Husna, putri bungsu kesayangan pasangan Kanada-Indonesia, dipaksa oleh orang tuanya untuk menerima permintaan sahabat ayahnya yang bernama Burak, agar menikah dengan putranya, Jovan. Jovan baru saja menduda setelah istrinya meninggal saat melahirkan. Husna terpaksa menyetujui pernikahan ini meskipun ia sudah memiliki kekasih bernama Arkan, yang ia rahasiakan karena orang tua Husan tidak menyukai Arkan yang hanya penyanyi jalanan.
Apakah pernikahan ini akan bertahan lama atau Husna akan kembali lagi kepada Arkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
Mentari pagi sudah bersinar terang dan menembus celah gorden kamar Husna
Di depan cermin, Husna dengan telaten memulaskan blush on tipis di pipinya, senyum kecil tersungging saat ia memandangi pantulan dirinya.
Hari ini adalah hari yang spesial, ia akan bertemu dengan Arkan, kekasih hatinya.
Debaran di dada selalu sama, campuran antara excited dan sedikit rasa bersalah.
Tepat saat Husna hendak memakai lipstik, pintu kamarnya terbuka perlahan.
Ibunya berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan pandangan menyelidik.
"Mau ke mana pagi-pagi sudah dandan cantik begini, Sayang?" tanya ibu Mariam.
Husna tersenyum tipis sambil mencoba menyembunyikan kegugupannya.
"Ke toko buku, Bu. Ada buku baru yang mau Husna cari."
"Oh, begitu," sahut ibunya, masih dengan tatapan yang sulit diartikan.
Husna tahu persis apa yang ada di benak ibunya. Ia juga tahu, kedua orang tuanya tidak pernah menyukai Arkan.
Alasan utamanya sederhana karena Arkan belum stabil, baik dalam karier maupun masa depannya.
Oleh karena itu hubungan mereka harus tetap menjadi rahasia, sebuah rahasia yang ia pikul sendiri dalam diam.
Setelah selesai berdandan, Husna berpamitan kepada ibunya.
"Ibu, Husna pergi berangkat dulu." ucap Hasna sambil mencium punggung tangan Ibu Maria.
Ibu Maria meminta Husna untuk hati-hati dan lekas pulang karena ayahnya yang dari London akan pulang.
Husna menganggukkan kepalanya dan ia lekas pergi menuju ke cafe dimana Arkan sudah menunggunya disana.
Di sepanjang perjalanan, Husna menyanyikannya lagu kesukaannya.
Jantungnya berdegup kencang dan tidak sabar untuk bertemu dengan Arkan.
Perjalanan yang lumayan sepi membuat Husna lekas sampai.
Dari balik kaca mobilnya, ia melihat kekasihnya yang sudah menunggunya.
Husna lekas turun dari mobil dan menghampiri Arkan.
Arkan bangkit dari duduknya dan langsung memeluknya.
"Aku kira kamu tidak datang, Na. Aku merindukanmu." ucap Arkan.
Husna membalas pelukan hangat dari Arkan sambil tersenyum tipis.
"Aku pasti datang, Ar. Aku juga merindukanmu." ujar Husna.
Arkan menarik kursi dan mempersilahkan Husna untuk duduk.
Setelah itu Arkan memanggil pelayan untuk menyiapkan dua kopi, dua kentang dan roti manis.
Sambil menunggu pesanan mereka datang, Arkan membuka tasnya dan menunjukkan karyanya.
"Aku baru saja buat lagu baru, Na. Apakah kamu mau mendengarnya?" tanya Arkan.
Husna menganggukkan kepalanya dan meminta Arkan untuk menyanyikannya.
Arkan mengambil gitar yang selalu ia bawa untuk menyanyi di jalanan.
Arkan mulai memetik senar gitarnya perlahan, menghasilkan melodi yang lembut dan sedikit melankolis.
"Ini tentang kita, Na," bisiknya sebelum mulai bernyanyi.
Suara Arkan terdengar merdu, liriknya bercerita tentang sebuah penantian, harapan yang tersembunyi, dan janji untuk masa depan yang belum pasti.
“Bintang di langit jadi saksi bisu
Cinta yang tersembunyi, tak terjamah restu
Mungkin sekarang, kita di persimpangan
Tapi percayalah, ini hanya penantian...”
Husna mendengarkan dengan hati yang hangat dan sedikit nyeri. Setiap kata seolah menggambarkan beban rahasia yang ia pikul.
Ia mengerti, perjuangan Arkan untuk stabil adalah perjuangan untuk mendapatkan restu orang tuanya.
Saat lagu berakhir, keheningan melingkupi mereka sejenak.
Arkan meletakkan gitarnya dan meraih tangan Husna di atas meja.
"Bagaimana? Bagus, kan?" tanyanya, matanya penuh harap.
"Sangat bagus, Ar. Aku suka liriknya. Semoga sebentar lagi, penantian kita berakhir."
Arkan tersenyum, senyum yang selalu meluluhkan hati Husna.
"Pasti, Sayang. Aku sedang berjuang mati-matian. Dua hari lalu, aku mengikuti audisi untuk mengisi acara di sebuah event besar. Jika aku lolos, ini bisa menjadi batu loncatan yang besar."
"Benarkah? Semoga berhasil, Arkan!" Husna menggenggam tangannya erat, memberikan dukungan penuh.
Pelayan datang membawa pesanan mereka. Aroma kopi yang kuat dan roti manis yang baru dipanggang memenuhi udara.
"Nah, sekarang kita nikmati sarapan ini sambil bicara yang menyenangkan," ujar Arkan, melepaskan tangan Husna untuk menuangkan kopi ke cangkirnya.
Mereka pun larut dalam pembicaraan ringan, tertawa tentang hal-hal kecil, dan merencanakan kencan berikutnya.
Bagi Husna, momen bersama Arkan ini adalah oksigen, pelarian singkat dari tekanan ekspektasi keluarganya.
Tanpa mereka sadari, waktu berjalan begitu cepat.
Husna melihat jam di pergelangan tangannya dan wajahnya langsung berubah cemas.
"Ya ampun, Ar, aku harus pulang sekarang," katanya cepat sambil menghabiskan sisa kopinya.
Arkan menggenggam tangan Husna dan memintanya untuk tinggal sebentar.
"Ayah akan pulang hari ini dari London. Aku harus ada di rumah sebelum beliau sampai."
"Ayahmu pulang? Kenapa mendadak?"
"Tidak mendadak, hanya saja beliau meminta Ibu untuk tidak memberi tahu agar menjadi kejutan," jelas Husna sambil berdiri.
Arkan ikut berdiri, wajahnya terlihat sedikit muram.
"Baiklah. Hati-hati di jalan, Sayang. Kabari aku kalau sudah sampai."
Husna mencium pipi Arkan sekilas sebelum bergegas meninggalkan kafe.
Ia segera melajukan mobilnya menuju ke rumahnya.
Sesampainya di rumah, ia melihat mobil Ayahnya yang sudah terparkir disana.
Ia juga melihat mobil lainnya yang tidak pernah ia lihat sama sekali.
Husna langsung turun dari mobilnya dan masuk kedalam rumah.
"Ayah... Ayah.." panggil Husna yang berlari mencari Ayah Yudha.
Ayah Yudha langsung bersembunyi saat mendengar suara putrinya.
Ibu Maria menahan tawanya saat melihat tingkah suaminya.
Husna masuk dan tidak melihat keberadaan ayahnya.
"Ibu, dimana Ayah? Husna melihat mobil ayah, tapi Ayah tidak ada." tanya Husna.
Yudha keluar dari balik pintu dan langsung mengagetkan putrinya.
"BA!"
Husna meloncat kecil saat Yudha keluar dari balik pintu.
"Ayah, kenapa selalu membuat aku terkejut saja." ucap Husna sambil merengek kecil.
Yudha tertawa kecil melihat raut wajah putrinya yang terkejut.
"Sini, sini. Peluk ayah. Ayah sangat merindukanmu." ucap Yudha yang kemudian langsung memeluk tubuh putrinya.
Kemudian Yudha menggandeng tangan putrinya dan mengajaknya ke ruang tamu.
Di ruang tamu Husna melihat seorang lelaki yang sebaya dengan Ayahnya.
"Husna, perkenalkan ini Om Burak. Dia sahabat ayah."
Husna menganggukkan kepalanya dan mencium punggung tangan Burak.
"Duduklah disini, sayang. Ayah ingin bicara serius dengan kamu." ucap Yudha.
Husna duduk disamping Ayah Yudha dan Ibu Maria.
Tiba-tiba suasana menjadi kaku dan tidak seperti tadi.
"Ada apa, Yah?" tanya Husna yang takut jika hubungannya dengan Arkan diketahui
Yudha menghela nafas panjang sambil menatap wajah Husna.
"Ayah meminta kamu untuk menikah dengan Jovan, putra Burak. Dia mempunyai seorang putri yang masih hitungan hari. Ayah mohon kepada kamu, Husna." jawab Yudha.
Husna yang mendengarnya langsung terdiam seketika dan air matanya jatuh.
"Ayah, maaf. Aku tidak bisa menikah dengan Jovan." ucap Husna.
Yudha yang mendengarnya sedikit kecewa dengan putrinya.
"Yudha, kalau putrimu tidak mau. A-aku..."
Yudha meminta Burak untuk menunggu sebentar.
Kemudian Yudha mengajak putrinya untuk masuk ke kamar.