Beberapa orang terkesan kejam, hanya karena tak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Kata-kata mengalir begitu saja tanpa mengenal perasaan, entah akan menjadi melati yang mewangi atau belati yang membuat luka abadi.
Akibat dari lidah yang tak bertulang itulah, kehidupan seorang gadis berubah. Setidaknya hanya di sekolah, di luar rumah, karena di hatinya, dia masih memiliki sosok untuk 'pulang' dan berkeluh kesah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bulbin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1. Suasana baru
Hari masih pagi, embun di pucuk dedaunan menggantung santai, enggan jatuh ke tanah. Kokok ayam jantan saling bersahutan, begitu juga dengan kicau burung yang bernyanyi riang di ranting dan dahan.
Di sebuah rumah sederhana, dengan halaman yang asri penuh warna warni bunga, terdengar teriakan seorang wanita sembari terus mengetuk bahkan menggedor pintu kamar anaknya.
"Nayna! Bangun, Nak. Nanti kamu telat, ini udah siang!"
Sementara seorang pria dengan kaos oblong dan sarung kotak-kotak, datang membawa secangkir teh hangat dari dapur. Tersenyum saat melewati istrinya yang masih berkacak pinggang.
"Masih pagi, Nay. Gerbang sekolah juga belom dibuka, tidur aja dulu, nanti setengah tujuh Ayah bangunin!" teriaknya sambil lalu. Membuat sang istri semakin kesal dan melempar kain serbet yang sejak tadi bertengger di bahunya. Dia mengikuti langkah suaminya sampai di teras dengan mulut terus mengomel tiada henti.
"Ssst ... Jangan sekarang, Bu," bisik pria itu -Rahmat. Sedangkan istrinya mengeryit heran, "kenapa?"
Rahmat menarik lengan istrinya lalu berbisik, "Ayah belum cetak tiket buat konser tunggalmu."
Tak perlu ditanya, keributan sudah pasti terjadi.
Nayna menatap kedua orang tuanya dari ambang pintu kamar, seragam putih abu-abu sudah melekat di tubuhnya. Ransel sekolah sudah menggantung di punggung, juga sepasang kaki yang terbalut kaos kaki putih. Gadis itu menghela napas, lalu melangkah ke arah meja makan, siap sarapan, mengisi energi untuk hari pertamanya di sekolah baru.
Ya, Nayna dan keluarga pindah ke kota karena sang ayah membuka cabang bisnisnya di daerah tersebut. Tak ingin pulang pergi setiap minggu ke tanah kelahirannya di desa, dia memboyong anak istri untuk turut serta di tempat baru.
Rahmat dan Siti menoleh saat terdengar suara kran air menyala, disusul denting suara perkakas dapur. Bergegas Siti beranjak ke dapur dan melihat anaknya berdiri di depan westafel.
"Nak, nggak usah, nanti seragammu kotor. Masa hari pertama nggak paripurna ... bentar-bentar, ini kenapa? Kenapa malah pakai gelang kayak gini? Sekarang kamu sekolahnya di kota, Nay. Bukan lagi di desa yang masih bebas pake aksesoris gini. Lepas!"
Siti menarik gelang hitam di pergelangan tangan kiri anaknya. Dengan cepat, Nayna berkelit, "jangan, Bu. Ini hadiah dari Ayah, masa nggak dipake, kan sayang. Ya nggak, Yah?"
Nayna mengedipkan sebelah matanya ke arah Rahmat. "Nah iya, Bu. Lagian nggak papa dia pake itu, dari pada jadi toko emas keliling, malah bahaya, apalagi ini kota."
Siti hanya menghela napas, lalu beranjak ke meja makan.
Setelah semua siap, Nayna pamit pada ibunya dan segera berlari keluar saat Rahmat memainkan klakson sepeda motor.
Dengan motor yang sama, Rahmat selalu menyempatkan mengantar putri semata wayangnya ke sekolah, selagi dirinya tak sibuk oleh pekerjaan.
"Yah, kenapa nggak beli mobil aja? Biar kita nggak perlu kepanasan atau kehujanan di jalan," tutur Nayna saat mereka berhenti di lampu lalu lintas dan tak sengaja matanya menatap ke samping kanan, di mana sebuah mobil avanza putih juga berhenti sejajar dengan kendaraan mereka.
"Nanti Ayah kasih tahu enaknya pakai motor, pegangan yang kenceng ya." Rahmat melirik spion lalu beralih pada lampu kuning yang baru saja menyala. Tak lama setelahnya, Rahmat tancap gas lalu berkelit di antara mobil dan kendaraan besar yang terjebak macet di jalanan depan. Tanpa banyak tanya, Nayna semakin mempererat pelukannya di perut sang ayah yang begitu lihai, di padatnya jalanan kota pagi hari.
Mereka sampai di depan gerbang sekolah yang masih terbuka lebar. Banyak pula siswa siswi yang baru saja datang, baik diantar, jalan kaki, maupun membawa kendaraan sendiri. Rahmat menerima helm putrinya, lalu tersenyum, "nah, udah tahu kan enaknya pakai sepeda motor? Kalau mobil, mana bisa balapan terus sendok sana-sini di kemacetan."
Nayna tertawa lalu mengangguk. Dia mencium punggung tangan ayahnya dan Rahmat menepuk kedua bahu anaknya seraya berkata, "tuan putri sekolah yang bener ya, inget pesannya?"
"Nggak boleh lemah, nggak boleh marah tapi kalau difitnah, pantang menyerah sebelum pelaku kalah," jawab Nayna sembari tangannya terulur memperbaiki helm sang ayah.
"Ayah hati-hati pulangnya, jangan ngebut lagi," sambung gadis itu dan berlalu masuk gerbang. Setelah beberapa langkah dia kembali menoleh dan melambai pada sosok pelindungnya selama ini.
Nayna celingukan mencari di mana ruang tata usaha, dia berjalan menghampiri seorang staf guru, lalu menanyakan apa yang dicarinya.
"Kamu murid baru ya? Nah ke sana aja, nanti di depan itu belok kanan."
Gadis itu nurut, lalu mengikuti petunjuk yang didapat dan melihat sebuah ruangan berpintu kaca dengan papan nama di atasnya. Dia masuk, lalu bertanya perihal ruang kelas dan juga seragam.
Setelah mendapatkan semua, Nayna berjalan menyusuri koridor dengan beberapa siswa siswi yang mengamati gerak-geriknya tanpa satu pun yang bertanya. Sementara Nayna terus mencari ruang kelas sesuai petunjuk dari guru di ruang TU.
Ini ke mana lagi ya? Kanan apa kiri? Duh, pake lupa segala.
Dia mendekati seorang siswi yang tengah berkumpul dengan teman-temannya. "Maaf, mau tanya. Kelas XI Akuntansi 3 di mana ya?"
Namun bukan jawaban yang didapat, mereka justru melirik sinis ke arah Nayna yang masih berdiri dengan seragam yang berbeda.
"Lo anak baru? Dari mana?"
Seorang gadis berambut panjang menatap Nayna dengan tatapan tajam.
"Iya, aku pindahan dari SMK Harapan," balasnya dengan senyum mengembang.
"SMK Harapan? emang ada ya? di mana? Perasaan di sini nggak ada." Gadis itu menatap teman-temannya lalu beralih pada anak baru yang masih berdiri canggung di dekatnya.
Nayna mengatakan di mana sekolah lamanya berada, namun, belum selesai dia bicara, kalimatnya sudah terpotong.
"Pantes, dekil banget. Ternyata anak kampung!" Mereka tertawa mencemooh, sementara Nayna melirik name tag di dada gadis itu.
Melda. Hm, menarik juga. Hari pertama disuguh drama seperti ini.
Nayna tersenyum, mengangguk lalu pergi dari hadapan mereka. Dia kembali berjalan celingak-celinguk mencari kelasnya.
"Hai, kamu anak baru ya? Kelas XI apa?"
Nayna terkejut dan menoleh saat pundaknya ditepuk dari belakang. Dia mengamati barisan kelas XI di koridor itu.
Nayna segera menjawab tanpa berharap lebih, setelah apa yang dia dapatkan dari Melda dan kawan-kawannya.
"Yuk ikut aku, kita satu kelas." Nayna digandeng melewati beberapa kelas lalu masuk ke salah satunya.
"Nah, ini kelas kita. Oh ya, kenalin, aku Tania. Kebetulan aku duduk sendiri, kamu bisa di sini sama aku." Nayna membalas uluran tangan itu, lalu mengangguk dan duduk di samping teman barunya.
Saat bel masuk berdering, ruang kelas menjadi ramai. Satu dua orang melirik ke arah Nayna, ada pula yang mengulurkan tangannya untuk mengajak kenalan.
Ternyata nggak semua nyebelin juga, mereka ramah.
Nayna tersenyum lalu menimpali pertanyaan dari teman-temannya sebelum guru masuk kelas.
Ruangan seketika hening, tatkala seorang guru pria masuk dengan tatapan tajam yang mengawasi seisi kelas. Kumisnya bergerak naik turun saat pria itu komat kamit, entah apa yang diucapkan.
"Jangan kaget, Nay. Dia guru killer di sini, namanya Mr. Jhon, lengkapnya Jono," bisik Tania sembari menutup mulutnya menahan tawa.
Brak!
"Ma-maaf, Pak, eh Mistar, Mister. Saya telat."
Seorang cowok masuk dengan rambut acak-acakan, Mr. Jhon mendekat lalu menarik telinga siswa itu.
"Kamu ya, nggak punya jam apa gimana? Begadang terus, berdiri! Jangan duduk sebelum saya perintah! Sudah berulang kali ... " kalimatnya terjeda saat seseorang mengetuk pintu lalu mengangguk hormat.
"Maaf Mister, saya telat."
Dia? Di sini? Satu kelas?
Nayna mengepalkan tangan hingga buku-buku jarinya terlihat, sementara Tania menepuk lengannya.
"Kamu kenapa, Nay?"
***