Menjadi sekretarisnya saja sudah sulit, apalagi kini aku jadi istrinya.
Dia bos galak yang tak kenal kompromi.
Dan aku… terjebak di antara cinta, gengsi, dan luka masa lalu yang siap menghancurkan segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nfzx25r, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11
Dua puluh menit terasa berjalan lambat bagi Arkan. Ia menyalakan rokok, tapi mematikannya lagi setelah satu hisapan—entah kenapa pikirannya tidak tenang. Matanya terus menatap jam di dashboard, lalu sesekali melirik pintu rumah Aruna.
Ketika akhirnya pintu itu terbuka, langkah Aruna muncul.
Arkan tertegun.
Gadis itu keluar dengan gaun biru pendek yang sederhana tapi indah, membalut tubuhnya dengan pas tanpa terlihat berlebihan. Rambutnya diikat setengah ke atas dengan pita kecil yang manis, memberi kesan muda sekaligus anggun. Di tangannya, ia menggenggam tas kecil berwarna putih gading, selaras dengan heels mungil yang ia kenakan.
Aruna melangkah pelan, wajahnya jelas menahan gugup. Kedua tangannya meremas tali tas kecil itu, matanya sesekali menunduk, sesekali menatap cemas ke arah mobil hitam tempat bosnya menunggu.
Arkan, yang biasanya dingin dan tak mudah terusik, tanpa sadar menatapnya lekat. Pandangan itu nyaris membuatnya lupa bernapas. Ada sesuatu dalam diri gadis itu—kesederhanaannya, kepolosannya—yang justru membuatnya terlihat begitu menawan malam ini.
Astaga… apa yang kulihat ini? batin Arkan, sedikit kesal pada dirinya sendiri karena membiarkan pikirannya terhanyut.
Aruna membuka pintu mobil dengan gugup, lalu masuk. “M-maaf lama, Pak. Saya bingung harus pakai baju apa…” suaranya lirih, pipinya merona.
Arkan masih menatapnya beberapa detik, hingga membuat Aruna salah tingkah. “Ada yang salah dengan pakaian saya?” tanyanya cepat, cemas kalau bos galaknya akan mencibir.
Arkan mengalihkan pandangannya ke depan, membersihkan tenggorokannya. “Tidak.”
“T-tidak?”
“Tidak ada yang salah. Justru…” ia menghentikan kalimatnya, lalu menyunggingkan senyum tipis yang jarang terlihat. “…kau terlihat cukup pantas malam ini.”
Aruna sontak menunduk dalam, wajahnya makin panas.
Mobil pun kembali melaju. Suasana di dalam terasa aneh—hening, tapi bukan hening yang biasa. Ada ketegangan yang samar, tercampur dengan debaran halus yang bahkan Arkan sendiri tak bisa jelaskan.
Sementara itu, Aruna berusaha keras mengatur napasnya, karena baru saja ia sadar… bosnya yang galak itu tadi sempat menatapnya dengan cara yang membuat jantungnya hampir copot.
Lampu neon berwarna ungu dan biru berpendar dari balik kaca bar mewah yang menjadi tujuan Arkan malam itu. Musik berdentum lembut, bukan yang hingar-bingar, tapi cukup untuk memberi kesan eksklusif. Deretan mobil mewah berjajar di depan, menandakan hanya kalangan tertentu yang bisa masuk.
Aruna melirik cemas ke arah Arkan begitu mobil berhenti. “P-pak… saya harus ikut masuk?” tanyanya dengan suara hampir berbisik.
Arkan menoleh sekilas, wajahnya datar. “Itu hukumanmu, bukan?”
Aruna menggigit bibirnya, menunduk. “Iya, Pak…”
Begitu turun dari mobil, angin malam menyapu kulit Aruna yang terbuka di bagian lengan dan betisnya. Ia buru-buru merapatkan tas kecilnya ke dada, berusaha menutupi rasa gugup.
Arkan berjalan lebih dulu, langkahnya mantap dan percaya diri. Aura bos dingin yang berwibawa langsung menyedot perhatian beberapa orang yang kebetulan lewat. Aruna harus berlari kecil untuk mengimbangi langkah panjang pria itu.
Begitu memasuki bar, suasana langsung berubah—lampu redup, dentuman musik, aroma alkohol bercampur parfum mahal. Beberapa pria berjas dan wanita dengan gaun glamor bertebaran, tertawa sambil mengangkat gelas kristal mereka.
Di salah satu sudut ruangan, sekelompok pria duduk di sofa VIP, tampak langsung mengenali kedatangan Arkan.
“Arkan! Akhirnya datang juga!” seru salah satu dari mereka, melambaikan tangan.
Arkan mengangguk tipis, lalu menggiring Aruna ke arah meja itu. Aruna menunduk dalam, merasa seluruh mata di ruangan itu menelanjangi dirinya. Apalagi ketika ia sadar—para wanita yang duduk bersama teman-teman Arkan semuanya berdandan cantik, glamor, dan seksi. Gaun mereka berkilauan, makeup mereka tebal, tawa mereka menggema.
Sedangkan dirinya… dengan gaun biru sederhana, rambut diikat manis dengan pita kecil, ia merasa seperti anak sekolah yang tersesat di pesta orang dewasa.
“Oh?” salah satu teman Arkan, pria berkemeja putih dengan senyum menyebalkan, melirik tajam ke arah Aruna. “Siapa ini? Jangan bilang… sekretarismu, Kan?”
Aruna sontak menegakkan tubuh, wajahnya memanas.
Pria lain ikut terkekeh. “Astaga… kau serius bawa dia ke sini? Bukannya biasanya kau datang dengan wanita yang… yah, kau tahu lah.” Matanya melirik Aruna dari atas sampai bawah, jelas mengejek.
Beberapa wanita di sana ikut tersenyum miring, saling bisik-bisik.
Aruna meremas tali tas kecilnya kuat-kuat, kepalanya menunduk makin dalam. Hatinya tercekat—ia tahu dirinya tidak sebanding dengan wanita-wanita itu.
Arkan yang duduk di sampingnya, sejak tadi diam, tiba-tiba meletakkan gelas yang baru disentuhnya dengan suara duk! cukup keras.
Semua mata langsung menoleh.
Tatapan dinginnya mengarah pada pria yang tadi mengejek. Suaranya rendah tapi berbahaya. “Kau mau bicara sekali lagi tentang dia, coba saja.”
Seketika, suasana meja menjadi kaku.
Pria berkemeja putih itu terkekeh kikuk, mencoba mencairkan suasana. “Hei, jangan terlalu serius, Kan. Aku cuma bercanda, tahu?”
Namun Arkan tidak tersenyum. Tangannya terkepal di atas meja, urat di lengannya menonjol. Ia jelas hampir kehilangan kesabaran.
Melihat itu, Aruna spontan panik. Ia segera menyentuh lengan Arkan, suaranya bergetar. “Pak… jangan. Tidak apa-apa. Saya baik-baik saja…”
Tatapan Arkan beralih pada Aruna. Pandangan dinginnya sedikit melembut ketika melihat wajah pucat gadis itu.
Aruna menatapnya memohon, matanya berkaca-kaca. “Tolong… jangan marah karenaku.”
Arkan terdiam beberapa detik. Lalu ia menghela napas kasar, mengalihkan pandangan. “Hmph.” Ia menyandarkan tubuhnya ke sofa, masih terlihat kesal, tapi tidak melanjutkan niatnya untuk menghajar temannya.
Ketegangan perlahan mereda. Musik kembali mengisi ruang hening. Beberapa orang pura-pura melanjutkan obrolan mereka, meski jelas suasana sudah berubah.
Aruna menunduk dalam, berusaha menahan perasaan campur aduk di dadanya. Ia malu, merasa rendah diri, tapi di sisi lain… ada sesuatu dalam dirinya yang bergetar saat melihat bagaimana Arkan tadi membelanya tanpa ragu.
Arkan melirik gadis di sampingnya itu. Diam-diam ia berpikir, Kenapa aku bisa kehilangan kontrol hanya karena mereka merendahkannya?