Follow IG Author, @ersa_eysresa
Setelah bertahun-tahun setia mendampingi suaminya dari Nol, rumah tangga Lestari mendapatkan guncangan hebat saat Arman suaminya tega membawa wanita lain ke rumah. Melati, wanita cantik yang membawa senyum manis dan niat jahat.
Dia datang bukan sekedar untuk merusak rumah tangga mereka, tapi ingin lebih. Dan melakukan berbagai cara untuk memiliki apa yang menjadi hak Lestari.
Lestari tidak tinggal diam, saat mengetahui niat buruk Melati.
Apa yang akan dilakukan oleh Lestari?
Apakah dia berhasil mengambil kembali apa yang menjadi miliknya?
"Karena semua yang tampak manis, tak luput dari Murka Sang Penguasa, "
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luka Yang Tak Mudah Sembuh
Melati tiba-tiba lenyap setelah mencoba menyerang Arman dan Lestari yang sudah mulai membangun perlindungan spiritual. Namun ia meninggalkan lambang misterius—tanda bahwa pertarungan belum usai… dan kekuatan di balik Melati mungkin jauh lebih kuat dari yang mereka kira.
Malam yang dingin merangkak menuju waktu subuh. Tidak terasa apa yang mereka lakukan tadi ternyata menyita banyak waktu dan emosi dalam diri masing-masing.
Lestari bisa sedikit bernafas lega setelah semua ini selesai dan tanpa terasa, Pagi hampir menjelang dengan langit yang masih kelabu. Udara di dalam rumah mendingin, seolah menyadari bahwa malam sebelumnya telah membuka tabir yang sekian lama tertutup kabut. Rumah yang dulu penuh canda dan doa kini hanya menyisakan keheningan dan bayangan gelap dari kekacauan yang baru saja berlalu.
Arman duduk di pinggir sofa, menatap lantai tempat lambang aneh itu membara semalam. Ia sudah mencoba membersihkannya, menyiramnya dengan air dan menggosok dengan sapu kawat, tapi simbol itu seperti membekas ke dalam lapisan kayu terdalam. Seakan lambang itu bukan sekadar tanda, melainkan peringatan bahwa kegelapan pernah tinggal di sana. Tak ada suara. Tak ada tanda kehadiran Melati. Hanya keheningan, sisa-sisa serpihan kaca, dan hawa dingin yang menggigit.
Lestari duduk di sofa ruang tamu, lengan kirinya terbalut kain putih yang sudah mulai bernoda darah kering. Ia memalingkan wajah saat Arman mencoba mendekat, menolak kontak mata yang mungkin akan membuat hatinya runtuh.
"Lestari…," Arman bicara perlahan, seperti orang yang belajar berbicara kembali setelah lama kehilangan suaranya. "Aku… aku tidak tahu harus mulai dari mana."
Lestari hanya menunduk. Matanya masih sembab. Bukan hanya karena luka di tubuh, tapi luka di hatinya jauh lebih dalam dan tak terlihat. Luka yang tak bisa disembuhkan dengan satu malam air mata atau pelukan hangat yang sudah lama hilang.
"Aku benar-benar minta maaf," lanjut Arman, suaranya pecah. "Aku nggak tahu kenapa aku bisa begitu buta. Kenapa aku bisa mengabaikanmu… anak-anak kita… Aku bahkan, aku bahkan lupa bagaimana caranya mencintaimu."
"Karena kau memang berhenti mencintaiku," jawab Lestari pelan, tanpa menoleh. "Karena itu kanu mencari wanita lain untuk menggantikan aku. Dan sekarang kamu minta maaf setelah semuanya hancur?"
Arman tersentak. Ia berlutut di hadapan Lestari, berusaha menjangkau tangannya, tapi perempuan itu menarik diri.
"Maafkan aku, aku ngin memperbaiki semuanya."
"Beberapa hal–," ucapan Lestari terpotong, dan dia menoleh ke arah arman dan menatapnya. "Tak bisa diperbaiki hanya dengan kata maaf."
Tatapan mereka bertemu. Ada perih yang tak bisa ditutupi. Mata Lestari menyimpan cinta lama yang retak. Mata Arman menyimpan penyesalan yang terlambat. Arman hanya bisa menunduk, menelan rasa bersalah yang mulai menyesakkan dadanya.
"Aku ingin melihat anak-anakku," katanya kemudian. "Mereka butuh aku dan Aku butuh mereka."
Arman mengangguk pelan. Ia tidak menghalangi. Ia tahu Lestari berhak mengambil waktu. Luka yang ia timbulkan terlalu dalam untuk sembuh dalam semalam.
"Kalau begitu… aku akan bereskan semua di sini," katanya lirih. "Membereskan rumah ini, dan membersihkan dari kegelapan. Setelah itu aku akan menyusul kalian ke pondok. Kalau kau izinkan."
"Bagaimana pun kamu adalah ayah mereka, dan aku tidak bisa menghalangi seorang ayah untuk bertemu dengan anak-anak nya.
Lestari berdiri, perlahan tapi mantap. Ia mengambil tas kecilnya, membetulkan kerudung, lalu menatap Arman untuk terakhir kali sebelum melangkah pergi. Tidak ada pelukan. Tidak ada kalimat perpisahan. Hanya langkah kaki pelan yang terdengar sampai pintu depan tertutup.
Arman hanya bisa mematung, membiarkan pintu tertutup dengan pelan di belakangnya. Tapi dalam hatinya, ia bersumpah, sumpah yang belum pernah ia ucapkan sebelumnya. Bahwa kali ini, ia akan menebus semuanya. Bukan dengan kata-kata. Tapi dengan tindakan nyata.
*********
Sementara itu, jauh dari rumah mereka, di sebuah ruang gelap yang seperti tak berbatas, Melati terjerembab dalam pusaran angin pekat. Tubuhnya menggigil. Gaun merahnya tercabik, dan kulitnya ditumbuhi luka-luka hitam yang seolah membara dari dalam. Nafasnya tersengal, dan setiap hembusannya memanggil nama yang kini tak lagi meperdulikannya.
Makhluk yang selama ini ia puja, yang telah memberinya kecantikan, pesona, dan kekuatan untuk merebut Arman, kini berdiri di hadapannya dalam wujud yang berubah-ubah, kadang bayangan, kadang wajah-wajah tua yang menyeringai penuh cela. Sosok itu adalah sesuatu yang tak bisa diberi nama, karena namanya telah hilang ditelan zaman dan darah.
"Kau gagal," suara itu bergema. "Kau berjanji akan mengikatnya. Tapi dia lolos."
"Bukan salahku!" teriak Melati, tubuhnya bergetar menahan marah. "Dia lemah! Tapi perempuan itu—, perempuan itu datang dengan doa! Aku tidak menyangka kekuatannya sebesar itu!"
Makhluk itu mendesis, dan angin bertiup lebih kencang. Luka di tubuh Melati kembali terbuka, mengucurkan darah hitam pekat yang berbau besi.
"Kau terlalu terikat pada keinginan manusia. Kau cintai lelaki itu lebih dari perjanjian kita. Cintamu... menjadikanmu lemah."
Melati menggertakkan gigi. "Aku tidak lemah! Aku akan merebutnya kembali. Aku akan membuat Lestari bertekuk lutut! Aku akan—"
Suara itu memotong, kali ini seperti ribuan jarum menusuk telinga.
"Jangan tantang kekuatan yang kau tidak pahami, Melati."
Tiba-tiba, tubuh Melati terangkat ke udara, dijungkirbalikkan oleh kekuatan yang tak kasat mata. Ia menjerit, tubuhnya membentur dinding tak terlihat, lalu jatuh kembali dengan keras. Darah keluar dari hidung dan telinganya. Tapi matanya masih menyala dengan kebencian.
"Kau akan ditebus, Melati," suara itu menggelegar. "Dengan nyawamu. Atau dengan sesuatu yang lebih berharga."
Melati mencengkeram lantai gelap itu dengan kuku-kukunya. Nafasnya terengah, tapi semangatnya belum padam. Ia bukan perempuan yang mudah menyerah.
"Aku akan ambil semuanya kembali," bisiknya. "Kalau tak bisa dengan cinta, maka dengan kehancuran."
**********
Di pondok sederhana yang sejuk dan jauh dari hiruk-pikuk, Lestari tiba dengan tubuh lelah. Dimas dan Dara langsung menyambutnya, memeluk pinggang ibunya tanpa tanya. Anak-anak itu tak tahu apa yang terjadi, tapi naluri mereka mengenali luka yang mengoyak tubuh ibunya. Mereka berdua merindukan pelukan hangatnya. Ia menahan air mata saat kedua buah hatinya bertanya,
“Ibu nggak apa-apa?”
Lestari tersenyum. Mata dan bibirnya tersenyum. Tapi hatinya masih penuh luka. Luka yang tidak bisa sembuh dengan cepat, apalagi ketika pengkhianatan datang dari orang yang seharusnya menjaga.
Malam yang beranjak pagi itu, ia mengajak anak-anak masuk ke dalam kamar. Ia memandangi wajah mereka saat tidur sambil berdoa dalam hati:
"Ya Allah, kuatkan aku… Kalau dia memang kembali untuk menjadi ayah dan suami yang sebenarnya, biarlah ia datang bukan hanya dengan penyesalan, tapi dengan jiwa yang telah Kau bersihkan. "