Rania Kirana seorang penjual cilok berprinsip dari kontrakan sederhana, terpaksa menerima tawaran pernikahan kontrak dari Abimana Sanjaya seorang CEO S.T.G. Group yang dingin dan sangat logis.
Syarat Rania hanya satu jaminan perawatan ibunya yang sakit.
Abimana, yang ingin menghindari pernikahan yang diatur keluarganya dan ancaman bisnis, menjadikan Rania 'istri kontrak' dengan batasan ketat, terutama Pasal 7 yaitu tidak ada hubungan fisik atau emosional.
Bagaimana kelanjutannya yukkk Kepoin!!!!
FOLLOW ME :
IG : Lala_Syalala13
FB : Lala Syalala13
FN : Lala_Syalala
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lala_syalala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PKCD BAB 11_Pamit di Gerbang Lama
Sore itu, Rendra membawa Rania ke sebuah butik mahal di pusat perbelanjaan elit.
"Tuan Abimana meminta Anda menjalani makeover total, Nyonya. Ini penting untuk pertemuan Anda dengan Nyonya Widiastuti besok pagi," jelas Rendra.
Rania menelan ludah. Ia yang biasa mengenakan kaus pudar dan celana training kini harus mencoba gaun-gaun sutra yang harganya setara dengan laba ciloknya selama setahun, sungguh berat rasnya bagi Rania melakukan hal tersebut.
Di butik itu, Rania menanggalkan identitas lamanya. Ia memotong sedikit rambut panjangnya yang lusuh, menatanya menjadi gaya yang lebih elegan namun tetap sederhana.
Ia dipakaikan gaun cocktail berwarna dusty pink, kulitnya yang kecokelatan kini tampak lebih bersinar dengan polesan make-up tipis yang halus.
Saat ia berdiri di depan cermin, Rania Kirana yang ia kenal menghilang. Yang ada di sana adalah seorang wanita muda yang cantik, elegan, dan terlihat sangat pantas mendampingi Abimana Sanjaya.
"Sempurna, Nyonya. Anda adalah wanita yang luar biasa cantik," puji Rendra tulus.
Rania hanya bisa tersenyum masam. Ia tahu, kecantikan ini adalah topeng, dan gaun ini adalah seragam untuk peran barunya.
"Semua pakaian lama Anda, akan kami simpan dengan baik, Nyonya. Termasuk keranjang dan peralatan cilok Anda," kata Rendra.
"Tidak, Rendra," potong Rania, suaranya tegas.
"Tolong berikan peralatan cilok dan keranjang saya kepada Bang Jaelani. Katakan padanya, saya minta maaf karena tiba-tiba berhenti, dan itu adalah hadiah darinya. Itu adalah kenangan terakhir saya sebagai Rania Kirana yang lama."
Rania menatap dirinya di cermin sekali lagi. Penampilan luar telah berubah. Tetapi di dalam hatinya, ia tetap Rania Kirana, si Bunga Padi yang teguh.
Ia hanya harus memastikan, bunga itu tidak layu di bawah tekanan kekayaan dan kepalsuan Abimana Sanjaya. Sandiwara ini baru saja dimulai.
Pagi itu, udara di kontrakan petak nomor 12 terasa berbeda. Bu Rahmi sudah dipindahkan ke rumah sakit yang dikelola S.T.G. Group, dan kini sedang dalam penanganan intensif yang biayanya ditanggung penuh oleh Abimana.
Kontrakan yang biasanya riuh dengan suara Rania mengaduk adonan, kini terasa hening dan kosong.
Rania, yang sudah mengenakan pakaian yang dibawa Rendra sebuah blus katun sederhana namun rapi dan celana panjang khaki berdiri di tengah ruang tamu kecil itu.
Ia tidak lagi membawa ransel lusuh, ia hanya membawa sebuah tas tangan kecil berisi beberapa barang paling berharga buku catatan keuangannya, foto mendiang ayahnya, dan kartu nama hitam Abimana yang kini terasa seperti rantai yang melilitnya.
Tim dari S.T.G. Estate sudah datang untuk mengemasi barang-barang. Mereka bekerja dengan sangat efisien dan hati-hati, sebuah kontras yang menusuk hati Rania.
Saat Rania menyapu lantai untuk terakhir kalinya, matanya tertuju pada sudut dapur, tempat ia biasa meletakkan keranjang bambu dan wajan besar untuk cilok.
Tempat itu kini kosong sesuai permintaannya, peralatan itu sudah diantar ke Warung Kopi Bang Jaelani subuh tadi.
Ia berjalan ke pintu, ia ingin pergi tanpa menarik perhatian siapa pun, terutama Bu Wati, yang ia tahu pasti akan menatapnya dengan tatapan sinis yang baru, atau mungkin tatapan iri hati.
Ia ingin perpisahan ini sunyi, hanya antara dirinya dan kontrakan yang telah menjadi saksi bisunya.
Namun, saat ia membuka pintu, Bu Wati sudah berdiri di depan kontrakannya, menatapnya dengan tatapan menyelidik.
Di samping Bu Wati, ada beberapa tetangga lain yang juga ikut mengamati, seolah sedang menonton pertunjukan drama.
"Wah, Neng Rania! Mau ke mana pagi-pagi? Kok bajunya bagus? Sudah tidak jualan lagi?" tanya Bu Wati, kali ini nadanya lebih mengandung penasaran daripada sindiran murni. Matanya melirik ke arah mobil hitam yang sudah menunggu di ujung gang.
Rania menarik napas panjang. Ia memutuskan untuk tidak berbohong, tetapi juga tidak memberikan detail yang tidak perlu.
"Saya pindah, Bu Wati. Saya mendapat pekerjaan baru yang mengharuskan saya pindah. Ibu saya juga sudah dipindahkan ke rumah sakit yang lebih baik untuk perawatan intensif," jawab Rania, suaranya tenang.
"Pindah? Ke mana? Rumah susun? Atau jadi asisten rumah tangga di Pondok Indah?" desak Bu Wati, suaranya mulai meremehkan lagi.
"Saya akan tinggal di tempat yang layak, Bu. Dan saya akan bekerja, meski bukan lagi berjualan cilok. Terima kasih atas semua interaksi kita selama ini, saya mohon maaf jika ada salah," ucap Rania tulus, lalu ia membungkuk sedikit, sebuah tanda hormat terakhir kepada lingkungan lamanya.
Melihat Rania yang kini tampil rapi dan elegan jauh dari kesan lusuh tetangga lain mulai berbisik.
Bu Wati hanya bisa terdiam. Ia tidak menemukan celah untuk menyerang Rania. Kecemburuannya bercampur dengan rasa penasaran.
Rania segera melangkah melewati kerumunan kecil itu. Ia tidak menoleh ke belakang. Ia tahu, jika ia menoleh, kenangan akan menariknya kembali.
Tujuan Rania selanjutnya adalah Warung Kopi Bang Jaelani. Mobil yang mengantarnya berhenti agak jauh dari warung agar tidak menarik perhatian berlebihan.
Rania meminta izin kepada Rendra untuk berjalan kaki sebentar.
Pukul 09.30, Warung Kopi Bang Jaelani sedang ramai-ramainya. Aroma kopi dan rokok kretek bercampur.
Rania masuk, dan Bang Jaelani langsung menoleh. Ekspresinya yang biasanya ceria langsung berubah menjadi terkejut dan sedikit sedih.
"Rania? Ya Allah, Nak. Apa yang terjadi? Kamu... kamu terlihat seperti bukan Rania yang biasa," sapa Bang Jaelani, matanya menatap Rania dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Rania tersenyum tulus, senyum yang pertama kali muncul sejak ia menandatangani kontrak itu.
"Pagi, Bang Jaelani. Iya, Rania datang untuk berpamitan." ucap Rania.
"Berpamitan? Maksudmu, kamu tidak akan jualan di sini lagi?" tanya Bang Jaelani, suaranya dipenuhi kekecewaan.
"Iya, Bang. Saya mendapat tawaran pekerjaan baru, yang sangat baik untuk masa depan saya dan kesehatan Ibu," jelas Rania. Ia menunjuk ke sudut warung, tempat peralatan ciloknya diletakkan.
"Itu peralatan cilok Rania, saya titipkan ke Abang. Semua saya berikan. Semoga bisa Abang pakai, atau berikan ke orang lain yang membutuhkan. Itu adalah ucapan terima kasih Rania karena Abang sudah sangat baik mengizinkan saya menumpang di sini."
Bang Jaelani tidak segera menyentuh peralatan itu. Ia menatap Rania dengan tatapan kebapakan yang penuh kasih.
"Kamu berhasil, Nak. Kamu berhasil. Saya tahu kamu anak baik, kamu pantas mendapatkan yang lebih baik dari jualan di pinggir jalan." sahut bang Jaelani.
"Terima kasih atas doa dan kebaikannya, Bang," Rania hampir menangis. Warung kopi ini adalah tempat ia berjuang, tempat ia mendapat rezeki halal, tempat ia merasa diterima.
"Tapi... siapa yang memberimu pekerjaan ini, Rania? Apakah ini ada hubungannya dengan Tuan Abimana yang menjatuhkan flash drive itu?" tanya Bang Jaelani, mencoba menebak.
Rania tahu, ia tidak boleh berbohong, tetapi ia juga tidak bisa mengatakan kebenaran. Ia memilih jawaban yang ambigu.
"Tuan Abimana adalah orang yang sangat menghargai kejujuran, Bang Jaelani. Ia memberikan saya kesempatan yang tidak akan pernah saya dapatkan jika saya tetap di sini," ujar Rania.
"Tolong doakan Rania, Bang. Semoga jalan yang Rania pilih ini adalah jalan yang benar dan berkah."
.
.
Cerita Belum Selesai.....
ayak ayak wae...
di tunggu updatenya