Cinta Sang Ceo
Arlan, calon mempelai pria yang seharusnya berbahagia, justru memilih pelukan kesunyian bar daripada kehangatan keluarga.
Botol-botol kosong di depannya menjadi saksi bisu dari keraguan yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.
Semua persiapan telah dilalui dengan sempurna sesuai adat, seolah menuntunnya pada hari kebahagiaan. Tapi bagi Arlan, justru hari itu adalah garis akhir dari kegelisahan yang ia coba bunuh dengan minuman keras.
"Aku tidak bisa menikahi wanita selain kamu, Lia. Apa yang harus aku lakukan?" desah Arlan, suaranya tercekat oleh keputusasaan. Ia menenggak kembali minumannya, berharap cairan pahit itu bisa menenggelamkan dilema yang tak kunjung selesai di hatinya.
Sudah 1 minggu, sejak kecelakaan yang menimpa kekasihnya. Lia tak pernah bangun, dia mengalami koma. Padahal mereka sudah merencanakan pesta pernikahan yang begitu meriah, bahkan undangan sudah disebar jauh-jauh hari.
Kecelakaan itu terjadi saat Lia sedang berlibur dengan beberapa temannya, namun naas mobil yang ditumpanginya oleng dan hampir masuk jurang. Beruntungnya teman-temannya selamat. Sedangkan hanya dia sendiri yang koma.
Tak ada waktu bagi Arlan untuk mencerna takdir. Dalam hitungan hari, ia harus beralih dari kekasih yang setia menjadi calon suami yang dipaksa menikah.
Sebuah keputusan yang dibuat oleh keluarga di saat ia masih berjuang menghadapi kenyataan pahit Lia.
Arlan hanya bisa menerima wanita yang dipilihkan untuknya, sembari berharap pernikahan ini tak akan melukai hati Lia jika suatu saat ia terbangun
"Pak, sudah cukup. Anda sudah terlalu banyak minum. Sebaiknya Anda pulang." Ucap seorang bartender dengan nada khawatir
"Itu bukan urusanmu! Tuangkan lagi, cepat!" Arlan menjentikkan jari ke gelas kosong, suaranya sedikit cadel
"Maaf, Pak. Saya tidak bisa." Bartender sengaja mengabaikan perintah itu dan mulai membersihkan gelas di depannya
"Sudah cukup, Tuan Arlan. Kita pulang sekarang."Lukman muncul tiba-tiba, merebut gelas dari tangan Arlan. Ia adalah sopir keluarga.
"Lukman! Kamu berani-beraninya! Aku belum selesai. Kamu pulang saja!" Kata arlan.l, Ia menatap Lukman dengan mata merah, penuh amarah.
"Tidak, Tuan. Nyonya memerintahkan saya untuk menjemput Anda dan memastikan Anda pulang dengan selamat." Tetapi supirnya itu memegang bahu Arlan dengan kuat, tapi sopan.
"Aku bisa pulang sendiri! Lepaskan!" Arlan mencoba menepis tangan Lukman, tapi tenaganya sudah terkuras.
"Tuan, ingat. Besok adalah hari pernikahan Anda dengan Nona Kirana. Jangan sampai Nyonya dan Tuan besar melihat Anda dalam keadaan seperti ini. Kita harus segera pulang." Lukman membungkuk sedikit, berbicara dengan suara rendah namun tegas.
"...Baiklah. Baiklah! Aku ikut. Jangan banyak bicara lagi. Cepat bantu aku berjalan!" Ketika menyadari perkataan Lukman, ekspresi wajahnya berubah dari marah menjadi putus asa
"Tentu, Tuan. Mari kita pulang." Lukman segera memapah Arlan keluar dari bar, mengabaikan tatapan heran beberapa pengunjung lain
Lukman tidak sedikitpun merasa tersinggung dengan amarah Arlan.
Selama 30 tahun lebih menjadi bagian dari keluarga Wijaya, ia telah melihat Arlan tumbuh sejak bayi hingga menjadi pria dewasa.
Posisi sebagai supir Pak Bambang Wijaya hanyalah sebuah sebutan, karena bagi seluruh keluarga, Lukman sudah menjadi penasihat, pelindung, dan keluarga itu sendiri.
**
Setelah berhasil memapah dan mendudukkan Arlan di bangku belakang, Lukman menghela napas.
Dengan hati-hati, ia merogoh saku jas sang majikan yang terkulai lemas. Ia mencari kunci mobil.
Setelah menemukannya, Lukman keluar dan menghampiri seseorang di sudut parkiran.
"Ini kunci mobil tuan muda," ucapnya seraya menyerahkan kunci itu.
"Nanti kamu bawa dan ikuti saya ke rumah." Pria itu mengangguk.
"Baik, Paman. Eh, Pak."
Seiring mobil mulai bergerak meninggalkan keramaian, Arlan kembali tenggelam dalam igauan.
"Lia... Lia... bangunlah, sayang... aku merindukanmu," bisiknya lirih, suaranya terangkai dari kerinduan yang mendalam.
Di bangku belakang, Arlan terbuai dalam igauannya, memanggil nama Lia tanpa henti.
Lukman, yang telah menganggap pria 27 tahun itu seperti anaknya sendiri, hanya bisa menatap nanar.
Sungguh tak tega ia melihat tuan mudanya terhimpit pilihan kejam, menikahi gadis lain atau kehilangan cinta sejatinya.
Ironisnya, satu-satunya jalan keluar yang dipilih Arlan hanyalah mabuk-mabukan di bar, melampiaskan kekacauan batinnya.
Setelah berkendara selama 45 menit, pukul dua dini hari, mereka tiba di sebuah rumah megah.
Lukman menekan klakson, dan gerbang tinggi nan kokoh itu terbuka secara otomatis.
Bersama seorang pria bernama Bima yang tadi membawa mobil Arlan, Lukman memapah Arlan masuk.
Bima tak henti-hentinya mengamati setiap sudut halaman rumah yang begitu luas, memancarkan aura kemewahan yang tak terhingga.
"Perhatikan jalanmu, Bima," tegur Lukman, menariknya dari lamunan.
Sedari tadi mata Bima tak lepas dari kebun dan area parkir yang begitu luas, mencerna betapa besarnya kekayaan keluarga Wijaya.
Di depan pintu utama yang menjulang, Lukman menekan bel. Tak lama, Bi Ijah membuka pintu dengan raut terkejut.
"Ya Tuhan, ada apa dengan tuan muda?" tanyanya, mencium aroma alkohol.
"Dia mabuk?" Lukman mengangguk singkat.
"Sudah, jangan banyak tanya, saya bawa ke kamarnya dulu." Belum jauh melangkah, suara berat Pak Bambang menghentikan mereka.
"Ada apa dengannya?" Lukman dan Bima nyaris melompat kaget.
"Dia mabuk lagi?" tanya Pak Bambang, nada suaranya mengeras.
"Saya menemukannya di klub," jawab Lukman, menunduk.
"Ya sudah, bawa dia ke kamar. Dan pastikan besok dia siap untuk menikah dengan Kirana," perintah Pak Bambang.
Lukman mengangguk, melanjutkan langkah, memapah Arlan menaiki tangga yang terasa begitu berat.
Dengan susah payah, Lukman berhasil membaringkan Arlan di atas ranjang yang terlihat sangat mewah dan luas.
Bima yang sedari tadi terdiam, tak bisa lagi menahan kekagumannya.
Matanya membulat, menatap sekeliling kamar yang tertata rapi.
"Paman, ruangannya luas dan lihat, mewah sekali," bisiknya polos.
Lukman yang menyadari risiko ucapan ponakannya, segera membungkamnya.
"Ssst... jaga ucapanmu. Ayo kita keluar," bisik Lukman, menarik tangan Bima agar segera meninggalkan kamar.
**
Gerakan tangannya menyisir rambut terasa hampa, seiring dengan hatinya yang dipaksa menerima kenyataan.
Gadis 21 tahun itu menatap kosong pada bayangan dirinya di cermin.
Beasiswa yang baru saja ia dapatkan terasa seperti ejekan ironis, sebuah janji palsu tentang masa depan yang lebih baik.
Namun, semua itu sirna dalam satu kalimat paksaan dari bibinya. "Kau harus menikah".
Masa depannya, yang seharusnya penuh dengan buku dan ilmu, kini hanyalah perjanjian yang mengikatnya dengan orang yang tidak ia kenal.
Bagi Kirana, dua tahun bekerja serabutan hanyalah batu loncatan menuju gerbang perkuliahan.
Namun, harapannya luluh lantak di hadapan bibinya. Wanita yang seharusnya menjadi pelindungnya itu justru mengkhianati janji untuk membiayai kuliahnya.
Dengan mata penuh ancaman, bibinya memaksa Kirana menikahi calon suami sepupunya, seorang lelaki yang tidak pernah ia lihat.
Jika menolak, hutang masa lalu ibunya menjadi sandera.
Kirana tidak memiliki cara untuk membuktikan kebenaran perihal hutang yang ditinggalkan ibunya.
Bibinya adalah satu-satunya kerabat yang tersisa, namun justru ia yang menjadi alat pemeras.
Kecurigaan merayap di hatinya, memikirkan pria seperti apa yang akan dinikahkan dengannya.
Mungkinkah sudah tua, cacat, atau memiliki kekurangan lain? Bibinya tak akan begitu tenang memaksanya menikah jika tidak ada yang disembunyikan.
Di atas ranjang, air matanya tak terbendung saat merindukan orang tuanya.
"Ibu... Ayah... Aku merindukan kalian," bisiknya.
"Maafkan aku, aku belum bisa menjadi guru seperti yang kalian impikan." Sambil menangis sesenggukan, ia memohon restu untuk pernikahannya esok.
"Aku harap kalian merestui ku." Tangisnya berhenti saat rasa lelah mengalahkan segalanya, membawanya ke dalam tidur dengan mata sembab.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
HNP_FansSNSD/Army
bagus kak ceritanya aku mampir jga, semangat 💪💪.
2025-10-06
0
Wang Lee
Mampir thor🙏
2025-10-13
0