Sangkara, seorang pemuda yang menjadi TKI di sebuah negara. Harus menelan pil pahit ketika pulang kembali ke tanah air. Semua anggota keluarganya telah tiada. Di mulai dari abah, emak dan adek perempuannya, semuanya meninggal dengan sebab yang sampai saat ini belum Sangkara ketahu.
Sakit, sedih, sudah jelas itu yang dirasakan oleh Sangkara. Dia selalu menyalahkan dirinya yang tidak pulang tepat waktu. Malah pergi ke negara lain, hanya untuk mengupgrade diri.
"Kara, jangan salahkan dirimu terus? Hmm, sebenarnya ada yang tahu penyebab kematian keluarga kamu. Cuma, selalu di tutupin dan di bungkam oleh seseroang!"
"Siapa? Kasih tahu aku! Aku akan menuntut balas atas semuanya!" seru Sangkara dengan mata mengkilat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon apriana inut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2
Sangkara di ajak oleh abah ke persawahan. Walau dalam situasi malam nan gelap, dia serta abah sama sekali tidak merasa kesulitan melewati sawah-sawah yang baru saja di tanamin. Kakinya hapal mana yang harus diinjak, mana yang tidak.
“Bah, kita ngapain ke sawah? Abah tidak melakukan apa-apa kan? Abah tidak melakukan yang aneh-aneh kan? Kayak…”
“Husss, jangan ngomong sembarangan! Abah dan emak mu tidak melakukan yang ada di pikiran mu!”
“Ya, kali aja, bah!” sahut Kara menyengir.
Kaki mereka terus melangkah hingga tiba di sebuah gubuk. “Kara, nanti kalau aku sudah pulang. Dan kamu pengen tahu sesuatu. Datang saja ke sini. Di sini ada jawabannya!”
“Maksudnya, bah? Kenapa abah tidak kasih tahu aku sekarang?”
“Sekarang belum tepat wakunya, nak. Pokoknya abah dan emak menyimpan semaunya di sini ya? Dan kamu di negeri orang harus hati-hati. Jaga diri mu kamu, jangan samapi terluka atau sakit!”
“Iya, bah,” sahut Kara menganggukkan kepalanya.
“Bagus, ayoo kita pulang!” ajak abah membalikkan badannya hendak meninggalkan tempat itu.
“Loh bah, cuma kayak gini saja? Abah cuma nunjukkin gubuk ini saja? Tidak ada yang lain?”
Dahi abah mengernyit, matanya menyipit menatap lekat Sangkara, “kamu mengharapkan apa, Kara? Mengharapkan abah tunjukkan tempat sajen atau peliharaan jin gitu?”
Sangkara menggaruk kepalanya yang tidka gatal, “ya gak sih, bah! Cuma kan kalau kayak gini, abah bisa ngomong di rumah. Tanpa harus kita ke sini.”
“Kalau kita ke sini, kamu tidak akan tahu tempatnya, Kara!”
“Kamu tidak usah banyak protes! Ayo, balik! Tapi kalau kamu mau diam di sini sampai besk pagi sih gak masalah. Abah tetap akan pulang.”
“Aku ikut, bah!”
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Dua hari kemudian, tibalah hari keberangkatan Sangkara dan dua temannya untuk menjadi TKI di Jepang. Mereka akan di tamping dulu di Jakarta lalu berangkat bersamaan dengan para tenaga kerja lainnya.
Keberangkatan mereka diiringi isak tangis keluarganya. Walau sudah mendapatkan ijin dan restu, tapi tetap saja keluarga mereka berat melepaskan tiga pemuda tersebut. Apalagi mereka sering mendengar bahwa banyak tenanga kerja Indonesia yang di perlakukan tidak baik hingga menjadi korban penjualan organ.
Setelah berpamitan, bersalaman, bertangisan, bis yang mengangkut Sangkara, Dika dan Arif mulai melaju pelan meninggalkan terminal. Lambaian tangan, serta senyuman penuh bangga, menjadi pelepasan terakhir dari keluarga Sangkara. Seakan bisa membaca takdir kedepannya, kedua orangtua Sangkara tidak melepaskan pandangannya dari bis yang membawa anaknya. Bahkan mereka mengejar bis tersebut sampai ke jalan raya
“Emak, abah… Tunggu aku pulang,” gumam Sangkara meneteskan airmatanya melihat kedua orangtuanya seakan tidak ingin pisah dari dirinya.
“Emak, abah sayang banget sama kamu, Kar! Ayoo, kita semangat! Kita harus sukses biar menjadi kebanggaan orangtua kita!” seru Dika .
“Semangaaat!!!” sahut Arif tak kalah semangatnya. Sementara Sangkara masih menatap kedua orangtuanya yang semakin lama semakin tidak terlihat. Tangannya terangkat mengusap kedua pipinya yang basah.
“Semangaaat!!!” seru Sangkara menatap kedua temannya dengan penuh keyakinan.
Tiga pemuda dari kabupaten yang mulai beranjak dewasa sudah siap menghadapi pahitnya dunia. Mereka siap berjuang demi membahagiakan orangtua serta demi mewujudkan cita-cita mereka. Mulai sekarang tidak ada lagi ada airmata yang mengalir karena kepedihan, kesusahan ataupun kesulitan. Mereka bertekad akan mengeluarkan airmata ketika orangtuanya bangga dan senang dengan keberhasilan mereka.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun pun ikut berganti. Dua sahabat Sangkara bernama Arif dan Dika sudah kembali dari perantauan. Mereka hanya berkerja tiga tahun saja. Sedangkan Sangkara, tidak ada kabarnya sampai sekarang. Karena sejak tiba di negara yang terkenal dengan gunung Fujinya itu, Sangkara di tempatkan di perusahaan yang berbeda dengan dua sahabatnya. Jika Dika dan Arif di tempatkan di kota A, sementara di kota C. Jarak antar kota tersebut sangat jauh, sehingga sangat jarang mereka bertemu ataupun sekedar komunikasi.
Emak dan abah yang melihat kepulangan kedua sahabat anaknya, hanya bisa menelan kepahitan saja karena anaknya tidak pulang. Apalagi setelah mendengar penjelasan dari dua sahabat Sangkara, semakin membuat mereka menjadi sedih.
“Tapi, bah. Uang kiriman dari Kara masih lanjut kan? Kalau masih lanjut mah, berarti Kara masih baik-baik saja,” ujar Dika.
“Masih. Dik. Walau tidak teratur tiap bulannya. Tapi pas bulannya berikutnya, Kara kirim double.”
“Alhamdulillah kalau kayak gitu mah, bah. Berarti si Kara masih baik-baik saja. Aku dan Arif sudah pernah coba ke kota C, tapi yaaa gitu kami tidak ketemu Kara. Maaf ya, bah?”
“Tidak apa-apa, nak. Mungkin Kara masih betah di sana! Ya sudah, abah dan emak pamit dulu ya?”
“Iya, bah. Hati-hati…!”
Sepasang suami istri yang sangat merindukan anak pertamanya kembali pulang dengan wajah lelah dan sedih. Semua yang mereka rasakan, hanya bisa di pendam dalam hati. Sambil berharap anak pertamanya segera pulang, atau setidaknya mengabari mereka walau hanya lewan pesan teks.
Tiba di rumah, suasana rumahnya terasa sangat berbeda. Tidak ada bunyi hewan yang terdengar di sekitar rumah. Seolah semuanya pergi menjauh karena takut sesuatu.
“Bah…?”
“Hanya perasaan kita, mak. Lagian Rara kan ada di rumah, dia lagi belajar.”
Emak Lilis menganggukkan kepalanya. Dia melangkah terlebih dahulu masuk ke dalam rumah, namun saat berhasil membuka pintu. Tubuh emak Lilis tersentak mundur beberapa langkah. Matanya terbelalak, lidah kelu, ingin berteriak pun dia tidak mampu.
“Emak, apa apa???”
Tanpa menjawab, emak Lilis mengangkat tangan kanannya. Menunjuk lurus kearah anak perempuannya yang terbujur di lantai dengan cairan merah mengenang di sekitarnya.
“RARA???” teriak abah Dadang.
Dia berlari masuk ke dalam rumah untuk melihat dan menyelamatkan anaknya. Namun, ketika beberapa langkah kakinya melangkah masuk. Dari arah samping, dua orang laki-laki menghunuskan senjata tajam. Dan menunjam tubuh abah dengan membabi buta.
Emak Lilis yang melihat suaminya di buat seperti itu tidak bisa melakukan apa-apa. Dia hanya terpaku, terdiam. Untuk berteriak saja dia tidak mampu, apalagi untuk kabur.
Akhirnya, emak Lilis pun menjadi korban selanjutnya. Namun, yang lebih parahnya dia rudapaksa dulu sebelum akhirnya bernasib sama seperti anak dan suaminya.
“K-ka-ka-raa…” lirih emak sebelum menghembuskan napas terakhir.
Apa yang terjadi pada keluarga kecil itu, tidak di ketahui oleh warga sekitar. Para tetangga yang jaraknya tidak begitu jauh, seperti tidak mendengar apa-apa. Mereka seperti lelap dalam tidurnya. Padahal saat menemui Dika, sekitar rumah Dika masih sangat ramai. Orang-orang pun banyak yang berlalu lalang. Namun, suasana berubah 180˚, ketika mendekati rumah Sangkara. Benar-benar sunyi, hanya suara lolongan Anjing yang terdengar dari kejauhan.
Esok paginya, desa tempat tinggal keluarga kecil itu mulai gempar dengan apa yang terjadi pada keluarga Sangkara. Warga desa benar-benar sangat terkejut, apalagi Dika yang malam tadi baru bicara dan ngobrol dengan kedua orangtua sahabatnya.
“Bagaimana ini pak Kades? Apa kita lapor polisi?”
Laki-laki yang di panggil pak kades menggelengkan kepalanya, “tidak usah. Kalau lapor polisi, desa kita di cap tidak baik. Padahal baru tiga bulan yang lalu desa kita dapat penggargaan dari bupati sebagai desa teraman. Kalau kejadian ini sampai terdengar atau menyebar ke orang lain, saya takut penghargaan itu di tarik kembali.”
“Ta-tapi, pak!”
“Sudah, nurut saja! Ayoo, kita goyong royong makamkan keluarga pak Dadang dengan baik. Setelah itu semuanya tutup mulut! Jika ada yang nanya penyebab kematian keluarga pak Dadang, bilang saja karena kecelakaan. Paham???”
Semua warga yang berkumpul di rumah keluarga Sangkara mengangguk pelan. Mereka tidak berani protes dengan apa yang di katakan oleh kepala desa mereka. Karean di desa itu yang berkuasa adalah kepala desa.
Semangat untuk authornya... 💪💪