Dia adalah darah dagingnya. Tapi sejak kecil, kasih ibu tak pernah benar-benar untuknya. Sang ibu lebih memilih memperjuangkan anak tiri—anak dari suami barunya—dan mengorbankan putrinya sendiri.
Tumbuh dengan luka dan kecewa, wanita muda itu membangun dirinya menjadi sosok yang kuat, cantik, dan penuh percaya diri. Namun luka masa lalu tetap membara. Hingga takdir mempertemukannya dengan pria yang hampir saja menjadi bagian dari keluarga tirinya.
Sebuah permainan cinta dan dendam pun dimulai.
Bukan sekadar balas dendam biasa—ini adalah perjuangan mengembalikan harga diri yang direbut sejak lama.
Karena jika ibunya memilih orang lain sebagai anaknya…
…maka dia pun berhak merebut seseorang yang paling berharga bagi mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Almaira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedatangan Tak Terduga
Seorang wanita muda berdiri tegak di depan pagar rumah seseorang. Tangannya gemetar memegang secarik kertas kusut yang tertulis alamat dengan tinta hampir pudar. Ia menoleh ke kanan dan kiri, memastikan bahwa inilah tempat yang sudah bertahun-tahun hanya hidup dalam bayang-bayang ingatannya—rumah sang ibu.
Hana menarik napas panjang, lalu menekan bel di samping pagar. Harapannya sederhana seseorang membuka pintu. Tapi di balik harapan itu itu, ada badai yang seolah telah menunggunya. Terik matahari siang itu menambah tekanan yang menggumpal di tubuhnya.
Tak butuh waktu lama, daun pintu terbuka. Seorang wanita paruh baya melangkah keluar. Awalnya santai, hingga pandangannya bertemu dengan wajah Hana. Langkahnya langsung dipercepat. Mata itu, yang dulu begitu hangat, kini menatap dengan amarah dingin dan tajam. Rahangnya mengeras. Tak ada pelukan. Tak ada air mata rindu. Hanya kemarahan dan keterkejutan.
Sang ibu berdiri di hadapannya, wajahnya penuh ketegangan.
“Kenapa kamu datang ke sini?”
Begitulah, bukan sapaan, bukan pula pelukan, melainkan bentakan pertama setelah hampir satu dekade mereka tak bertemu.
Hana tak bergeming. Tatapan dingin sang ibu, bahkan nada bicara yang seolah hendak menusuk harga dirinya, tak membuatnya gentar. Ia sudah menyiapkan diri untuk ini, untuk sambutan yang tidak ramah, untuk luka yang akan menganga lagi.
Tapi kali ini, ia tak datang sebagai gadis kecil yang terluka.
Ia datang sebagai wanita yang siap membalas.
Sebuah senyum sinis terukir di sudut bibirnya. Bukan senyum bahagia bertemu ibu setelah sepuluh tahun, melainkan senyum pahit penuh ironi. Senyum seseorang yang sudah tak lagi berharap, hanya membawa satu tujuan, balas dendam.
"Aku cuma mau melihat wajah ibu, yang sudah lama tak datang menemui ku," ucap Hana pelan namun tegas.
Sri, sang ibu, memejamkan mata sejenak. Rahangnya mengeras, bibirnya mengatup kuat menahan emosi. Bukan karena rindu, tapi karena kemarahan, karena kedatangan Hana seperti bom waktu yang bisa meledakkan ketenangan hidup barunya kapan saja.
Malika.
Sri menoleh ke dalam rumah, cemas. Pandangannya gelisah seperti menyembunyikan sesuatu. Ia takut Malika, putri tiri yang selama ini ia banggakan dan rawat dengan sepenuh hati melihat siapa yang berdiri di luar pagar.
Karena bagi Sri, Hana adalah masa lalu yang memalukan. Luka yang seharusnya sudah terkubur.
"Pergilah sebelum Malika melihatmu," bisiknya tajam, hampir memohon, namun tetap menjaga wibawanya.
Hana mengangkat satu alis. "Kenapa harus takut?"
Sri tak menjawab. Hanya diam dan menunduk dengan gusar, lagi-lagi karena takut Malika keluar rumah.
Hana menghela napas, lalu mundur selangkah.
“Tenang saja, Bu. Ini baru permulaan,” ucapnya tenang namun penuh ancaman.
Sri berdiri kaku di balik pintu pagar yang masih setengah terbuka. Matanya menajam, menyapu Hana dari ujung kepala hingga kaki, seolah kehadiran putri kandungnya itu adalah aib yang baru saja bangkit dari kubur.
"Apa sebenarnya maksudmu datang ke sini, Hana? Kau sudah besar. Kau pasti paham tempat ini bukan lagi rumahmu," ucap Sri tajam, suaranya lirih tapi penuh tekanan.
Hana hanya memiringkan kepala, senyumnya melebar, nyaris seperti mengejek.
"Aku tahu," jawabnya ringan. "Aku bukan bagian dari keluarga ini. Ibu sudah menghapus aku sejak lama, kan?"
Sri menggertakkan gigi. "Pulanglah. Sebelum Malika..."
"Ah, Malika lagi..." Hana memotong dengan nada pelan namun penuh sindiran. "Putri kesayangan kalian itu? Jangan khawatir, aku tak akan menyentuh satu helai rambutnya selama ia tak mengusikku."
Wajah Sri memucat. Pandangannya kembali gelisah menengok ke dalam rumah, seolah bayang-bayang Malika bisa muncul kapan saja dari balik tirai jendela. Tapi Hana tidak berhenti di situ.
Ia melangkah lebih dekat ke pagar, menatap ibunya dari jarak yang nyaris membuat napas mereka bersentuhan.
“Izinkan aku masuk, Bu. Atau...” ia tersenyum miring, "biar aku teriak di sini... supaya tetangga-tetangga tahu bahwa ibu Sri yang terhormat ini punya anak kandung yang sudah dibuangnya belasan tahun lalu."
Nada suara Hana lembut, tapi ancamannya menggigit seperti sembilu. Ia tahu titik lemah ibunya, reputasi dirinya dan sang suami.
Sri tercekat. Tangannya yang menggenggam pagar mengeras. Lidahnya kelu. Dihadapannya kini bukan lagi anak kecil yang mudah diusir. Ini adalah seorang wanita yang datang membawa luka dan keberanian.
Akhirnya, dengan tarikan napas berat dan raut terpaksa, Sri membuka pagar sepenuhnya.
"Masuklah," katanya dingin. "Tapi jangan pikir aku akan menyambutmu dengan hangat."
Hana melangkah masuk dengan anggun. Senyumnya tetap mengembang, senyum seorang musuh yang baru saja memenangkan babak pertama perangnya.
"Tenang, Bu. Aku sudah tak pernah mengharapkan kehangatan darimu."
Sri tiba-tiba menyeret lengan Hana dengan kasar, langkahnya cepat dan panik. Hana nyaris terjatuh saat tas besar di pundaknya terseret lantai, namun ibunya tak peduli. Bagi Sri, saat ini hanya ada satu hal penting, jangan sampai Malika tahu.
Mereka berjalan menyusuri sisi rumah, melewati taman kecil dan rak-rak pot bunga yang tertata rapi. Sri mendorong Hana masuk lewat pintu samping yang terhubung langsung ke dapur. Aroma sabun cuci dan makanan sisa menggantung di udara, menciptakan kontras tajam dengan ketegangan yang memenuhi ruang.
Tanpa banyak bicara, Sri menarik Hana lebih dalam, lebih tersembunyi, menuju sebuah kamar kecil di ujung dapur. Kamar pembantu. Ukurannya sempit, berdebu, dan kosong, seolah tak pernah disentuh selama bertahun-tahun.
Cekrek.
Pintu ditutup rapat. Sri menempelkan telunjuk di depan bibirnya. “Diam. Jangan satu kata pun sampai aku bilang.”
Napas Hana masih terengah. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia menatap ibunya dalam diam, menahan emosi yang bergulung dalam dada.
Sri menyilangkan tangan di dada, berdiri di ambang pintu dengan wajah gelap.
“Cepat katakan. Apa maumu? Uang?” bisiknya tajam, hampir mendesis.
Hana menghela napas panjang. Kakinya terasa berat, tubuhnya lelah oleh perjalanan jauh dari desa. Tapi yang lebih melelahkan adalah kenyataan ibu kandungnya sendiri kini memperlakukannya lebih buruk dari orang asing.
“Ya Tuhan…” lirihnya dalam hati, hampir tak terdengar, “sebegitu bencinya kah ibuku padaku?”
Ia menunduk sejenak, menguatkan diri. Tidak. Ia tak datang untuk menangis. Ia tak akan memberi ibunya kesempatan melihat dirinya lemah. Ia adalah Hana yang baru. Hana yang kuat. Hana yang datang untuk membalas luka lama.
Perlahan, ia menatap ibunya, kali ini dengan sorot mata yang tajam.
“Aku hanya ingin satu hal, Bu. Aku ingin hidupku kembali.”
Sri mengerutkan dahi, bingung sekaligus terintimidasi. “Hidupmu? Maksudmu apa?”
Hana tersenyum tipis. “Yang kau dan suamimu rampas. Yang kalian hancurkan saat kalian memilih Malika dan membuang aku.”
Sunyi. Udara di dalam kamar itu seolah mengeras. Sri terdiam, matanya menyipit, mulai menyadari bahwa kedatangan Hana bukan hanya sebuah kunjungan kejutan. Ini adalah permulaan dari sesuatu yang lebih besar. Sebuah pembalasan.
semoga hana masih tetap waspada...jangan sampai hana jadi menikah dengan pria paruh baya yang kejam pilihan si Burhan
good job thorr...sehat sehat..up nya yg bnyk ya ..