Ribuan tahun sebelum other storyline dimulai, ada satu pria yang terlalu ganteng untuk dunia ini- secara harfiah.
Rian Andromeda, pria dengan wajah bintang iklan skincare, percaya bahwa tidak ada makhluk di dunia ini yang bisa mengalahkan ketampanannya- kecuali dirinya di cermin.
Sayangnya, hidupnya yang penuh pujian diri sendiri harus berakhir tragis di usia 25 tahun... setelah wajahnya dihantam truk saat sedang selfie di zebra cross.
Tapi kematian bukanlah akhir, melainkan awal dari absurditas. Bukannya masuk neraka karena dosa narsis, atau surga karena wajahnya yang seperti malaikat, Rian malah terbangun di tempat aneh bernama "Infinity Room"—semacam ruang yang terhubung dengan multiverse.
Dengan modal Six Eyes (yang katanya dari anime favoritnya, Jujutsu Kaisen), Rian diberi tawaran gila: menjelajah dunia-dunia lain sebagai karakter overpowered yang... ya, tetap narsis.
Bersiaplah untuk kisah isekai yang tidak biasa- penuh kekuatan, cewek-cewek, dan monolog dalam cermin
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon trishaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kastil Salazar
Sementara itu, jauh dari lokasi Leon, di sebuah area terbuka yang dikelilingi tebing curam disekitar, pemandangan mengerikan terbentang luas.
Puluhan tubuh Ganado berserakan di tanah, termutilasi dalam posisi tak wajar. Beberapa masih menggeliat lemah, namun sebagian besar sudah tak bernyawa.
Di tengah genangan darah dan bau busuk kematian, berdiri sosok raksasa dengan tubuh menyerupai troll, kulitnya kasar dan ototnya menggembung dengan kepala yang hancur karena diledakan.
Makhluk itu dikenal sebagai El Gigante, salah satu hasil mutasi Las Plaga paling brutal pada tubuh manusia.
Namun, perhatian tak hanya tertuju pada monster itu.
Di sisi El Gigante, berdiri seorang pria muda dengan penampilan mencolok. Chainsaw berdarah diletakkan santai di dekat kakinya, dengan sebuah dirigen bensin tergeletak di sisi lain.
Darah masih mengalir dari mata pisau Chainsaw, namun pria itu... sedang bercermin.
Dengan ekspresi puas, Rian Andromeda mengamati wajahnya melalui cermin saku yang kecil namun mengilap, membenarkan posisi poni dan senyumnya.
“Rian, meskipun ketampananmu ternoda oleh pembantaian...” ucapnya dengan nada berat, menatap bayangan dirinya di cermin kecil yang berlumur darah. “...kau tetap yang terbaik.”
Rian menutup mata sejenak, menarik napas pelan. Dengan nada lebih santai, ia menyahut pada dirinya sendiri, “Aku sudah tahu itu.”
Kemudian, dengan dramatis membuka kelopak mata yang tajam, Rian melanjutkan dengan penuh percaya diri:
“Wajah laki-laki tampan ini takkan pernah luntur… dan selalu siap menghadapi apapun yang terjadi!”
Sesaat hening, lalu dengan suara berat namun puas, Rian berkata lagi pada pantulan dirinya: "Oh… aku suka kata-katamu. Dan, tentu saja, wajah laki-laki tampan ini.”
Tiba-tiba, walkie-talkie di dada kiri Rian mengeluarkan suara statik disertai panggilan dari saluran lain.
Rian menghentikan aksinya bercermin, lalu dengan tenang menyelipkan kembali cermin kecil itu ke saku kemejanya. Ia meraih walkie-talkie dan menekan tombolnya.
“Ya. Laki-laki tampan di sini. Ada yang bisa dibantu? Rian yang baik hati, tidak sombong, dan… tentu saja, tampan, selalu siap membantu.”
Dari seberang, suara Luis terdengar terkekeh ringan. "Setelah bertarung melawan Bitores Mendez, aku senang kau masih hidup… dan rupanya, tidak berubah. Kedengarannya kau baik-baik saja.”
“Tentu saja,” balas Rian tanpa sedikit pun keraguan. “Aku ini laki-laki tampan. Mana mungkin tidak baik-baik saja?"
Rian lalu menambahkan, "Oh iya... Obat untuk Ashley sudah di dapatkan? Dan… bagaimana dengan Amber? Di mana lokasimu sekarang?”
Luis tertawa kecil lagi dan menjawab Rian, “Woah, woah… Santai, amigo. Satu per satu, ya? Obat penekan akan siap dan Amber sudah aku dapatkan. Meski sempat ada… insiden. Untuk lokasi, kita bertemu di atas kastil Salazar.”
“Baik, aku paham,” sahut Rian singkat. "Aku akan segera datang."
Percakapan pun berakhir. Dengan gaya khasnya, Rian kembali melangkah, sambil membawa Chainsaw yang non-aktif ditangan kanannya.
Langkah Rian ringan, namun penuh kepercayaan diri, seolah medan perang hanya panggung lain bagi seorang laki-laki tampan sepertinya.
Tiba-tiba, Rian menghentikan langkahnya dan termenung, “Tapi... jalan menuju kastil Salazar itu lewat mana, ya? Jujur saja, laki-laki tampan ini... tersesat sejak tadi, hingga berakhir di situasi pembantaian."
Rian memindahkan chainsaw ke tangan kiri, lalu menyibak poninya dengan dramatis, seperti bintang iklan sampo. “Haish... aku lupa. Jalan hidup laki-laki tampan memang tak pernah lurus, bahkan tanah pun mencoba menyesatkanku.”
Namun meski bingung arah, langkah Rian tak pernah ragu. Dengan gaya tenang seolah tahu tujuan, ia melangkah lagi.
Entah bagaimana, dia akan sampai di tempat pertemuan itu. Karena bagi Rian Andromeda... bahkan rintangan pun tahu diri untuk minggir.
***
Setelah melewati perjalanan penuh belokan, Rian akhirnya tiba di kastil Salazar. Sayangnya, ia sendiri tak tahu sedang berada di bagian mana.
Jalanan disana tampak sempit dan gelap, terlalu gelap bagi orang normal untuk melihat dengan jelas.
Di sekelilingnya, dinding batu kusam membentang. Beberapa jeruji besi yang telah dimakan waktu berdiri kokoh meski berkarat, seperti saksi bisu dari horor masa lalu.
Rian menghentikan langkah. Chainsaw di tangan kanan ia pindahkan ke kiri. Sementara tangan kanannya lalu merogoh saku kemeja, mengeluarkan sebuah cermin kecil.
Rian menatap bayangannya sendiri di sana, lalu menghela napas panjang, meski hanya secara imajiner.
'Siapa sih yang desain tempat ini?' tanya Rian dalam pikiran, 'Apa mereka nggak sadar betapa susahnya ini buat laki-laki tampan ini menjelajah?'
'Tempat ini penuh jebakan, jalan berliku, penerangan buruk...Ugh,' Rian mengeluh dengan gaya dramatis. 'Betul-betul ujian berat buat wajah laki-laki tampan ini.'
Kemudian, Rian memejamkan mata secara dramatis, seperti sedang syuting iklan cologne eksklusif.
Sudut bibir Rian menyunggingkan senyum tipis. 'Ya sudahlah... mau bagaimanapun... ujian laki-laki tampan memang tidak ada habisnya."
Setelah itu, Rian mengembalikan cerminnya ke saku, lalu melepas kacamata gelap dan menggantungkannya di leher. Kini, matanya, biru cerah seperti kristal murni, terpancar tajam dalam kegelapan, seolah menyala.
Dengan melepaskan pembatas dari Six Eyes, informasi dari sekelilingnya mulai membanjiri pikirannya. Sejenak terasa seperti tsunami data, tapi ia sudah terbiasa.
Meski tekanan dari kemampuan itu masih terasa, kini Rian bisa menahannya lebih lama tanpa merasakan tekanan mental berlebihan.
'Lagipula...' kata Rian dalam benak, '...Aku sudah melihat sesuatu yang khas dari RE4. Jebakan, Monster dan... Anggota kultus Los iluminados dengan outfit yang teatrikal.'
Seperti yang dikatakan Rian, nyatanya pada seperjalanan menuju tempat ini, tak jarang Rian membunuh Ganado.
Total yang Rian dapatkan adalah 2000 Poin sistem dan karena merasa cukup terganggu oleh notifikasi pemberitahuan Poin Sistem, Rian menonaktifkan fitur tersebut.
Rian menyentuh recoil starter pada chainsaw di tangan kirinya, dengan senyum tipis masih bertengger di wajahnya.
'Ah… Jangan lupakan satu hal lagi,' pikir Rian dan menambahkan, 'Mahluk yang selalu berhasil bikin para player frustrasi."
Tanpa ragu, Rian segera menarik recoil starter. Suara raungan brutal mesin chainsaw menggema, menggigit udara sunyi ruangan seperti peringatan kematian.
"GRRRRRRRRRRRRR!!"
Tiba-tiba, Dinding di sisi kanan Rian hancur berantakan. Debu dan serpihan batu beterbangan ke segala arah.
Dari balik reruntuhan, muncul sosok mengerikan: seorang pria besar berotot dengan mata tertutup jahitan.
Namun yang paling mencolok adalah dua hal, cakar besi panjang mematikan di kedua tangannya, dan helm besi penyiksaan yang mengurung kepalanya.
Garador.
Makhluk buta karena dijahit, namun dengan indra pendengaran yang luar biasa tajam, dan kekejaman yang lebih tajam lagi.
Seketika, Garador mengaum dan menerjang liar. Cakar-cakarnya mencabik udara, menghantam tembok, lantai, dan apapun yang dianggapnya ancaman.
Namun Rian tetap tenang. Dengan gerakan ringan dan penuh gaya, ia memiringkan tubuh, menghindari setiap tebasan mematikan itu dengan presisi luar biasa. Seolah menari di atas panggung berdarah.
"Terlalu berisik..." bisik Rian sambil bergerak ke belakang Garador.
Dalam satu gerakan, Rian menikam punggung Garador dengan ujung gergaji mesin. Suara menyiksa. Darah gelap menyembur ke udara.
"GRRRRAAAAAAHH!!" Garador menjerit, menggeliat dalam kesakitan dan kemarahan.
Mendengar jeritan penuh penderitaan, Rian tidak menunjukkan belas kasihan. Chainsaw di tangannya justru semakin dalam menggali punggung makhluk malang itu.
Raungan mesin bercampur jeritan Garador menciptakan harmoni neraka di ruangan sempit itu.
BRZZZZZZT!!
Darah dan serpihan daging memuncrat liar, membasahi lantai batu, pakaian Rian, bahkan wajah tampannya, yang kini ternoda merah dan abu-abu.
Namun Rian tetap tenang. Tidak bergeming. Karena dia tahu, di situlah titik lemah Garador: parasit di punggung.
Garador akhirnya merosot. Kakinya berlutut, gemetar, lalu tubuhnya jatuh ke depan, menciptakan hentakan berat, menghantam tanah.
Rian menarik kembali chainsaw-nya. Suara mesin meluruh perlahan hingga senyap. Ia mengambil cermin dari saku dalam kemeja, dan mengamati wajahnya yang kini penuh cipratan darah dan daging.
"Oooh… Lihat ini, Rian." ucapnya dengan suara dalam dan berat, penuh pujian untuk dirinya sendiri. "Kau sekarang seperti seorang psikopat dalam pemotretan majalah fashion horor. Tapi kau masih luar biasa!"
Rian segera mengubah nada bicara menjadi ringan dan narsis, sambil menyunggingkan senyum tipis, "Aku tahu itu. Aku ini laki-laki yang sangat tampan. Bahkan wajah berdarahku bisa jadi iklan parfum… Eau de Chainsaw."
Chainsaw diletakkan perlahan di lantai. Rian menyeka wajahnya dengan lengan bajunya yang sudah kotor. Kacamata berlensa sangat hitam kembali dikenakan.
"Tapi tetap saja… Wajah tanpa dandanan rumah hantu adalah yang terbaik," gumam Rian, menatap cermin.
Rian menarik napas dramatis, memejamkan mata sejenak, lalu mengeluh halus. "Hanya saja… karena hari ini aku skip perawatan kulit, wajahku seperti terkelupas. Dosa besar bagi laki-laki tampan sepertiku."
Setelah itu, Rian menyelipkan kembali cermin kecil ke dalam saku kemejanya dengan gerakan elegan dan penuh gaya, seolah baru saja menyelesaikan sesi pemotretan.
Dengan santai, Rian kembali menenteng chainsaw pada tangan kirinya, lalu mulai melangkah menuju lokasi pertemuan yang disebutkan Luis, di atas kastil Salazar.
btw si Rian bisa domain ny gojo juga kah?