Melina Lamthana tak pernah merencanakan untuk jatuh cinta ditahun pertamanya kuliah. Ia hanya seorang mahasiswi biasa yang mencoba banyak hal baru dikampus. Mulai mengenali lingkungan kampus yang baru, beradaptasi kepada teman baru dan dosen. Gadis ini berasal dari SMA Chaya jurusan IPA dan Ia memilih jurusan biologi murnni sebagai program studi perkuliahannya dikarenakan juga dirinya menyatu dengan alam.
Sosok Melina selalu diperhatikan oleh Erick seorang dosen biologi muda yang dikenal dingin, cerdas, dan nyaris tak tersentuh gosip. Mahasiswi berbondong-bondong ingin mendapatkan hati sang dosen termasuk dosen perempuan muda. Namun, dihati Erick hanya terpikat oleh mahasiswa baru itu. Apakah mereka akan bersama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Greta Ela, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Seminggu sisa liburan sudah habis. Kota kampus kembali ramai. Satu per satu mahasiswa kembali ke kos dan apartemen mereka, membawa cerita liburan, koper berisi pakaian dan makanan, dan rasa ingin kuliah yang belum sepenuhnya pulih.
Melina berdiri di depan lemari pakaiannya, memandangi sebuah koper kecil berwarna abu-abu. Ia menarik napas, lalu membukanya. Di dalamnya, terlipat rapi sebuah dress hitam sederhana, elegan, mahal, dan terlalu dewasa untuk dirinya.
Tangannya sempat ragu sebelum akhirnya melipat dress itu kembali, menyelipkannya ke bagian paling bawah koper, lalu menutupnya rapat.
Ia tidak ingin Bunga tahu.
Dress itu bukan sekadar pakaian. Ia adalah simbol dari sesuatu yang belum berani Melina ceritakan pada siapa pun bahkan pada dirinya sendiri.
Sore itu, pintu apartemen terbuka disertai suara koper diseret.
'Mel!" panggil Bunga ceria.
Melina menoleh dan tersenyum lebar tanpa sadar. Ada rasa lega yang tulus melihat sahabatnya kembali.
"Kamu pulang juga akhirnya," kata Melina sambil memeluk Bunga.
"Capek banget, Mel” jawab Bunga sambil tertawa.
"Eh, aku bawain ini."
Bunga mengeluarkan sekotak cokelat kecil dari tasnya. Cokelat mint.
Mata Melina berbinar. "Kamu masih inget aja."
"Ya iyalah. Kamu tuh aneh, cuma kamu yang suka cokelat rasa mint” canda Bunga.
Mereka tertawa, lalu duduk di tepi ranjang masing-masing, seperti dulu, seperti sebelum semuanya terasa rumit.
Bunga bercerita panjang lebar tentang rumah, tentang sepupu-sepupunya, tentang betapa bosannya liburan terlalu lama. Melina mendengarkan sambil sesekali menyelipkan cerita ringan tentang apartemen yang sepi, tentang kebiasaannya memasak sendiri, tentang serial yang ia tonton.
Ia menghindari topik tertentu dengan sangat hati-hati.
"Kuliah mulai dua hari lagi, ya?" tanya Bunga.
"Iya," jawab Melina. "Semester dua."
"Katanya dosen-dosennya beda, ya?"
Melina mengangguk.
"Bu Luna sudah tetap pindah. Sekarang ada dosen tetap baru."
"Pak Erick masih ngajar?"
Pertanyaan itu datang begitu saja, ringan, tapi membuat Melina refleks menegang.
"Iya," jawabnya cepat, lalu menunduk membuka bungkus cokelat.
"Tapi cuma satu kali seminggu. Mata kuliahnya beda."
"Oh," ujar Bunga.
"Syukurlah. Jujur aja, aku masih agak trauma sama cara ngajarnya."
Melina tersenyum tipis. Dalam hati, ia justru merasa sebaliknya bukan lega, tapi cemas.
"Mel, makanlah coklatnya. Aku udah effort loh belinya." ujarnya
"Iya Bunga." Melina menggigit coklat itu
"Enak." ujarnya
Sembari Melina memakan coklat, Bunga membereskan kopernya. Menyusun pakaiannya dengan rapi.
Dua hari berlalu lebih cepat dari yang ia duga.
Hari pertama semester dua dimulai dengan mata kuliah baru. Ruang kelas berbeda. Susunan bangku berbeda. Dan yang paling terasa perasaan yang berbeda.
Melina duduk di barisan tengah hari itu. Bunga di sampingnya. Mereka membuka buku, membicarakan jadwal, tertawa kecil seperti mahasiswa pada umumnya.
Ketika dosen masuk, bukan Erick Melina merasa napasnya sedikit lebih ringan.
Dosen muda perempuan masuk ke kelas
"Pagi semua. Hari ini kita langsung mulai kuliah saja ya." ujar sang dosen.
Seperti biasa, Melina langsung mencatat point penting begitu juga dengan Bunga.
Ia sadar, perubahan ini seharusnya membuat segalanya lebih mudah.
Namun kenyataannya, justru sebaliknya.
Hari Kamis, jadwal Pak Erick.
Melina datang lebih awal dari biasanya. Ia memilih duduk di tengah, bukan di sisi kiri seperti kebiasaannya dulu. Ia ingin menghindari perhatian sekecil apa pun.
Pintu kelas terbuka. Erick masuk.
Penampilannya sama. Rapi. Tegas. Profesional.
Matanya memperhatikan ruangan, berhenti sesaat di arah Melina, cukup singkat untuk tidak disadari siapa pun selain mereka berdua.
Tidak ada senyum. Tidak ada pengakuan. Hanya kesepakatan tak terucap di sini, mereka hanyalah dosen dan mahasiswa.
"Kita mulai," ujar Erick datar.
"Saya masih menerapkan sistem ngajar saya. Siapa yang tertawa akan saya keluarkan dari kelas." ujar Erick
Seketika semua mahasiswa tegang.
Materi hari itu berat. Banyak konsep baru. Erick menjelaskan dengan sistematis, sesekali menulis di papan tulis. Melina berusaha fokus, tapi setiap kata terasa memiliki lapisan makna yang lebih dalam.
"Duh, apaan sih. Aku masih trauma lho sama Pak Erick, ditambah lagi materi ini berat banget" bisik mahasiswi dibelakang
Bahkan berbisik pun Erick mendengarnya
"Dua perempuan yang dibelakang." tunjuknya
"Ada saya suruh membuka mulut?"
Kedua mahasiswi itu gemetar
"Tidak pak. Maaf" ujar mereka gugup
"Peringatan sekali lagi, kalian keluar." ujar Erick
Mungkin para mahasiswa berpikir bahwa Erick itu dosen tampan yang friendly ternyata kejam, galak, sensitif, buat orang trauma (bagi kebanyakan mahasiswa). Tapi bagi Melina, Erick tak seburuk yang orang bayangkan. Ia hanya tegas di kelas saja supaya orang tak menganggapnya sepele karena Ia sering dianggap tampan.
Saat Erick mengajukan pertanyaan ke kelas, Melina tahu jawabannya. Ia ragu untuk mengangkat tangan. Namun dorongan akademiknya menang.
Ia mengangkat tangan.
"Silakan," kata Erick.
Melina menjawab dengan jelas, tenang, profesional.
"Benar," ujar Erick singkat. "Terima kasih."
Hanya itu.
Namun jantung Melina berdegup lebih cepat dari seharusnya.
"Baik, ada yang ingin bertanya?" ujar Pak Erick
Tidak ada satu pun mahasiswa yang berani bertanya. Siapa juga yang berani dengan dosen sekejam ini.
"Tidak ada? Kalau begitu saya akhiri perkuliahan hari ini. Selamat pagi..."
"Pagi pak." ucap mahasiswa serempak.
Setelah kelas usai, Melina berkemas cepat. Ia ingin langsung keluar. Namun ponselnya bergetar saat ia berdiri.
Pesan masuk.
Erick:
"Kamu baik hari ini. Terima kasih sudah tetap fokus."
Melina menatap layar. Ia tidak langsung membalas.
Beberapa menit kemudian:
"Terima kasih, Pak."
Jawaban singkat. Aman. Berjarak.
Malam itu, Erick tidak menjemputnya. Tidak mengajak makan. Tidak menelepon.
Dan justru keheningan itu terasa lebih aneh.
Di ruang kerjanya, Erick duduk diam menatap layar laptop yang belum menyala. Jadwalnya lebih longgar semester ini. Hanya satu kelas Melina. Seharusnya lebih mudah menjaga jarak.
"Agh Melina, kau membuatku gila." ujar Erick
Namun rasa kehilangan kontrol itu mengganggunya.
Ia sadar, struktur kampus kini berbeda. Ada dosen tetap. Ada pengawasan lebih ketat. Ada risiko yang nyata.
Dan Melina perlahan tidak lagi sepenuhnya berada dalam jangkauannya.
Di apartemen, Melina duduk di tepi ranjang, menatap koper di sudut ruangan. Dress hitam itu tetap tersembunyi. Ia bertanya pada dirinya sendiri, apakah menyembunyikan benda itu cukup untuk menyembunyikan perasaan dan keputusan yang menyertainya.
Bunga masuk ke kamar.
"Mel, kamu gak lapar?"
Melina tersenyum kecil. "Lapar. Ayo."
Saat mereka makan bersama, tertawa, dan membicarakan tugas-tugas baru, Melina merasakan sesuatu yang hampir terlupakan rasa normal.
Namun jauh di dalam hatinya, ia tahu semester dua bukan tentang awal yang baru.
Ia adalah kelanjutan dari sesuatu yang belum selesai.
Dan profesionalisme, sekuat apa pun dijaga, tidak pernah benar-benar bisa menghapus perasaan yang sudah terlanjur tumbuh.