Setelah menumbangkan Tuan Tua, James mengira semuanya sudah selesai. Namun, di akhir hidupnya, pria itu justru mengungkapkan kebenaran yang tak pernah James duga.
Dalang di balik runtuhnya keluarga James bukanlah Tuan Tua, melainkan Keluarga Brook yang asli.
Pengakuan itu mengubah arah perjalanan James. Ia sadar ada musuh yang lebih besar—dan lebih dekat—yang harus ia hadapi.
Belum sempat ia menggali lebih jauh, kemunculan lelaki tua secara tiba-tiba:
Edwin Carter, penguasa Pulau Scarlett yang ternyata adalah ayah kandung Sophie.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRAXX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HEART OF FROST QUEEN!!
Keesokan Paginya—
Di Pearl Villa, keluarga berkumpul untuk melepas kepergian Paula. Pakaian kerjanya yang rapi sangat kontras dengan senyum hangat Sophie dan si kembar yang melambaikan tangan ceria di gerbang. Julian memberikan anggukan sopan, dan Paula berjanji akan segera kembali. Setelah salam terakhir, ia masuk ke mobilnya, dan kendaraan itu meluncur menuruni jalan masuk.
James berdiri sejenak, mengamati dengan tenang, sebelum beralih ke jadwalnya sendiri. Ia menyetir sendirian menembus lalu lintas pagi Crescent Bay, melewati para pedagang yang menata dagangan, para pekerja yang bergegas, dan papan digital yang menampilkan berita dominasi Brook Enterprises di pasar. Mobilnya melaju stabil, dan tak lama kemudian ia sampai di perusahaan nya.
James memasuki Ruangan pribadinya, pintu menutup di belakangnya. Ia duduk di kursinya.
Beberapa saat kemudian, terdengar ketukan lembut. “Selamat pagi, bos. Kau memanggilku?” Jasmine masuk, membawa tabletnya.
James sedikit bersandar, matanya tajam. “Sampai di mana kemajuan pada perusahaan keamanan itu?”
Jasmine langsung menggeser layar, menampilkan berbagai berkas. “Brook Private Security Agency sudah terdaftar. Semuanya resmi. Rekrutmen sudah dimulai. Kami juga telah mengamankan properti besar untuk markas dan tempat latihan. Pembangunannya sedang berlangsung dan hampir selesai.”
James mengangguk pelan, jari-jarinya mengetuk meja. “Bagus. Untuk perekrutan, fokus ke mantan militer dan mantan polisi. Hanya mereka yang diberhentikan dengan hormat. Aku tidak mau tentara bayaran atau orang-orang dengan masa lalu kotor menyelinap masuk.”
“Siap, bos,” jawab Jasmine mantap, langsung mencatatnya.
James terdiam sejenak, tatapannya melunak. “Juga, carikan lokasi bagus untuk restoran.”
Jasmine berkedip, sedikit terkejut. “Restoran? Apakah kita mau merambah ke bisnis kuliner sekarang?”
James memberi senyuman tipis, “Secara teknis, ya. Tapi ini bukan untukku—ini untuk Mama. Dia sudah bertahun-tahun bermimpi untuk memiliki restoran sendiri.”
Ekspresi serius Jasmine berubah menjadi senyum lembut. “Itu bagus sekali. Jujur saja, aku juga suka masakan beliau. Aku akan mulai mencari lokasi segera. Dia pantas mendapatkan tempat terbaik di kota ini.”
James mengangguk. “Terima kasih atas kerja kerasmu, Jasmine.”
Sebelum Jasmine sempat menjawab, ponsel James bergetar. Jalur aman berkedip, menampilkan nama Paula. James membuka pesan terenkripsi itu, matanya menyipit.
Pesan dari Paula:
Orang di balik ACE Finances adalah Kyle Brook. Ia adalah putra dari adik bungsu kakekmu. Aku telah melampirkan dokumen lengkap. Kyle memiliki beberapa bisnis tersembunyi di luar ACE, sebagian besar ilegal. Dia adalah tersangka utama kita, terutama mengingat hubungan Tuan Tua dengan ACE.
Kepala keluarga saat ini adalah Gordon Brook. Catatannya bersih. Aku ragu ia terlibat secara langsung.
Ada perkembangan baru di grup ACE. Untuk pertama kalinya, seseorang dari keluarga muncul secara terbuka di perusahaan. Namanya Silvey Brook, cucu Gordon. Baru lulus dari Stanford, ia kembali ke negara ini dan bergabung dengan perusahaan pusat ACE.
Aku akan terus memperbarui informasi tentang ACE.
James membaca setiap kalimat dengan saksama, matanya sedikit menyipit. Jari-jarinya mengetuk meja perlahan.
Akhirnya, senyum muncul di bibirnya. Tatapannya melayang ke jendela kaca, mengamati alun-alun sibuk di bawah sana. “Kyle Brook,” gumamnya pelan, “Mari kita lihat apa yang bisa kau lakukan.”
Telepon di meja James berdering.
Ia menjawab. “Ya?”
Di sisi lain, suara resepsionis yang sopan terdengar. “Ketua, ada seseorang disini yang ingin bertemu dengan Anda. Namanya Lucy. Dia mengatakan kalau dia dari Kepolisian Brightvale.”
Mata James sedikit menyipit, senyum samar terangkat di sudut bibirnya. “Antar Petugas Lucy ke atas.”
“Baik, Ketua,” jawab resepsionis itu.
Begitu sambungan terputus, James bersandar, jarinya mengetuk sandaran kursi. Pikirannya mengencang. ‘Kenapa Lucy datang ke sini?’
Beberapa menit berlalu. Lalu terdengar ketukan di pintu Ruangan.
“Masuk,” kata James.
Pintu terbuka, dan Lucy melangkah masuk. Matanya bergerak perlahan menyusuri Ruangan itu, mengamati meja mahoni mengkilap, jendela kaca besar, dan desain elegan yang memancarkan kekuasaan dan kekayaan.
Akhirnya, pandangannya jatuh pada dirinya. "Hai, James."
James memberikan senyum tipis, nada suaranya tenang. "Sudah lama, Petugas Lucy. Silahkan, duduk."
Lucy melangkah maju, lalu duduk di kursi di depannya. Bahkan ketika ia sudah duduk, matanya masih tak bisa berhenti melirik sekeliling ruangan itu.
Tatapan James tertuju padanya, tidak berkedip, "Jadi," tanyanya dengan suara rendah, "ada apa kau mencariku, Petugas?"
Lucy sedikit condong ke depan, "Apakah kau tahu sesuatu tentang Heart of Frost Queen?"
James menaikkan alisnya, bibirnya melengkung tipis. "Apa itu, semacam barang fantasi?"
Lucy tersenyum, menggelengkan kepalanya. "Bukan. Itu adalah berlian legendaris. Pertama kali ditemukan oleh para penjelajah di Antarktika. Pemerintah Kota Brightvale menyimpannya di museum selama bertahun-tahun... sampai sekarang."
Ekspresi James menajam. "Sampai sekarang? Jangan bilang berlian itu hilang."
"Tidak juga," jawab Lucy. "Berlian itu ada di Crescent Bay. Pemerintah memutuskan untuk melelangnya."
James bersandar di kursinya, tak percaya. "Pemerintah benar-benar menjual artefak museum?"
"Ya," kata Lucy dengan sedikit anggukan. "Siapa tahu alasannya. Aku termasuk dalam tim keamanan yang mengantarnya ke sini."
Mata James menyipit. "Baiklah. Lalu apa hubungannya denganku?"
Tanpa menjawab langsung, Lucy meletakkan sebuah amplop di mejanya dan mendorongnya ke arahnya.
James mengambil amplop itu. "Apa ini?"
"Paman, memintaku memberikannya padamu," jelasnya. "Dia menerima undangan lelang ini sebagai seorang pengrajin perhiasan di Brightvale. Tapi karena dia telah menjual bisnisnya padamu, dia pikir kau mungkin akan tertarik. Jika kau dapat memilikinya, nilai brand-mu bisa meningkat."
James mempelajari amplop itu sejenak, lalu menatapnya. "Terima kasih untuk ini, Petugas Lucy. Sampaikan salamku pada pamanmu."
Lucy terkekeh pelan. "Kau tidak perlu begitu formal. Panggil saja Lucy. Aku bahkan tidak memakai seragam sekarang."
James tersenyum tipis. "Baiklah, Lucy. Apakah kau sedang tidak bertugas sekarang?"
"Ya. Tapi besok aku akan berada di lelang sebagai bagian dari tim keamanan."
Tatapan James melembut sedikit. "Oh? Berapa harga awal lelangnya?"
Lucy mengangkat bahu ringan. "Aku tidak begitu yakin. Mungkin sekitar satu juta."
James mendengus kecil. "Satu juta, benarkah? Apa yang istimewa dari batu itu?"
"Kau akan mengerti setelah melihatnya," jawab Lucy, matanya berkilat yakin.
Ketukan terdengar di pintu ruangan.
"Masuklah," ujar James.
Pintu terbuka, dan Clara melangkah masuk. "James, kau ingin bertemu?"
James berdiri sedikit, memberi isyarat. "Ya. Clara, kenalkan ini Lucy. Dia keponakan pemilik sebelumnya dari jaringan perhiasan itu."
"Dan Lucy," lanjutnya, "ini Clara. Dia yang mengelola brand perhiasannya sekarang."
"Senang bertemu denganmu, Nona Clara," sapa Lucy dengan hangat.
"Senang bertemu denganmu juga," jawab Clara dengan senyum sopan.
"Duduklah, Clara," kata James. "Lucy datang kesini dengan membawa undangan untuk lelang Heart of Frost Queen."
Mata Clara berbinar. "Aku pernah mendengarnya."
James mengangguk. "Besok kita akan pergi ke lelang itu."
Senyum Clara melebar, kegembiraan tampak jelas. "Baik, aku siap."
James kembali menatapnya. "Apa hari ini kau ada pekerjaan mendesak?"
"Tidak juga. Semua pekerjaan berjalan lancar," jawab Clara.
James melirik Lucy. "Dan kau, Lucy? Sudah makan?"
"Belum," akuinya sambil tertawa kecil.
James tersenyum tipis. "Clara, ajak Lucy makan siang. Tunjukkan Crescent Bay padanya. Jika kau tidak keberatan, Lucy."
Bibir Lucy melengkung lembut. "Aku senang ditemani."
Clara berdiri. "Baiklah, Nona Lucy. Ayo kita pergi."
Di suatu tempat dekat gedung lelang
Bangunan itu berdiri tinggi dan elegan. Orang-orang keluar masuk, staf sibuk dengan persiapan terakhir, sementara di luar kerumunan tampak biasa—namun di antara mereka bersembunyi bayangan.
Beberapa pria berbaur sempurna dengan para pejalan kaki, mata mereka tajam dan gerakannya hati-hati. Kamera tersembunyi di dalam tas dan jaket, mengambil gambar tanpa suara—setiap sudut gedung lelang, pintu, jendela, titik buta, penjaga, hingga kamera keamanan.
Seorang pria menurunkan ponselnya setelah mengambil foto pintu samping. Bibirnya melengkung tipis. "Bos, tempatnya sempurna," bisiknya lewat earpiece.
Pria lain di seberang jalan merapikan topinya, menyimpan ponselnya. "Ya. Kami siap. Tidak ada celah dalam rencananya. Aku sudah memeriksa dua kali. Aku yakin."
Suara dingin terdengar dari seberang sambungan, "Baiklah. Kembalilah sekarang. Kita akan menyelesaikan semuanya. Malam ini, kita akan mengambilnya."
Para pria itu mengangguk tipis, bergerak seperti warga biasa saat mereka melebur kembali ke kerumunan.
Semangat buat Author..