NovelToon NovelToon
TITIK NOL TAKDIR

TITIK NOL TAKDIR

Status: sedang berlangsung
Genre:Berbaikan / Spiritual / Penyesalan Suami / Duniahiburan / Matabatin / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati
Popularitas:645
Nilai: 5
Nama Author: Tiga Alif

Bara, pelaut rasional, terdampar tanpa koordinat setelah badai brutal. Menjadi Musafir yang Terdampar, ia diuji oleh Syeikh Tua yang misterius: "Kau simpan laut di dadamu."

Bara menulis Janji Terpahit di Buku Doa Musafir, memprioritaskan penyembuhan Luka Sunyi keluarganya. Ribuan kilometer jauhnya, Rina merasakan Divine Echo, termasuk Mukjizat Kata "Ayah" dari putranya.

Bara pulang trauma. Tubuh ditemukan, jiwa terdampar. Dapatkah Buku Doa, yang mengungkap kecocokan kronologi doa dengan keajaiban di rumah, menyembuhkan mereka?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 2: SUNYI PULAU: SUJUD PERTAMA SANG MUSAFIR

Kedatangan dan Pengalaman Sensorik

Bara membuka mata perlahan. Matanya terasa pedih, dipenuhi sisa-sisa air asin yang panas dan perih. Ia merasakan dingin yang menusuk tulang, jauh lebih kejam daripada dinginnya air laut itu sendiri. Dingin yang berasal dari lumpur lembap yang menyentuh kulitnya. Ia terengah-engah, bau amis bercampur busuk yang menyengat menyeruak, aroma khas dari pantai berlumpur yang dipenuhi vegetasi lebat.

Tubuhnya terasa mati rasa, nyaris tidak sadar. Ia merasakan setiap ototnya menolak untuk bergerak, sebuah kelelahan akut yang merupakan sisa dari perjuangan hidup dan mati melawan ganasnya badai. Di hadapannya, akar-akar bakau gergasi menjulang tinggi, mencengkeram tanah lembap. Akar-akar itu, yang tebal dan meliuk, tampak seperti tulang-tulang raksasa yang mencengkeram kehidupan, menjebak dirinya di antara daratan dan lautan.

Ia mengerahkan sisa-sisa tenaga terakhirnya untuk merangkak menjauh dari garis pasang yang sewaktu-waktu bisa naik dan menariknya kembali ke laut. Ia merangkak dengan penuh keputusasaan, mengabaikan goresan tajam dari cangkang dan ranting kering di lumpur.

Jangan mati. Kau harus bertahan. Bukan untuk dirimu sendiri, tapi untuk Rina. Untuk Arka. Untuk Mala. Sisa-sisa kesadaran itu adalah satu-satunya motor yang mendorongnya. Ia merasakan keterbatasan fisik totalnya.

Ia berhasil mencapai area yang lebih kering dan padat. Pandangannya menangkap pohon-pohon tinggi yang aneh, dengan ranting tebal dan daun hijau gelap kusam—Pohon Cemara Laut. Ia terengah-engah, bersandar di batang pohon tersebut. Ranting yang patah mengeluarkan getah beraroma pahit.

Aroma pahit. Seperti kepahitan keikhlasan yang harus ia terima. Ia telah kehilangan segalanya—kapalnya, pekerjaannya, janjinya kepada Rina, segala harapan material yang ia sandarkan. Ia adalah musafir yang terdampar, kini harus memulai hidup baru dari nol.

Ikhtiar Minimalis dan Sujud Pertama

Bara mulai memeriksa sisa-sisa barang yang melekat padanya. Pakaiannya basah kuyup, tetapi tas pinggangnya yang kecil masih melekat erat. Di dalamnya, Buku Doa Musafir yang sampul plastiknya robek, terselamatkan. Pensil pendek Mala yang ia berikan kepada putrinya, masih terselip di halaman pertama. Ini adalah satu-satunya alat tulis yang tersisa.

Ia hanya memiliki buku dan pensil. Tidak ada ponsel, tidak ada uang, tidak ada kompas. Hanya Tawakal Murni yang ia miliki.

Aku harus menemukan air. Aku harus menemukan tempat berteduh. Tapi lebih dari itu, aku harus menemukan keyakinan. Bara mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia harus bertahan. Ia harus mengalahkan suara-suara di kepalanya yang berbisik bahwa ini adalah akhir dari segalanya. Paranoia mulai menyerang: ia merasa ada mata yang mengawasinya dari balik rimbunnya hutan.

Ia menyandarkan buku itu di pangkuannya. Ia perlu air, tetapi yang paling ia butuhkan adalah komunikasi dengan Sang Pencipta. Ia mencari tempat untuk salat. Ia memilih area dangkal yang relatif kering, tepat di antara akar bakau yang memberinya sedikit perlindungan dari angin laut dan pandangan dari daratan. Ia mengumpulkan lumpur kering yang ia gunakan untuk tayamum.

Dengan tubuh yang gemetar, Bara melaksanakan sujud pertamanya sebagai musafir yang terdampar. Lututnya menolak untuk menopang, dahinya menyentuh tanah yang dingin dan lembap. Sujud itu bukanlah permintaan agar diselamatkan. Itu adalah penyerahan total.

“Ya Allah,” desis Bara, suaranya serak. “Aku tidak meminta diselamatkan. Aku hanya meminta Engkau menjaga hati Rina dari keputusasaan. Jaga Arka. Dan izinkan Nirmala tahu, ia adalah prioritas di tengah badai ini.”

Ia membuka Buku Doa Musafir yang setengah basah itu. Dengan pensil Mala, ia menuliskan doa singkat yang mencerminkan titik nol keimanannya: "Ya Allah, tetapkanlah hati istriku. Izinkan aku beriman tanpa bukti fisik. Jagalah Mala."

Setelah menyelesaikan salat dan menulis doa singkat itu, Bara terdiam. Ia duduk bersandar di akar bakau, mencoba menyerap sisa-sisa kedamaian dari ritual tersebut.

Tiba-tiba, ia merasakan dingin yang menusuk, bukan dingin fisik dari air, melainkan dingin yang aneh, diikuti oleh suara yang sangat samar. Suara itu bukan deburan ombak, bukan pula suara burung. Suara itu menyerupai bisikan yang sangat samar, bisikan yang terasa seperti doa yang asing. Seolah laut itu sendiri, sebagai elemen yang hampir merenggut nyawanya, kini menjadi saksi bisu atas ikhtiarnya, menggemakan kembali doa yang baru ia panjatkan.

Bara sontak membuka mata lebar-lebar.

“Siapa di sana?!” teriaknya, tenggorokannya sakit dan kering.

Tidak ada siapa-siapa. Hanya akar bakau, pasir, dan laut yang terhampar luas.

Apakah aku sudah gila? Apakah aku sedang berhalusinasi karena dehidrasi?

Bisikan itu menghilang secepat ia datang, meninggalkan Bara dengan rasa takut dan paranoia spiritual yang baru. Ia menyadari, pulau ini bukan hanya sunyi, tetapi juga menyimpan misteri yang menguji batas kewarasannya.

Di Rumah: Isolasi dan Kehilangan

Tekanan Finansial yang Nyata

Ribuan kilometer dari pulau sunyi itu, keheningan Bara terasa semakin menyakitkan bagi Rina. Beberapa hari setelah kabar Bara hilang, dan setelah ia mengalami Gema "Tenang" yang aneh, Rina harus menghadapi keruntuhan finansial yang nyata.

Tumpukan surat tagihan menumpuk di meja makan—tagihan rumah sakit Arka, tagihan listrik, tagihan bank yang harus segera dibayar. Uang tunai yang ditinggalkan Bara tidak cukup.

Rina duduk di meja, memegang kartu kreditnya. Jari-jarinya gemetar, dipenuhi ketakutan.

“Tidak ada jalan lain. Aku harus menghubungi bank,” desis Rina pada dirinya sendiri, rasa bersalah memuncak.

Ia meraih telepon. Ia harus meminta saran logis. Ia memutuskan menghubungi Bapak Herman, saudara laki-lakinya, yang selalu berpikir dengan kepala dingin, meskipun kurang empati.

“Halo, Herman. Aku butuh saranmu soal tagihan Arka,” sapa Rina, berusaha terdengar stabil.

Suara Herman di seberang telepon terdengar berat dan lugas, tanpa basa-basi.

“Sudah kuduga. Aku sudah bilang, Rina. Bara tidak mencatat apa-apa. Kau harus jual rumah ini,” Herman langsung menusuk ke inti masalah.

“Jual rumah? Mana mungkin! Ini rumah kami! Tempat Bara akan pulang!”

“Secara hukum, Bara masih mengambang. Kalau kau tidak bisa bayar tagihan Arka, kau akan dipenjara. Harjo akan datang lagi. Jual rumah ini, Rina. Pindah ke rumah Ibu, dan kita urus status hukum Bara. Itu logis.”

Rina memejamkan mata. Ia tahu Herman benar secara logika, tetapi menjual rumah adalah pengkhianatan terakhir pada Bara, seolah ia mengubur Bara hidup-hidup.

“Aku tidak akan menjual rumah ini, Herman. Aku akan cari pekerjaan.”

“Pekerjaan apa, Rina? Kau sudah lama tidak bekerja. Jangan membuang waktu. Kau hanya seorang istri. Kau tidak bisa melakukan ini sendirian. Bunda Ida sudah bilang padaku, kau mulai menunjukkan tanda-tanda tidak waras setelah Gema yang kau rasakan itu. Jangan keras kepala, Rina, demi anak-anakmu.”

“Gema apa yang kau bicarakan? Aku hanya lelah, Herman. Aku akan cari jalan keluar sendiri. Jangan pernah katakan aku tidak waras lagi!” bentak Rina, ia mengakhiri panggilan dengan cepat. Herman hanya menambah tekanan dan menguji martabatnya.

Martabat yang Terisolasi

Rina mencoba menghubungi teman-teman Bara atau rekan kerja Bara, berharap mereka bisa memberikan bantuan moral atau finansial sementara. Tetapi, respons mereka dingin dan formal.

“Maaf, Bu Rina. Kami tidak bisa membantu. Kami hanya mengenal Bara secara profesional. Dan secara hukum, statusnya belum jelas,” kata salah satu rekan Bara.

Rina merasa seolah masyarakat mulai melihatnya bukan sebagai istri yang berduka, tetapi sebagai janda dengan masalah keuangan. Ia sendirian.

Bunda Ida, seperti biasa, datang tanpa diundang. Ia melihat Rina terduduk di sofa dengan wajah pucat, dan tumpukan tagihan di meja.

“Sudah kudengar dari Herman. Kau menolak menjual rumah?” kata Bunda Ida, suaranya dipenuhi kekecewaan. “Aku sudah bilang, Rina. Jangan berinteraksi dengan siapa pun, kecuali benar-benar perlu. Masyarakat akan membicarakanmu. Kau harus mengisolasi diri sampai kau punya solusi nyata, jangan membuat malu.”

“Saya hanya berusaha mencari solusi, Bu.”

“Solusi itu ada di tanganmu, Rina. Bukan di tangan orang lain. Jual saja perhiasanmu itu. Untuk apa kau simpan? Itu hanya kenangan,” desak Bunda Ida, menunjuk kotak perhiasan di lemari.

Rina berdiri tegak, matanya memerah. "Perhiasan ini adalah hadiah dari Bara. Itu kenangan terindah kami. Saya tidak akan menjualnya. Itu adalah martabat terakhir kami."

“Ah, martabat lagi! Sampai kapan kau mau hidup dari martabat, Rina?”

“Sampai Bara pulang, Bu.”

Bunda Ida hanya mendengus dan meninggalkan Rina dalam isolasi penuhnya. Rina merasa sepenuhnya sendirian, terputus dari dunia luar, dihakimi, bahkan dalam keramaian rumahnya yang dipenuhi dua anaknya.

Rina duduk di sofa, merasakan kelelahan yang luar biasa. Ia adalah satu-satunya tiang yang tersisa di rumah ini, dan ia merasa tiang itu mulai retak. Ia berjalan ke ruang tengah dan melihat Arka.

Arka dan Baju Ayah

Arka, putranya yang berusia delapan tahun, sedang tenang di sudut, tetapi hanya saat memeluk baju Bara, jaket pelaut usang yang baru dicuci tetapi masih membawa aroma khas suaminya. Arka memeluk jaket itu erat-erat, matanya terpejam.

Rina berlutut di sebelah Arka. Ia menyentuh kepala Arka dengan lembut.

“Sayang, kenapa tidak main dengan mainanmu?” tanya Rina lembut.

Arka tidak merespons secara verbal, tetapi ia menggenggam kain jaket Bara lebih erat, seolah jaket itu adalah jimat pelindung.

Rina membandingkan Arka dengan Mala. Ia merasa Mala jauh lebih mudah diurus karena Mala dapat menyendiri, sibuk menggambar di sudut kamarnya. Sementara Arka membutuhkan perhatian yang konstan, kebutuhan fisiknya sangat nyata. Biaya terapinya, tagihan rumah sakitnya, semua itu sangat mendesak. Rina menyadari bahwa tanpa sadar, ia kembali memprioritaskan Arka dan masalah finansial yang Arka bawa. Ia melupakan Mala yang diam-diam menyendiri, merasakan luka inti yang paling sunyi di antara hiruk pikuk krisis keluarga.

Rina beranjak, berjalan ke kamar Mala. Mala sedang serius menggambar di buku gambarnya.

“Mala, Sayang. Kau sedang apa?”

Mala tidak menoleh, hanya menjawab pelan. “Menggambar Ayah, Bu. Tapi aku lupa wajah Ayah.”

Kalimat polos itu menghantam Rina telak.

“Ayah pergi terlalu cepat, Bu. Ibu selalu fokus pada Arka dan Ibu bilang Ayah harus mencatat uang. Tapi Ayah tidak pernah mencatat Mala,” kata Mala, suaranya dipenuhi luka tersembunyi.

Rina memeluk putrinya erat-erat. “Maafkan Ibu, Sayang. Itu tidak benar. Kau adalah yang paling penting. Ayah pergi bukan karena Ayah melupakanmu.” Rina menyadari bahwa isolasi sosial dan tekanan finansialnya telah menciptakan celah emosional yang menganga di hati putrinya.

“Benar, Bu?” tanya Mala, mendongak, mencari kepastian.

“Benar, Sayang,” janji Rina, meskipun ia tahu ia telah berulang kali gagal menjadi tiang rumah yang kokoh bagi Mala.

Malam itu, Rina duduk di meja, dikelilingi oleh tumpukan surat tagihan. Ia menatap ponselnya, yang seharusnya ia gunakan untuk menghubungi bank atau mencari pekerjaan daring, tetapi ia malah memegang foto Bara di ponselnya.

Ia mengingat Gema "Tenang" yang samar dan sentuhan dingin aneh yang ia rasakan. Ia tahu ia tidak boleh menceritakan keanehan itu kepada siapa pun. Ia takut dicap gila.

Aku harus menemukan bukti. Aku harus menemukan logika di balik keyakinan ini. Jika aku gila, maka aku gila demi Bara.

Ia menatap foto Bara. Wajah Bara terlihat tenang, seolah tahu semua rahasia takdir. Ia kembali merasakan sentuhan dingin aneh yang sangat samar di punggungnya.

Rina tidak mampu menahan diri. Ia berbisik, suaranya nyaris hilang di dalam keheningan rumah.

“Kau ada di mana, Bar? Apa kau juga sedang berbisik?”

Ia mengambil Buku Doa Musafir Bara dari laci dan membukanya. Ia menatap tulisan tangan Bara yang baru ia temukan: "Ya Allah, tetapkanlah hati istriku. Izinkan aku beriman tanpa bukti fisik. Jagalah Mala."

Ia tahu, Bara di kejauhan sedang berjuang. Dan ia harus menemukan jalan untuk melawan isolasi dan kritik yang menggerogotinya. Ia harus menemukan koordinat baru, koordinat spiritual.

1
Kartika Candrabuwana
bab 26 keren
Kartika Candrabuwana
bsb 25 keten
Kartika Candrabuwana
bab 24 keren😍
Kartika Candrabuwana
bab 23 keren😍👍
Kartika Candrabuwana
bab 22 ok👍
Tulisan_nic
Belum baca keseluruhan isi novel ini,tapi dari awal baca sudah mendapat banyak pelajaran tentang tawakal sesungguhnya,semangat berkarya Author.Aku kasih rate 5 biar semakin bersemangat /Rose//Rose//Rose//Rose//Rose/
Kartika Candrabuwana: terima kasih. 😍👍
total 1 replies
Kartika Candrabuwana
iya betul😍
Tulisan_nic
Definisi ikatan batin suami istri
Kartika Candrabuwana: betul sekali
total 1 replies
Tulisan_nic
Ketika ujian hidup terasa sangat sulit😭
Kartika Candrabuwana: anak autis sungguh ujian yang berat/Sob/
total 1 replies
Kartika Candrabuwana
bab 21 luar biasa.
Kartika Candrabuwana
istri yang tegar😍👍
Kartika Candrabuwana
kasihan sekali. semangat bara💪
Tulisan_nic
semakin seru,semangat Thor🫶
Kartika Candrabuwana: ok..semangat👍
total 1 replies
Tulisan_nic
semoga mustajab Do'a seorang Bapak
Kartika Candrabuwana: amiin👍
total 1 replies
Tulisan_nic
Titik pencapaian paling sakral
Kartika Candrabuwana: tawakal total
total 1 replies
Tulisan_nic
Benar adanya,setiap orang yang merasa ajal di depan mata yang terfikirkan adalah bagaimana ia memperlakukan orang-orang yang di cintainya. Semangat Bara...kau akan menemukan daratan!
Kartika Candrabuwana: saya coba menyentuh hati tiap pembaca🙏
total 1 replies
Kartika Candrabuwana
luar biasa teguh👍😍🤣
Kartika Candrabuwana
kalinat yang sangat menyenuh hati/Sob//Sob/😍👍
Kartika Candrabuwana
bab 20 ok👍
Kartika Candrabuwana
bab 19 ok
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!