah sedikit retak. "Kosku tidak jauh dari sini. Kamu ke arah mana?"
"Aku harus naik angkot lagi ke arah Tambun," jawab Arjuna.
"Baiklah. Hati-hati di jalan ya, Jun. Semoga kita bisa segera bertemu lagi dalam situasi yang lebih baik."
"Iya, kamu juga hati-hati," balas Arjuna.
Setelah berjabat tangan sekali lagi, mereka pun berpisah. David berjalan ke satu arah, sementara Arjuna menunggu angkot di sisi jalan yang lain.
Sepanjang perjalanan pulang di dalam angkot yang tidak terlalu ramai, pikiran Arjuna mulai berkecamuk. Adrenalin dari pertarungan telah sepenuhnya surut, meninggalkan ruang hampa yang kini diisi oleh rentetan kejadian hari ini.
Pagi tadi, ia merasa begitu kecil dan hina di hadapan kemegahan UNG dan para mahasiswanya. Ia merasa tak berdaya, direndahkan hanya karena penampilannya. Namun, beberapa jam kemudian, di sebuah gang gelap, ia menghadapi enam preman dan merasa begitu... kuat. Begitu tenang. Begitu mampu.
Kontras itu terlalu tajam untuk diabaikan.
Ia mengangkat tangan kanannya, menatap cincin perak dengan batu safir biru yang melingkar di jari manisnya. Di bawah cahaya lampu angkot yang kekuningan, cincin itu tampak biasa saja, sebuah perhiasan tua yang kusam. Tapi Arjuna tahu, benda ini jauh dari kata biasa.
Ia memutar ulang kejadian-kejadian sejak ia memakai cincin ini. Aksi nekatnya mengejar copet dan melompati mobil saat menyelamatkan Amira. Kemampuannya menyerap informasi dengan cepat saat mencari info beasiswa di warnet. Ketenangannya saat menghadapi kamar kos yang angker. Dan yang paling luar biasa, pertarungan tadi.
Gerakan-gerakan itu... refleks itu... kekuatan itu... semua terasa asing sekaligus familiar. Tubuhnya bergerak seolah memiliki kemauannya sendiri, dibimbing oleh pengetahuan bertarung yang tak pernah ia pelajari seumur hidupnya.
"Nasihat Eyang Prabu..." gumamnya sangat pelan, nyaris tak terdengar. "Kekuatan sejati bukan pada benda, tapi pada hati yang tulus... Gunakan untuk kebaikan..."
Kini ia mengerti. Nasihat itu bukan sekadar kiasan moral. Itu adalah sebuah instruksi. Sebuah peringatan.
Cincin ini bukan hanya sebuah warisan. Ini adalah sumber kekuatan. Sebuah keajaiban yang nyata.
Kesadaran itu menghantamnya dengan telak. Selama ini ia hanya menganggapnya sebagai benda keberuntungan, tapi kini ia sadar bahwa ia telah diberi sesuatu yang jauh lebih besar. Sesuatu yang bisa mengubah nasibnya, tetapi juga bisa membawanya ke dalam bahaya yang lebih besar. Sesuatu yang mungkin menjadi alasan mengapa kakeknya menghilang dan mengapa neneknya sempat ragu untuk memberikannya.
Angkot berhenti tepat di dekat gang kosnya. Arjuna turun dan berjalan dalam diam, pikirannya masih berkelana. Ia tiba di depan kamar nomor 13, membuka pintu, dan masuk ke dalam ruangan kecil yang kini menjadi dunianya.
Ia duduk di tepi kasur, menatap lurus ke dinding yang kosong. Keheningan malam seolah memperkuat suara di dalam kepalanya. Ia ditakdirkan untuk miskin dan berjuang, atau... inikah jalan yang sebenarnya telah disiapkan untuknya? Sebuah jalan yang dipenuhi keajaiban, misteri, dan tanggung jawab yang berat.
Ia mengangkat tangannya lagi, membiarkan cahaya lampu kamar yang redup menyinari batu biru di cincinnya.
"Apa ini..." bisiknya pada keheningan kamarnya yang sunyi. "...sudah takdirku?"
Pertanyaan itu menggantung di udara, tanpa jawaban. Namun Arjuna tahu, mulai malam ini, hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Ia bukan lagi sekadar Arjuna Wicaksono, anak desa yang mencari peruntungan. Ia adalah penjaga sebuah wasiat kuno, pemegang sebuah kekuatan misterius. Dan ia harus belajar untuk hidup dengan takdir itu.
biar nulisny makin lancar...💪