...°°°°°°°°°°°°°°°°°...
...Jika malaikat maut belum mau merenggutnya, maka biarkanlah dia yang mendahuluinya......
...###...
"Gila, pesona gue emang gak ada obatnya", celetuk Ammar yang membuat ketiga orang lainnya serempak memutar bola mata jengah. Cowok berambut ikal itu membetulkan kerah kemejanya sambil terus menebar pesona.
"Lo dipandang karena Levi dan Ghozi kali", sahut Morgan membuat Ammar menatap temannya itu dengan tak bersahabat. Emang si julid yang gak bisa lihat orang senang. Dasar kawan laknat.
"Ya Tuhan Bara!, enggak dimana pun dan kapan pun, perut emang nomor satu", seru Morgan saat melihat Bara yang sudah mengambil dua piring sate, satu piring nasi beserta lauk dan tiga piring cake. Entah kapan cowok itu mendapatkan semuanya, "Tengok tuh perut", tambahnya sambil melirik perut buncit Bara.
Levi dan Ammar sontak ikut melirik kearah perut Bara. Dan si empunya perut malah berceletuk dengan santainya, "Perut buncit itu aesthetic."
"Berani beda itu keren. Bagus, lanjutkan semangat makan mu nak", Ammar menepuk pundak Bara yang sedang makan. Membuat cowok itu tersedak dan menarik rambut Ammar yang sudah rapi. Dan terjadilah pertengkaran saling tarik menarik rambut.
"Berhenti. Kalau gak gue masukkin tuh lidi ke mulut kalian masing-masing", ujar Levi datar yang sukses membuat dua orang tak tau malu itu berhenti dan terdiam mati kutu. Sebab mereka yang paling tau, seberapa seriusnya Levi dengan ucapannya sendiri.
"Mamp*s, nakal sih", ejek Morgan membuat Ammar dan Bara sontak menendangi kaki cowok itu dari bawah meja. Emang Morgan, moral gak ada nih.
Levi yang melihat itu hanya bisa menghela nafas lelah. Sudah cukup selama tiga tahun ia melihat kebodohan ini.
"Lev", Morgan mencolek Levi yang sedang mengambil ponselnya dalam saku jas yang dikenakannya.
"Hm?", Levi menaikkan sebelah alisnya bertanya.
"Tuh", Morgan menunjuk kearah dua orang cewek yang tengah berjalan keluar dari aula. Levi melihatnya lalu kembali menoleh kearah Morgan dengan kening yang berlipat.
"Terus?", tanya Levi merasa tak paham.
Morgan menghela nafas, "Gue curiga kalau nilai lo itu hasil dari sogokan."
"Kalau gak mampu, mending gak usah fitnah orang", balas Levi dengan ketus membuat Morgan refleks mengelus dada sabar.
"Sabar, ingat yang di depan lo sekarang adalah malaikat pencabut nyawa", ujar Morgan membuat Levi mendengus. Lalu cowok itu menghidupkan ponselnya. Bermain game lebih bermutu daripada melihat kelakuan teman-temannya yang nol akhlak.
"Lev, lo gak mau ngikutin?", tanya Morgan kemudian.
Levi mengangkat wajahnya dan melirik ke arah pintu aula, lalu cowok itu kembali fokus dengan ponselnya, "Malas."
Morgan mengangguk, "Gak takut barbie lo itu diapa-apain sama mak lampir?."
"Enggak mung-", Levi menghentikan ucapannya. Cowok itu langsung berdiri dari duduknya dan berjalan cepat keluar dari aula. Ia baru sadar kalau salah satu cewek tadi adalah temannya Celine. Siapa yang tak mengenal Celine, salah satu primadonanya Angkasa yang sudah sangat tergila-gila dengan kakak kelasnya. Siapa lagi kalau bukan most wanted boy nya Angkasa, Levino Altan Devora.
"Katanya gak mau ngikutin. Emang ketua lo itu, gak berpendirian", ujar Morgan.
"Awas di dengar Levi, kelar hidup lo Mor", sahut Ammar yang disetujui Bara.
"Kalau dia sampai tau, berarti lo berdua ember nya."
"Jelas lah", seru Ammar dan Bara secara serentak. Membuat Morgan memutar bola matanya jengah. Punya teman kok gini amat ya Tuhan.
...###...
Sementara itu, di lain tempat. Rea mendorong pintu ruangan OSIS itu dengan hati yang gelisah. Entah apa alasan hatinya bisa resah, Rea pun tidak tau. Seperti ada ketakutan yang tak mendasar di dalam dirinya. Padahal seumur hidupnya Rea tidak pernah mengalami ketakutan apapun. Kecuali waktu Reagan dan Arinta berpergian keluar negeri. Tapi ketakutan itu pun tidak sebesar saat ini.
Dengan mengucap bismillah Rea memberanikan diri untuk masuk ke dalam ruangan tersebut.
Angkasa memang mengadakan prom night di sekolah. Tidak pernah sekalipun di luar, seperti hotel ataupun gedung. Sebenarnya tidak ada alasan khusus. Hanya saja setiap tahunnya memang selalu begitu. Hal itu seperti sudah menjadi tradisi di sekolahnya.
"Apa yang kurang?", tanya Rea kepada seorang gadis yang sedang duduk di atas meja sambil bermain ponsel.
"Oh, lo udah datang", ujar Celine berbasa-basi. Lalu dengan melalui isyarat matanya, Celine menyuruh Novi untuk pergi keluar. Meninggalkan mereka berdua.
"Apa yang kurang?", ulang Rea sekali lagi. Ia sangat tidak suka bertele-tele seperti itu. Baginya berbasa-basi hanya untuk orang yang senggang saja. Bukankah waktu itu uang. Jadi jangan pernah disia-siakan. Tidak sedetik pun.
"Oh, iya gue lupa. Sebenarnya gak ada yang kurang sih. Tapi lo sini dulu deh, rasain nih air. Bagi gue rasanya agak lain gitu, gak sama kayak biasanya", jawab Celine dan menyuruh Rea untuk lebih mendekat padanya.
Rea menurut dan berdiri lebih dekat kepada Celine. Lalu tanpa membuang-buang waktu, cewek itu langsung mengambil segelas air dari tangan Celine dan meminumnya.
"Biasa aja", ujar Rea setelah meminum sedikit air tersebut.
"Coba habisin, kalau sedikit gak berasa", balas Celine.
Rea memandang Celine sejenak. Seperti ada yang aneh dari senyuman gadis tersebut. Tapi daripada memperpanjang, Rea pun memilih meminum air itu hingga tandas.
Celine tersenyum puas dengan tangan yang bersidekap di dada.
"Biasa a-"
Buk
Belum sempat Rea menyelesaikan ucapannya. Tengkuknya terasa di pukul oleh sesuatu yang sangat keras. Membuatnya jatuh tersungkur ke lantai. Kepalanya terasa berat, pandangannya tak beraturan. Seperti ada kunang-kunang yang mengitari kepalanya. Lalu sebelum kegelapan itu menjemput, Rea merasa ada banyak tangan yang mengangkat dirinya. Ia ingin sekali menendang orang yang menyentuhnya dengan sembarangan itu. Tapi kaki dan sekujur tubuhnya terasa lemah. Seperti mati rasa.
"Lakuin sesuka kalian, tapi ingat, hasilnya kasih ke gue", ujar Celine kepada dua orang cowok yang membopong tubuh Rea.
"Aman", sahut cowok yang berkulit sedikit gelap itu sambil menyeringai.
"Udah buruan, jangan sampai ada yang tau."
"Sip, kalau gitu kami pergi dulu", setelah itu mereka berdua membawa tubuh Rea keluar dari dalam ruangan OSIS. Berjalan mengendap-endap, memperhatikan penjuru sekolah yang sepi. Memastikan jika tidak ada orang yang melihat.
Namun mereka tidak menyadari netra abu-abu yang sedari tadi menghunus mereka bak pedang yang tajam. Levi buru-buru bersembunyi ke sebalik tembok saat melihat dua orang cowok yang keluar dari dalam ruangan OSIS dengan sangat mencurigakan. Levi memperhatikan kedua orang itu dengan seksama sampai matanya melihat wajah seseorang yang sangat dikenalinya. Amarahnya seketika memuncak saat mendapati kedua mata yang indah itu tertutup rapat.
"Wait for the death of you both", gumam Levi dengan garis rahang yang mengetat. Membuat urat-urat lehernya terpampang jelas di kulitnya yang putih bersih. Tangannya mengepal sangat kuat. Jika saja kuku cowok itu panjang, sudah dipastikan telapak tangannya akan berdarah.
Lalu tanpa menunda-nunda lagi Levi segera mengikuti kedua cowok itu dari belakang. Ingin tahu kemana para bajing*n itu membawa mawar yang telah dijaganya. Jika saja terjadi sesuatu, maka Levi akan membuat mereka hidup segan mati pun tak mau. Jika malaikat maut belum mau merenggut nya, maka biarkan Levi yang mendahuluinya.
...~Rilansun🖤....
Levino Altan Devora. Leader Ghozi**☠️**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Edah J
Celine jahat yaa
kasian Rea mungkin imbas keegoisan cinta yg tak terbalas ☹️
2023-01-27
0
Riska Wulandari
masih SMA udah pada sadis bener..
2022-05-11
0
Sri Mutia
babang eun woe ya thor
2021-11-05
0