Arash Maulidia, mahasiswi magang semester enam yang ceroboh namun gigih, tidak pernah menyangka hidupnya berubah hanya karena satu tabrakan kecil di area parkir.
Mobil yang ia senggol ternyata milik Devan Adhitama — CEO muda, perfeksionis, dan terkenal dingin hingga ke nadinya.
Alih-alih memecat atau menuntut ganti rugi, Devan menjatuhkan hukuman yang jauh lebih berat:
Arash harus menjadi asisten pribadinya.
Tanpa gaji tambahan. Tanpa pilihan. Tanpa ruang untuk salah.
Hari-hari Arash berubah menjadi ujian mental tanpa henti.
Setiap kesalahan berarti denda waktu, setiap keberhasilan hanya membuka tugas yang lebih mustahil dari sebelumnya.
Devan memperlakukan Arash bukan sebagai manusia, tapi sebagai mesin yang harus bekerja sempurna — bahkan detik napasnya pun harus efisien.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keipouloe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Logistik Darurat dan Introspeksi Singkat
Setelah Devan meninggalkannya, Arash tidak membuang satu detik pun untuk mengasihani diri sendiri. Ia tahu betul—Devan sengaja menciptakan hambatan untuk melihatnya gagal. Dan kegagalan berarti memperpanjang utang yang sudah terlalu berat untuk ditanggung.
Ia segera menghentikan taksi di depan gedung restoran, masuk tergesa sambil menahan napas. Dari kaca spion, wajahnya terlihat pucat dan keringat dingin menetes di pelipis. Ia berulang kali menatap jam tangannya—waktu terus berdetak, setiap detik seolah mengejeknya.
Begitu sampai di kantor, Arash berlari menuju lift khusus lantai dua puluh. Nafasnya tersengal, tapi ia tidak peduli. Pintu lift terbuka, dan tanpa ragu ia langsung menuju ruangan Devan. Di sana, ia menggesek kartu akses hitam ke rak buku besar di sisi kanan. Suara klik halus terdengar, lalu pintu logam ruang arsip rahasia terbuka.
Ruangan itu gelap, dingin, dan sunyi—persis seperti saat pagi tadi. Lampu otomatis menyala saat Arash melangkah masuk. Ia menelusuri deretan laci dengan pandangan fokus, mencari kode ‘Delta-10-01’. Dan di sana—amplop cokelat tebal, disegel rapi dengan stiker bertanda tangan digital.
Di dalamnya, tumpukan uang tunai dalam pecahan besar. Arash menelan ludah. Jumlahnya pasti sekitar Rp1,5 miliar—sesuai instruksi Devan—disertai beberapa lembar dokumen cash flow bertanda kode rahasia.
Tanpa berpikir panjang, ia mengambil sebagian uang untuk biaya logistik: sewa mobil, perlengkapan proyek, dan operasional. Uang sisanya ia simpan kembali ke dalam amplop, menguncinya di brankas kecil yang baru ia temukan di balik rak besi, lalu menutup ruang arsip itu dengan hati-hati.
Ketika melihat jam, waktu menunjukkan pukul 13.55. Masih ada sekitar tiga puluh menit sebelum keberangkatan pukul 14.30. Ia segera menelpon layanan rental mobil premium langganan perusahaan.
“Mobil jenis SUV, unit lapangan. Lengkap dengan helm dan rompi proyek dua set. Antar ke basement Adhitama Group secepatnya,” ujarnya cepat, suaranya datar tapi tegas.
Setelah semua beres, Arash menuju mushola kantor. Ia menunaikan salat Zuhur dengan tenang, seolah mencoba menenangkan badai dalam pikirannya. Selesai, ia duduk di ruang santai, membuka bekalnya: sandwich sederhana dari roti gandum dan telur.
Setiap gigitan terasa hambar. Tanpa sadar, pikirannya kembali pada makan siang tadi—satu suap daging Wagyu dingin yang ia makan di bawah tatapan dingin Devan Adhitama. Rasa malu itu masih tertinggal, menyesakkan dada. Tapi bagi Arash, rasa malu adalah bahan bakar.
Aku akan bekerja lebih keras lagi. Sampai pria itu tak punya alasan sedikit pun untuk merendahkan ku.
Pukul 14.20. Ia membereskan kotak bekalnya, turun ke lobi, lalu duduk di area tunggu sambil mengecek catatan kecil di ponselnya: daftar poin evaluasi yang mungkin akan Devan tanyakan di lokasi proyek nanti. Ia harus siap—karena Devan tidak pernah mengulang pertanyaan dua kali.
Tepat pukul 14.30, SUV hitam mengilap berhenti di depan pintu kaca. Sopir keluar dan membukakan pintu belakang. Arash langsung berdiri, tapi bukannya duduk di belakang, ia justru membuka pintu depan dan duduk di samping sopir.
Ia tidak ingin memberi celah sekecil apa pun untuk penghinaan berikutnya—terutama yang berkaitan dengan “aroma parfum murah”.
Beberapa detik kemudian, Devan muncul. Langkahnya mantap, wajahnya tanpa ekspresi. Ia masuk ke kursi belakang tanpa sepatah kata pun. Begitu mobil bergerak, suara baritonnya terdengar dari belakang.
“Perlengkapan sudah siap?”
“Sudah, Pak,” jawab Arash cepat tanpa menoleh. “Mobil sewaan, helm, dan rompi sudah di bagasi. Saya memilih SUV ini karena lebih cocok untuk akses menuju lokasi proyek.”
“Bagus.” Hanya satu kata, dingin dan padat.
Namun di balik kaca spion tengah, Devan sempat menatap pantulan wajah Arash. Bahunya tegang, tapi posturnya tegak—tidak ada tanda-tanda kelelahan.
Devan tahu ia sudah melampaui batas. Menyita motornya, mempermalukannya di depan orang lain, memaksanya berjalan di bawah terik matahari, bahkan menghina barang pribadi wanita itu. Semua itu bagian dari uji mental yang ia rancang.
Biasanya, orang-orang menyerah setelah dua hari. Ada yang menangis, ada yang minta dipindahkan divisi, ada juga yang berhenti. Tapi Arash Maulidia? Ia hanya menjawab dengan hasil kerja yang lebih cepat, lebih rapi, dan lebih tepat dari ekspektasi.
Setiap penghinaan, ia balas dengan kemampuan. Setiap ujian, ia hadapi dengan kepala tegak.
Dan untuk alasan yang tidak bisa ia jelaskan, hal itu mengusik Devan.
Ia mendengus pelan, lalu menatap kembali jalan di luar jendela. Kenapa perempuan ini tidak menyerah?
“Supir,” katanya tiba-tiba. “Turunkan suhu AC. Saya tidak mau asist—”
Ia berhenti sejenak. “Saya tidak mau ada yang sakit di lokasi proyek. Mengacaukan jadwal.”
Arash yang duduk di depan sedikit menoleh, tapi segera mengalihkan pandangan lagi. Ia tahu, perubahan suhu itu bukan benar-benar karena alasan logistik. Namun ia tidak menampakkan reaksi apa pun, hanya menarik napas dalam-dalam.
Mobil terus melaju keluar dari hiruk pikuk kota, menuju kawasan industri yang panas dan berdebu. Di balik kaca, langit sore mulai berwarna oranye pucat—dan di antara sunyi kabin mobil itu, ada dua orang yang sama-sama menahan sesuatu: satu dengan ego, satu dengan harga diri.
Dan di sanalah—perjalanan pertama antara Arash Maulidia dan Devan Adhitama benar-benar dimulai.