Nayla dan Dante berjanji untuk selalu bersama, namun janji itu pudar ketika Nayla mendapatkan pekerjaan impiannya. Sikap Nayla berubah dingin dan akhirnya Dante menemukan Nayla berpegangan tangan dengan pria lain. Hatinya hancur, tetapi sebuah kecelakaan kecil membawanya bertemu dengan Gema, kecerdasan buatan yang menjanjikan Dante kekayaan dan kekuasaan. Dengan bantuan Gema, Dante, yang sebelumnya sering ditolak kerja, kini memiliki kemampuan luar biasa. Ia lalu melamar ke perusahaan tempat Nayla bekerja untuk membuktikan dirinya. Dante melangkah penuh percaya diri, siap menghadapi wawancara dengan segala informasi yang diberikan Gema.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khusus Game, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hal yang tak terduga
Pintu tertutup. Freya berbalik, menatap ayahnya dengan sorot mata yang penuh pertanyaan. Ayahnya, George, tetap berdiri di sana dengan raut wajah dingin.
"Siapa pemuda itu?" tanya George.
"Dia... seorang teman," jawab Freya, nadanya sedikit ragu.
"Ayah tahu, temanmu tidak pernah mengantar sampai ke depan pintu," kata George, tatapannya tidak berubah. "Apa hubungannya dengan Gemagroup?"
Freya terkejut. "Ya, Ayah benar," kata Freya, kini suaranya lebih tegas. "Dia adalah pendiri Gemagroup, perusahaan teknologi yang Ayah lihat tadi."
George menghela napas panjang. Ia mengambil langkah mendekat, menatap putrinya lekat-lekat. "Ayah melihat bagaimana kamu melindunginya barusan," ucap George. "Ayah tidak buta, Freya. Ayah tahu kamu menyukainya."
Freya menunduk, tidak bisa membantah. "Ayah tahu, Ayah tidak pernah peduli dengan kekayaan atau kedudukan," lanjut George, suaranya melembut, tetapi tetap penuh ketegasan. "Yang Ayah inginkan hanyalah melihatmu bahagia, dan Ayah ingin melihat pria yang tulus mencintaimu, bukan hanya sekadar tertarik pada keberhasilanmu atau memanfaatkan kekayaan kita."
Freya mendongak, menatap ayahnya dengan mata berani. "Aku tidak akan bilang bahwa Dante adalah pria yang tulus," katanya. "Dan Ayah tidak akan tahu jika Ayah tidak mencobanya sendiri."
George terdiam, menatap putrinya. "Apa maksudmu?" tanyanya.
"Uji saja dia, Ayah," jawab Freya, matanya menantang. "Ayah bisa melihatnya sendiri apakah Dante adalah pria yang tulus atau tidak. Ayah yang selalu mengajariku untuk tidak menilai buku dari sampulnya."
Tiba-tiba, seorang wanita muncul dari dapur, membawa nampan berisi dua cangkir teh. Ia meletakkannya di meja samping dan mengelus lembut rambut Freya. "Putri Ayah sudah dewasa," bisik wanita itu, suaranya hangat dan penuh kasih. "Dia bisa menentukan pilihan hatinya sendiri."
George menatap istrinya, Rani, lalu kembali menatap Freya. Wajahnya tetap tegang, tetapi ada sedikit keraguan di matanya. "Biar bagaimanapun, Ayah tetap tidak akan lepas tangan begitu saja," kata George. "Ayah akan mengujinya."
Di jalan, Dante menyalakan mobilnya, lalu menyetir menuju kantor. Di tengah jalan, Dante terdiam sejenak. "Gema, kamu sudah bisa bicara?" tanyanya.
[Tentu, Dante. Aku sudah bisa berbicara sejak tadi, tapi aku mengamati interaksi antara kau dan Freya. Aku ingin kau fokus pada dirinya dan menikmati momen kebahagiaanmu.]
"Terima kasih, Gema. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi," ucap Dante.
[Aku tahu kau membutuhkanku, Dante. Aku di sini untuk membantumu.]
"Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang?"
[Kita akan kembali ke kantor dan merumuskan rencana baru untuk Gemagroup. Kita akan membuat perusahaan ini jauh lebih besar dari yang pernah kau bayangkan.]
Dante mengangguk. George tidak akan mudah menyerah, tetapi ia tahu bahwa ia juga tidak akan menyerah. Ia akan berjuang demi Freya. Ia akan membuktikan bahwa ia layak untuknya, bahwa ia memiliki visi, ambisi, dan hati yang tulus.
"Baik, Gema. Mulai sekarang, Gemagroup tidak hanya menjadi perusahaan besar, tapi akan menjadi perusahaan yang tak terkalahkan."
[Itu adalah ambisi yang bagus, Dante. Aku suka itu.]
Dante awalnya berencana untuk pergi ke kantor keesokan harinya, tetapi pertemuannya dengan George mengubah segalanya. Ia memutar stirnya kembali, menuju ke kantor, dan mulai merumuskan strategi berikutnya. Ia akan menunjukkan kepada George, kepada dunia, bahwa ia layak mendapatkan Freya. Dante bekerja hingga larut malam.
Setelah berjam-jam berkutat dengan strategi masa depan Gemagroup, Dante memutuskan untuk pulang. Mobilnya melaju pelan di jalanan yang sudah sepi. Tiba-tiba, sebuah truk besar melaju dari arah berlawanan, dengan kecepatan tinggi menabrak mobilnya. Dante tak sadarkan diri seketika.
Keesokan harinya, saat Freya bersiap untuk berangkat bekerja, ia menerima telepon dari Sinta. Freya mengerutkan kening. "Ada apa, Sinta? Suaramu terdengar panik."
"Ini tentang Dante," jawab Sinta. "Dia... dia di rumah sakit elit di pusat kota."
"Apa?! Ada apa dengannya?" Freya merasakan jantungnya berdebar kencang.
"Dia mengalami kecelakaan. Mobilnya ditabrak truk besar dan dia sekarang koma," jelas Sinta, suaranya bergetar. "Aku tahu ini semua aneh. Polisi juga bilang begitu."
"Aneh bagaimana?" tanya Freya, suaranya tercekat.
"Kata Bram, saat dia di sana, posisi Dante sudah seperti itu," ucap Sinta. "Si sopir sudah tidak ada dan melarikan diri. Tidak ada nomor plat di truk itu."
"Polisi sudah menyelidiki?" tanya Freya.
"Ya, mereka sudah ke lokasi, tapi tidak ada bukti jelas. Seperti ada yang membersihkan area itu sebelum mereka tiba," jawab Sinta, suaranya terdengar frustrasi.
"Terima kasih, Sinta," ucap Freya, suaranya lemah. "Aku harus pergi ke sana sekarang."
"Aku ikut denganmu," kata Sinta.
"Tidak, aku akan pergi sendiri," jawab Freya. "Kau di sana saja, hubungi aku jika ada berita."
Tanpa menunggu jawaban Sinta, Freya menutup telepon dan bergegas pergi. Ia mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, menuju rumah sakit tempat Dante dirawat.
Freya tiba di lobi rumah sakit dengan jantung berdebar kencang. Setelah bertanya pada resepsionis, ia bergegas menuju ruang rawat inap Dante. Di sana, sudah ada Kania, Dimas, dan ibunda Dante, Hani. Mereka semua tampak tegang dan khawatir. Banyak selang menempel di tubuh Dante, membuatnya terlihat begitu lemah dan tak berdaya di ranjang rumah sakit.
Freya mendekat, dan Hani, yang menyadari kehadirannya, menyambutnya dengan pelukan hangat. "Freya, Nak," bisik Hani, suaranya penuh kesedihan.
Kania, yang berdiri di samping Hani, juga memeluk Freya. "Dante sering menceritakan tentang kamu," kata Kania, matanya berkaca-kaca. "Dia bilang kamu adalah orang yang paling kuat dan cerdas yang pernah dia temui."
"Bukan, Kania," timpal Dimas, yang berdiri di samping ranjang. "Dante bilang, 'Freya adalah kekasihku.'"
Hani menatap Kania dan Dimas, lalu menghela napas panjang. "Nak," katanya, suaranya lembut, "biarkan Freya sendiri dengan Dante."
"Tapi Ibu..." protes Kania.
"Tidak apa-apa, Nak," potong Hani, senyumnya meyakinkan. "Berikan mereka waktu." Hani melirik Freya, dan Freya mengangguk sebagai tanda mengerti.
Hani mengajak Kania dan Dimas keluar ruangan, meninggalkan Freya sendirian dengan Dante. Pintu tertutup di belakang mereka, menyisakan keheningan yang hanya diisi oleh suara mesin medis yang berdetak.
Freya berjalan mendekat ke ranjang, matanya menatap Dante yang terbaring tak berdaya. Ia menggenggam tangan Dante, merasakan dinginnya kulitnya. "Dante," bisik Freya, suaranya bergetar. "Aku tidak tahu siapa yang melakukan ini, tapi aku bersumpah aku akan menemukannya." Air matanya menetes, jatuh di atas tangan Dante. "Aku akan mencarinya, dan dia akan membayar semua yang telah dia lakukan padamu."
Di luar, di koridor rumah sakit, Dimas tampak gelisah. Ia berdiri bersandar pada dinding, matanya tertuju pada selembar surat yang dipegangnya. Saat Kania menghampirinya, ia dengan cepat menyembunyikan surat itu ke dalam saku jaketnya.
"Kamu kenapa, Dim?" tanya Kania.
"Tidak apa-apa," jawab Dimas, suaranya terdengar tegang. "Aku hanya sedang berpikir."
Kania menyadari perubahan sikap Dimas, tetapi ia memilih untuk tidak bertanya lebih lanjut. Ia menatap pintu ruang rawat Dante, berharap sahabatnya segera sadar.