 
                            Leonardo, seorang pria berusia 30 tahun pengusaha kaya raya dengan aura gelap. Dari luar kehidupan nya tampak sempurna.
Namun siapa yang tahu kalau pernikahannya penuh kehampaan, bahkan Aurelia. Sang istri menyuruhnya untuk menikah lagi, karna Aurelia tidak akan pernah bisa memberi apa yang Leo inginkan dan dia tidak akan pernah bisa membahagiakan suaminya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nura_12, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berteman?
Suasana dapur siang itu terasa hangat, aroma vanila dan cokelat memenuhi udara. Dapur besar di rumah itu memang berbeda dari dapur biasa; peralatan modern tertata rapi, dinding berlapis marmer putih bersih, dan lampu gantung kristal yang membuat cahaya siang semakin berkilau. Arinda masuk dengan langkah pelan, ditemani Sofia yang sejak tadi mengawasi setiap geraknya.
“Nona kecil ingin apa?” tanya Arsen, dengan senyum ramah.
Arinda tersenyum manis sambil mengusap perutnya. “Arinda mau susu cokelat. Tapi yang hangat ya, bukan yang dingin. Soalnya kalau dingin nanti Arinda sakit perut.”
Kepala koki mengangguk penuh hormat. “Baik, nona kecil. Saya buatkan yang spesial.” Tangannya cekatan mengambil susu segar, bubuk cokelat, dan sedikit kayu manis. Dalam hitungan menit, aroma harum susu cokelat menyeruak, membuat Arinda menatap penuh antusias.
Namun sebelum gelas itu sampai ke tangannya, sebuah suara lembut terdengar dari arah pintu. “Ah… ternyata di sini kamu, nona kecil yang manis.”
Arinda menoleh, matanya membesar penuh penasaran. Seorang wanita cantik masuk, langkahnya anggun. Rambut panjang cokelat keemasan jatuh ke bahunya, pakaian modern elegan membalut tubuhnya dengan pas. Senyumnya hangat, membuat aura seisi dapur seolah berubah.
Arinda mengerutkan kening. “Eh… nyonya siapa?” tanyanya polos.
Wanita itu tertawa lembut, mendekat dengan cepat lalu langsung merengkuh tubuh kecil Arinda dalam pelukan hangat. “Aduh, akhirnya aku bisa bertemu langsung denganmu. Kamu benar-benar penyelamatku, nona manis.”
Arinda terperangah, tubuhnya kaku dalam dekapan wanita itu. “E… eeh, nyonya… jangan terlalu erat. Arinda nanti nggak bisa napas.”
Kepala koki dan beberapa asisten dapur saling pandang, menahan senyum melihat tingkah polos Arinda. Sofia yang berdiri di belakang hanya menunduk, menunggu bagaimana reaksi wanita itu.
Wanita cantik itu akhirnya melepaskan pelukannya sambil tertawa kecil. “Maaf, nona kecil. Aku terlalu senang bertemu denganmu.”
Arinda mengusap dadanya lega, lalu menatap lekat wajah lembut itu. “Nyonya siapa? Mbaknya tuan Leo ya?”
Pertanyaan itu membuat wanita tersebut semakin tertawa, suaranya halus seperti denting kaca. Ia menyentuh pipi Arinda dengan lembut. “Kamu lucu sekali. Nanti kita bicarakan, ya. Kalau Tuan Leo sudah pulang, aku akan cerita banyak padamu.”
Arinda mengangguk polos. “Oh… jadi sekarang nggak boleh cerita, ya?”
Wanita itu tersenyum penuh misteri. “Belum saatnya, sayang.”
Sofia buru-buru maju, menunduk sopan. “Nona Arinda, mari duduk. Susu hangatnya sudah siap.”
Arinda pun mengangguk dan duduk di kursi tinggi dekat meja dapur. Kepala koki menyodorkan gelas berisi susu cokelat dengan buih tipis di permukaannya. Aroma kayu manis membuat hidung Arinda geli.
“Terima kasih, Om Koki.” Arinda tersenyum lebar, lalu menyesap sedikit. Matanya berbinar. “Enak banget! Rasanya manis, tapi nggak bikin eneg. Arinda suka!”
Wanita itu duduk di sampingnya, tatapannya penuh kasih. “Kamu benar-benar polos… dan manis sekali. Aku semakin yakin, Tuhan mengirimkanmu untuk sesuatu yang besar.”
Arinda memiringkan kepala. “Maksudnya apa, nyonya? Arinda kan cuma anak biasa."
Wanita itu tersenyum samar, lalu menatap Sofia. Sofia hanya menunduk, tak berani bicara. Arinda yang merasa suasana agak aneh, malah menatap wanita itu lagi dengan polos.
“Kalau gitu, nyonya ini siapa?” tanyanya lagi dengan wajah serius khas anak kecil. “Mbaknya Tuan Leo, atau… apa ya? Arinda bingung.”
Wanita itu kembali tertawa, kali ini lebih lembut. “Kamu akan tahu nanti, sayang. Sementara ini… anggap saja aku temannya Tuan Leo. Teman yang sangat dekat.”
Arinda mengangguk-angguk, meski wajahnya masih penuh tanda tanya. “Oh, jadi kayak sahabat, ya? Kalau gitu Arinda juga bisa jadi teman nyonya, kan?”
Tatapan wanita itu langsung melembut, matanya sedikit berkaca. “Tentu saja, sayang. Kamu sudah jadi temanku sejak pertama kali aku mendengar tentangmu.”
Arinda tersenyum puas, lalu kembali menyesap susu cokelatnya. Kepolosannya membuat suasana dapur terasa lebih ringan.
Setelah beberapa saat, Aurelia—nama wanita itu—berbicara lagi. “Nona kecil, kamu suka tinggal di sini?”
Arinda menoleh sambil menggoyang-goyangkan kakinya di kursi tinggi. “Hmm… Arinda suka, sih. Kamarnya besar, pemandangannya indah, ada taman juga. Tapi…” Ia cemberut. “Bosen, soalnya nggak boleh ke lantai dua.”
Aurelia terkekeh. “Oh begitu? Kenapa tidak boleh?”
Arinda menjawab jujur tanpa pikir panjang. “Kata Mbak Sofia, harus izin Tuan dulu. Kalau nggak, nanti dimarahi.”
Aurelia melirik Sofia sekilas, lalu kembali tersenyum pada Arinda. “Begitu ya. Kalau suatu hari nanti kamu ingin melihat lantai dua… bilang saja padaku, ya. Aku akan temani.”
Mata Arinda berbinar. “Beneran? Wah, Arinda mau banget! Ada ruang karaoke, kan? Arinda pengen nyanyi.”
Aurelia menepuk tangan kecil Arinda. “Tentu saja. Nanti kita nyanyi bareng, ya.”
Arinda tertawa ceria, lalu meneguk habis susu cokelatnya.
Sementara itu, Sofia hanya bisa terdiam, hatinya penuh kegelisahan. Ia tahu siapa Aurelia sebenarnya, tapi tak mungkin mengatakannya pada Arinda yang polos. Tuan Leo pasti murka jika tahu nona kecil itu terlalu dekat dengan wanita ini.
Namun Arinda sama sekali tidak menyadari ketegangan itu. Baginya, Aurelia hanyalah wanita cantik baik hati yang tiba-tiba memeluknya. Dan hatinya yang polos percaya begitu saja.
Sore itu, sebelum Aurelia pamit meninggalkan dapur, ia sempat menunduk dan mencium kening Arinda. “Sampai jumpa, nona kecil. Jangan lupa, kamu temanku, ya.”
Arinda mengangguk ceria. “Iya, nyonya cantik. Sampai jumpa lagi.”
Senyum Aurelia mengembang, namun di balik senyum itu tersimpan banyak rahasia yang Arinda belum tahu.
Sinar senja mulai menembus jendela-jendela kaca rumah megah itu. Di lantai tiga, Arinda berdiri di depan lift, tubuh mungilnya sedikit bergetar karena antusias. Matanya berbinar, tangan mungilnya menggenggam ujung dress nya. Sejak tadi ia menunggu jam tangan menunjukkan pukul enam sore.
“Sekarang Tuan Leo pasti sudah pulang…” gumam Arinda dalam hati.
Hatinya berdebar-debar. Ia ingin sekali meminta izin tentang kolam renang yang tadi pagi Sofia tunjukkan. Gadis polos itu membayangkan diriya bermain air, berenang bebas, dan menikmati sore yang hangat. Namun sebelum bisa berpikir panjang, terdengar dentingan lift yang menandakan pintu akan terbuka.
Arinda segera melangkah maju, menatap ke arah pintu dengan mata berbinar. Begitu pintu lift terbuka, ia tak menunggu lama dan langsung meloncat memeluk tubuh tinggi yang muncul di depan matanya.
“Mas!” serunya riang, suara polosnya memecah kesunyian lantai tiga. “Boleh nggak Arinda main di kolam renang di belakang itu? Kata Mbak Sofia harus minta izin dari Mas dulu.”
Leo, yang baru saja keluar lift dengan jas rapi masih menempel di bahunya, menatap Arinda dengan mata tajam. Tatapan itu seketika membuat Arinda menegang, namun tetap tak melepaskan pelukannya.
“Kolam renang?” jawab Leo dengan nada datar, namun matanya memperhatikan wajah polos Arinda yang penuh semangat.
Sementara itu, di belakang mereka, Adrian berdiri dengan tubuh tegap namun menunduk. Ia mencoba memalingkan pandangan, tidak ingin mengganggu momen majikannya dengan istri kedua yang baru. Meski begitu, rasa penasaran membuat Adrian diam-diam memperhatikan interaksi itu.
Leo menghela napas pelan, lalu menoleh ke arah Adrian. Mata hitamnya menatap tajam, aura dinginnya memancar hingga membuat Adrian merasa sedikit kaku. “Ke lantai dua. Sekarang. Jangan ganggu kami di sini.”
Adrian cepat-cepat membungkuk hormat. “Baik, tuan.” Ia kemudian berbalik dan melangkah menuju tangga yang mengarah ke lantai dua, tak berani menoleh lagi.
Arinda menatap Adrian sejenak, senyum manisnya muncul. “Sampai jumpa, Om Adrian!” serunya riang, matanya berbinar-binar.
Adrian menunduk dan tersenyum tipis, lalu mengangguk. “Sampai jumpa, nona kecil.”
Begitu Adrian menghilang, Arinda kembali menoleh ke Leo, matanya penuh harap. “Mas… boleh ya, Arinda main di kolam renang? Arinda janji nggak bikin repot. Arinda kan cuma mau main sebentar saja.”
Leo menatap Arinda dari atas kepala hingga ujung kaki mungilnya. Wajah polosnya, mata yang berbinar penuh harapan, membuat aura dingin Leonardo sedikit memudar, digantikan oleh rasa ingin menjaga.
“Kamu janji tidak membuat masalah?” tanyanya dengan nada rendah, tegas.
Arinda mengangguk cepat. “Iya, Mas! Janji!”
Leo menghela napas panjang, lalu perlahan mengangguk. “Baik. Tapi dengar, kamu tetap harus hati-hati. Jangan berenang terlalu dekat kolam yang dalam. Aku tidak mau ada yang terjadi padamu.”
Arinda melompat kegirangan, matanya bersinar lebar. “Iya, Mas! Arinda janji!” Ia melepas pelukan nya lalu berjalan menuju lift.
Leo berjalan mengikuti, langkahnya mantap namun tenang. Tatapannya kadang tertuju ke Arinda yang lincah, kadang ke sekeliling rumah yang megah, memastikan semuanya aman. Ia menyadari betapa polosnya Arinda, betapa berbeda gadis ini dengan Aurelia yang elegan dan penuh misteri.
Begitu mereka sampai di halaman belakang, Arinda terperangah. Pemandangan kolam renang yang luas dengan air biru jernih memantulkan cahaya senja, pepohonan hijau di sekitarnya, dan kursi santai yang tertata rapi membuatnya takjub.
 
                    