Aku sering mendengar orang berkata bahwa tato hanya diatas kulit.
“Jangan bergerak.”
Suara Drevian Vendrell terdengar pelan, tapi tegas di atas kepalaku.
Jarumnya menyentuh kulitku, dingin dan tajam.
Ini pertama kalinya aku ditato, tapi aku lebih sibuk memikirkan jarak tubuhnya yang terlalu dekat.
Aku bisa mencium aroma tinta, alkohol, dan... entah kenapa, dia.
Hangat. Menyebalkan. Tapi bikin aku mau tetap di sini.
“Aku suka caramu diam.” katanya tiba-tiba.
Aku hampir tertawa, tapi kutahan.
Dia memang begitu. Dingin, sok datar, seolah dunia hanya tentang seni dan tatonya.
Tapi aku tahu, pelan-pelan, dia juga sedang mengukir aku lebih dari sekadar di kulit.
Dan bodohnya, aku membiarkan dia melakukannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reenie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keliling Studio Naik Taksi
Hari ini aku bangun dengan pikiran random. Entah kenapa, bayangan tato kecil di lengan perempuan terus berada di kepalaku. Bukan karena ingin terlihat keren. Aku hanya merasa ada bagian dari diriku yang ingin ‘ditandai’. Seolah tubuhku belum lengkap tanpa seni di atas kulit.
Aku membuka Instagram, scroll random sambil ngopi di sudut toko buku. Beberapa konten muncul, tangan dengan tato bunga, punggung dengan gambar kupu-kupu, dan entah kenapa, itu terlihat indah.
“Ya ampun, apa aku sebegitu bosannya sampai mikir kalau aku mau ditato?” aku tertawa sendiri.
Livia, temanku, lewat dan menepuk pundakku, “Kalau mau ditato, jangan ke tempat yang sembarangan. Nanti nyesel.” Dia berlalu begitu saja, meninggalkan aku yang mendadak serius memikirkan omongannya.
"Dia memang cerewet. Huh!" gerutunya.
Hari ini pelanggan datang lumayan banyak. Ada beberapa yang membaca buku disudut dan ada yang langsung membeli. Orang-orang menyukai tempat itu karena estetikanya. Banyak buku yang menarik perhatian. Mulai dari novel, non fiksi, cerita rakyat dan bahkan filsafat.
Setelah beberapa menit nge-scroll, Liora memutuskan untuk keluar. Liora ingin pergi diam-diam tapi mata Livia sangat tajam.
"Oi, kau mau kemana?" tanyanya sambil mengangkat satu alis."
Liora terdiam.
"Ohh jangan-jangan kau mau ke tempat tato itu ya. Emang kamu berani sendirian?" tanyanya
"Iya, aku berani. Kamu jaga toko aja ya."
Livia mengernyit
"Ya." ucapnya singkat
Liora keluar dari toko bukunya, menunggu taksi datang. Taksi pertama yang lewat langsung disetop.
“Studio tato yang bagus, Pak. Tapi jangan yang rame atau aneh-aneh.”
Pak Roni, sopir taksi, cuma tertawa. “Baik, Non. Kita keliling dulu ya.”
*Studio Pertama Tempat Hits, Tapi Norak*
Studio pertama ada di tengah kota, penuh dengan neon warna-warni. Saat aku masuk, suara musik EDM menghentak keras di telinga.
Seorang pegawai dengan rambut dicat ungu neon menyapaku, “Halo Kak! Mau desain cute atau yang badass?” Senyumnya lebar, terlalu ramah, membuatku merasa ini bukan tempatku.
"Aku cuma berkeliling sebentar. Terlalu ramai. Terlalu “pamer”. Terlalu bukan aku" ucapnya dalam hati.
Liora keluar sambil menghela napas. Pak Roni yang menunggu di depan langsung buka pintu taksinya.
“Gimana, Non?”
Aku hanya menggeleng.
“Kita coba cari lagi ya, Pak.”
*Studio Kedua Tempat Underground yang Suram*
Studio berikutnya ada di gang kecil, tempatnya gelap dengan lampu remang. Dindingnya penuh grafiti.
Interiornya membuat bulu kudukku merinding.
Seorang pria dengan tato penuh di wajahnya menyapaku. “Cari desain yang garang? Sini, duduk dulu.”
Aku tersenyum kaku, “Makasih, pak. Saya lihat-lihat dulu.”
Tapi suasananya membuatku tidak nyaman. Ada bau rokok yang menyesakkan, dan suasana yang tidak ramah. Di pojokan, sekelompok pria sedang tertawa keras sambil melihat-lihat foto di HP. Pria itu juga menggoda Liora sambil menjilat bibirnya. Tentu saja Liora jijik.
"Tidak. Ini bukan tempat yang kucari." ujarnya dalam hati.
Liora buru-buru keluar, kembali ke taksi. Lelaki yang disudut tadi membuat pikiran Liora melayang-layang. Dia ingin muntah disitu juga.
"Ada apa Non?" tanya pak supir
"Eh, tidak pak. Saya hanya merasa tidak cocok aja ditempat tadi." ucapnya canggung
Pak Roni mengangguk. Sebenarnya beliau tadi melihat kalau gadis ini digoda oleh beberapa pria yang disudut makanya dia merasa risih bahkan tidak nyaman.
"Tadi para pria itu mengganggu, ya?" tanya Pak Rino seolah tak tahu
"Iya pak. Aku tentu saja tidak tertarik." ucapnya menahan tawa.
*Studio Ketiga Studio Keren, Tapi Tukang Tatonya Genit*
Studio ketiga lebih bagus. Interiornya minimalis, bersih, dan penuh pajangan artistik. Aku sempat berpikir, “Mungkin ini tempatnya.”
Tapi harapan Liora pupus saat seorang pria dengan rambut slick-back mendekat.
“Tato kecil di pergelangan tangan? Cocok banget buat kamu. Tapi kalau mau, aku punya tempat yang lebih ‘rahasia’.” Nada suaranya membuat Liora ilfeel.
Aku langsung paham arah pembicaraannya.
Aku pamit dengan sopan, tapi dalam hati mendesah keras. Tapi pria itu seolah memaksa Liora untuk menetap di tokonya dan jangan pergi.
Pria itu mendekat dan ingin menarik lengan Liora tapi dia langsung lari ke dalam taksi.
"Huh... hampir saja." ucapnya khawatir.
Pak Roni tertawa pelan.
"Itulah, Non. Sebagian para seniman tato memang genit. Jadi kita harus mencari yang benar-benar, Non."
"Sepertinya bapak udah banyak tahu tentang tato dikota ini."
"Iya, Non. Banyak penumpang saya yang pergi ke toko tato. Dari ketiga yang kita jalani tadi, penumpang saya sudah merasakannya dan kata mereka baik-baik saja." ucap Pak Roni
"Hah? Serius tempat se-ekstrem itu udah dijalani banyak orang?" gerutunya dalam hati.
Tiba-Tiba, ada satu tempat lagi. Pak Roni melirikku lewat kaca spion.
“Kayaknya selera Nona bukan yang mainstream ya?”
Aku tertawa pelan. “Iya, Pak. Kayaknya aku salah pilih semua.”
"Hehe, iya pak." ucapnya
"Kalau boleh tahu, kenapa Non ingin sekali memakai tato?" tanya Pak Roni penasaran.
Liora terdiam sejenak.
"Aku hanya penasaran, Pak. Setidaknya gambar sedikit aja dilengan." ucapnya
Pak Roni mengangguk. Menganggap gadis ini sedikit unik. Biasanya para gadis lain suka dengan tempat yang ekstrem seperti itu. Tapi gadis ini tidak. Lagian wajahnya kelihatan polos.
Pak Roni mengetuk setir pelan, berpikir.
“Ada satu tempat lagi. Tapi itu agak beda. Bukan tempat orang sembarangan. Tahu The Vendrell Tattoo House?”
Aku mengernyit. “Vendrell? " Nama Toko itu tidak asing ditelingaku. Apa jangan-jangan itu adalah toko yang aku lihat di instagram.
Pak Roni tersenyum samar
“Itu tempat yang orang bilang bukan cuma soal tato. Tapi soal siapa yang pantas."
Liora tertarik.
“Baiklah, Pak. Ayo ke sana.”
Pak roni menyetir ke arah toko Tato Vendrell, toko yang disukai banyak wanita karena senimannya terkenal kaya raya dan ganteng.
*Sampai di Depan The Vendrell Tattoo House*
Mobil berhenti di depan sebuah bangunan minimalis.
Tak ada plang besar. Tak ada spanduk promosi.
Hanya sebuah pintu kayu gelap dengan ukiran kecil
“The Vendrell Tattoo House.”
Aku turun pelan. Entah kenapa, jantungku berdetak lebih cepat.
Tempat ini sunyi. Tidak ada suara musik. Hanya ada perasaan seolah aku sedang melangkah ke tempat yang tak semua orang bisa masuk.
Liora menatap pintu kayu itu. Menarik napas. Dan mendorongnya perlahan. Ukiran kecil itu masih sama seperti di foto-foto Instagram. Nyata. Lebih nyata dari ekspektasiku. Liora turun pelan.
Jantungnya berdegup cepat, bukan karena takut, tapi karena perasaan aneh yang sulit dijelaskan.
Tempat ini tidak memintaku untuk datang.
Tapi juga tidak mengusirku. Seolah-olah hanya menunggu apakah aku berani melangkah lebih dekat.
Liora menatap pintu kayu itu. Menarik napas. Dan mendorongnya perlahan.