" Eh, gimana kalo kamu tinggal di sini sama tante? Dari pada kamu tinggal sendiri dengan berbagai macam kemungkinan bahaya menghadang, lebih baik tinggal di sini nemanin tante. Kedua putra tante benar benar nyebelin. Mereka selalu sibuk dengan urusan mereka, gak ada yang peka kalo tante itu bosan sendirian. "
Tawaran yang menggiurkan. Tapi bagi orang. Bagiku itu sama saja mengantarkan kematian secara perlahan. Jika boleh berkata, aku paling tidak suka keributan walau hanya berbicara dengan seseorang secara terus menerus. Seperti aku dan tante Lucy saat ini. Benar benar menyiksa. Aku sendiri juga tidak tahu apa yang membuatku langsung sakit kepala jika mendengar suara keributan di sekitarku. Yang pasti itu sangat menyiksa.
" Gak usah tante, saya gak ingin ngerepotin tante. " Meminimalistirkan telingaku buntu tiap hari berceloteh dengan beliau. Bukannya tidak sopan, tapi seperti di atas tadi. Jika aku merasa nyaman berbicara dengan seseorang, maka kepalaku akan terasa pusing meladeninya. Tapi, jika aku bersikap biasa biasa saja, maka aku akan bersikap bodo amat meski sekelilingku berisik sekalipun.
" Gak ngerepotin kok sayang. Beneran! "
" Beneran tante gak usah! " tolakku sehalus mungkin, sehingga mampu membuat beliau terlihat kecewa dengan keputusanku.
" Ya udah. Tapi kalo tante pengen ngunjungin rumah kamu gak apa apakan? " izin beliau kembali bersemangat.
" Tentu "
" Emmm makasih sayang... " aku tersenyum kikuk saat tante Lucy tiba tiba memeluk tubuhku erat. Au lah pasrah.
" Kalo gitu saya pamit dulu ya tan, soalnya abis ini saya masih harus kerja lagi. " ucapku karna hari semakin sore, aku tidak ingin sampai di marahi bang Andre karna telat.
" Yah kok cepet banget sih, kan tante masih pengen cerita sama kamu. " rengeknya seperti abg saja.
" Kan masih bisa lain kali tan. Gak apa apa ya? " aku ketar ketir menunggu untuk segera pergi. Bukannya apa, aku tidak ingin kena semprot bang Andre dan berdampak pada pemotongan gaji. Meski aku kenal dekat dengannya, tapi beliau menjunjung tinggi profesionalis dalam bekerja. Atasan yang adil dan tidak membeda bedakan perlakuan pada karyawan lain.
" Ya udah deh, kamu hati hati ya. Apa perlu di anterin sama supir tante? " tawaran yang berlebihan, tentu saja aku menolak. Mau di taruh di mana sepedaku entar?
" Gak apa apa tante, saya kesini naik sepeda, jadi pulangnya juga harus naik sepeda. Kalo begitu saya permisi tante, assalamu'alaikum. "
" Wa'alaikumussalam "
Aku menghembuskan nafas lega setelah berhasil keluar dari rumah itu. Dosa gak sih aku ngatain beliau cerewet? Tapi beneran loh ini kepalaku nyut nyutan gini rasanya. Benar benar menyiksa.
Tap tap tap
Aku menoleh kebelakang saat mendengar derap langkah kaki seseorang. Seorang pria bertubuh jangkung berpakaian santay serta handuk di lehernya. Sepertinya abis olahraga. Tapi... ada sore sore gini yang olahraga? Aneh aneh aja nih orang.
" Ekhm " lamunanku buyar saat pria itu menegurku dengan suara deheman. Wajahnya datar kayak papan triplex minta gantung. Eh, tapi. Kok ekspresinya familiar ya? Eh iya, kan ekspresi kita sama. Sama sama kayak papan triplex minta gantung.
" Sepedamu menghalangi jalan. " Dingin. Satu kata itu cukup untuk mendeskripsikan pria di hadapanku ini. Aku seperti melihat bayangan diri sendiri. Apa seperti ini orang orang dongkol waktu aku bicara singkat dan dingin?
" Oh " tatapanku tak kalah dingin. Aku langsung naik keatas sepeda dan mulai mengayuhnya pergi meninggalkan perumahan elit serta orang songong itu. Asli jengkel banget aku lihat mukanya yang datar itu. Tapi, ya udahlah. Gak penting juga.
" Haaa... haaa... haaa... haaa...
haaa... haaa... haaa... haaa... " aku bersenandung sembari mengayuh sepeda menuju belokan. Lagu yang aku nyanyikan saat ini adalah lagu Malaysia berjudul " Buai laju " dari Ernie Zakri. Suaranya merdu, sejuk gimana gitu. Suka aja aku nyanyiinnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments