**
Pagi itu, Kirana bangun pukul empat subuh, mengawali harinya dengan rutinitas ibadah yang menenangkan jiwa, seolah mencoba mencari kedamaian terakhir.
Ketukan keras di pintu tiba-tiba memecah kesunyian.
"Kirana! Cepat buka pintunya!" teriak Bu Sinta dengan nada tak sabar. "Lama sekali, kita harus segera bersiap ke hotel!"
Bu Sinta menyodorkan sebuah kebaya usang yang tampak jauh dari kata layak.
Kebaya itu, dengan motifnya yang ketinggalan zaman dan ukurannya yang tidak pas, seolah mencerminkan nasib Kirana.
Ia menatap pakaian di tangannya dengan tatapan tak percaya, merasa diperlakukan layaknya barang bekas yang tak berharga.
"Cepat, jangan buang-buang waktu!" desak Bu Sinta tanpa peduli.
Kirana dengan ragu menunjuk cacat pada kebaya itu.
"Tapi, Bi... tidak salah, kan? Ini kebayanya ada yang bolong."
Namun, bibinya tak sedikit pun menunjukkan simpati. Di benaknya, Kirana hanyalah pengantin sementara, boneka pengganti yang akan dicampakkan begitu saja oleh keluarga Wijaya setelah putrinya sadar.
Dengan nada sinis, Bu Sinta menyambar,
"Pakai saja! Hanya itu yang cocok buat kamu." Ia kemudian pergi, meninggalkan Kirana dengan kebaya lusuh dan hati yang hancur.
Kirana terpaksa menerima, mencoba mencari sisa-sisa harapan untuk memperbaiki kebaya yang seolah mencerminkan takdirnya yang tak utuh.
Selesai mengenakan kebaya yang lusuh, Kirana melangkah ragu menghampiri paman dan bibinya.
Tatapan tajam Bu Sinta langsung mengarah ke wajahnya.
"Kamu dandan, ya?" selidiknya penuh curiga.
"Tidak, Bi," jawab Kirana lirih.
Wajahnya memang mulus, bulu matanya lentik, dan alisnya tebal terukir alami, seolah sudah dirias, meskipun tidak.
"Kenapa lama sekali? Pasti berdandan, kan? Di sana juga nanti ada yang meriasmu! Dasar centil!" sembur Bu Sinta dengan nada merendahkan.
Kirana memejamkan mata, menahan perih. Ancaman hutang yang membelenggunya seolah menjadi tali yang mencekiknya.
Saat ia kesulitan melangkah dengan sepatu berhak lima sentimeter, sebuah tangan kokoh mengulur.
"Ayo Nak, paman bantu," kata Pak Bram, suaranya lembut. Ia menuntun Kirana ke mobil dan membukakan pintu, satu-satunya kehangatan di tengah kekejaman yang mendera.
Di dalam mobil, Kirana tak bisa menahan rasa penasarannya.
"Bi, dimana Lia?" tanyanya.
Sejak datang dari Semarang, ia tak pernah melihat sepupunya. Rasa bersalah menghantuinya, membayangkan Lia hancur karena pernikahan yang seharusnya miliknya itu.
"Dia ada di luar negeri," jawab Bu Sinta, enteng, seolah menyembunyikan bangkai.
Ia tahu, jika Kirana mengetahui kebenaran, pernikahannya dengan Arlan akan batal.
Kirana kembali bertanya dengan nada yang penuh keraguan. "Benarkah itu? Dia tahukan jika aku akan menikah dengan calon suaminya?"
Tiba-tiba, Pak Bram menginjak rem mobil dengan kasar. Ketiganya terdorong ke depan. Ketegangan yang mengudara di dalam mobil langsung pecah, menyisakan keheningan yang mencekam.
"Ada apa sih, Pah? Hampir aja Mama jantungan!" tanya Bu Sinta, suaranya tajam.
"Tadi ada kucing lewat, Ma," jawab Pak Bram, suaranya terdengar goyah.
Hati kecilnya merasa cemas. Ia teringat akan tanggung jawab besar yang harus ia pikul demi keluarganya. Ia tahu bahwa keputusan yang harus diambil tidak mudah, namun demi masa depan Lia dan perusahaan, ia merasa terdorong untuk melangkah maju.
Kirana yang merasa aneh dengan kejadian tersebut bertanya,
"Paman kenapa?"
"Ah... tidak, tidak... Paman tidak apa-apa," jawab Pak Bram dengan nada buru-buru, menyalakan kembali mobilnya.
Sementara pikirannya dipenuhi dengan berbagai pertimbangan, Pak Bram hanya bisa melanjutkan perjalanan dengan harapan dapat menemukan solusi terbaik.
**
"Tuan muda," panggil salah satu pelayan, suaranya halus namun terdengar jelas di balik pintu kamar yang tertutup.
Empat pelayan yang ditugaskan membangunkan Arlan sudah berdiri di sana selama setengah jam, mengetuk berulang kali tanpa hasil.
"Hah! Berisik sekali!" teriak Arlan dari dalam, kesal. Ia menarik bantal untuk menutupi kepalanya, berusaha menghindari kebisingan yang mengganggu tidurnya.
Tiba-tiba, Pras, asisten kepercayaan Pak Bambang, datang.
"Kenapa kalian masih di sini? Di mana Tuan Muda?" tanyanya dengan tegas.
"Tuan Arlan mengunci kamar, Pak. Kami sudah ketuk selama setengah jam, tapi tidak dihiraukan," jawab salah satu pelayan, cemas.
Pras mendengus.
"Astaga. Cepat buka pintunya, pakai kunci duplikat ini." Dengan enggan, ia menyerahkan kunci duplikat itu, Memastikan tugas mereka selesai tepat waktu.
Pintu kamar terbuka perlahan, memperlihatkan pemandangan berantakan, kemeja dan celana panjang Arlan berserakan di lantai, dan tubuhnya masih terlelap.
"Tuan muda," panggil Pras, suaranya tenang.
Ia mengguncang tubuh Arlan dengan pelan, berusaha membangunkannya dari tidur lelap.
Arlan tersentak bangun, matanya yang pening karena sisa alkohol melotot kaget melihat Pras dan beberapa pelayan sudah berdiri di dekat tempat tidurnya.
"Bagaimana kalian bisa masuk?" tanyanya, suaranya serak.
Pras mengangkat beberapa kunci duplikat.
"Dengan ini, Tuan," jawabnya tanpa ekspresi.
"Hah! Keluar kalian semua!" bentak Arlan. "Mengganggu istirahatku saja!"
Namun, tak ada yang bergerak.
"Kenapa masih diam? Keluar!" teriaknya lagi.
"Apa Anda lupa, Tuan? Hari ini Anda akan menikah dengan Nona Kirana," kata Pras, mencoba mengingatkan Arlan yang tampak keras kepala.
"Sialan!" umpat Arlan.
"Tuan dan Nyonya sudah menunggu di bawah. Dan mereka..." Pras mencoba melanjutkan, namun Arlan memotong dengan cepat.
"Ya... ya... aku tahu apa yang harus kulakukan!" Arlan menyambar handuk yang dipegang pelayan di dekatnya.
Sembari melangkah gontai ke kamar mandi, Pras sudah berbalik pergi, menuju lantai bawah.
Setelah Pras pergi, para pelayan mulai beraksi. Mereka bukan sembarang pelayan, melainkan tim ahli penata gaya ternama.
Di tangan mereka, terbentang koleksi jas, kemeja, dan sepatu karya desainer kenamAan.
Busana bernilai ratusan juta rupiah yang seharusnya dikenakan dengan bangga, kini terasa hampa, sama seperti pernikahan yang akan dilangsungkan.
**
Tepat pukul delapan, Arlan menuruni tangga, menghentikan setiap pasang mata di ruangan.
Dalam balutan jas hitam, kemeja putih, dan celana panjang yang pas, ia tampak begitu memukau dan memancarkan aura ketampanan yang tak terbantahkan.
Kerumunan kerabat dan saudara yang menunggu kedatangan calon pengantin sontak terdiam, terpesona oleh kehadirannya.
Namun, di balik tampilan yang sempurna itu, tersimpan hati yang hampa dan dipenuhi keterpaksaan.
Ketika Arlan turun tangga, seorang gadis kecil bernama Aishtiya berlari menghampirinya, melepaskan diri dari ayahnya.
"Om... om Arlan!" panggil Aishtiya dengan riang.
Cakra, yang khawatir putrinya akan mengganggu, memanggilnya.
"Aishh... sini sayang," panggil Cakra.
"Enda mau, Papi! Aishh mau sama Om Arlan!" balas Aishtiya dengan suara cadel.
Cakra tersenyum kecil melihat tingkah polos putrinya.
"Baiklah, tapi sebentar saja ya."
Aishtiya segera menghampiri Arlan dan mencium punggung tangannya dengan hormat, lalu memeluk kaki Arlan.
"Om Arlan ganteng sekali hari ini!" serunya, membuat beberapa tamu tersenyum.
Tanpa mengatakan apapun, Arlan langsung menggendong aish lalu berjalan menuju ke mobil yang sudah terparkir didepan.
Hatinya memang sedingin es, namun jika keponakannya itu merengek manja. Dia tidak akan tega mengabaikannya.
"Biarkan saja, Nak. Setelah ini, Arlan akan jarang lagi bermain dengan Aish," kata Bu Dini, menahan tangan anaknya, Cakra.
Ada nada kesedihan tersembunyi di balik kata-katanya.
"Tapi, Ma... bagaimana kalau Aish malah mengganggu acara Arlan?" Cakra masih ragu.
"Tidak akan. Dia cucuku yang pintar. Untuk sekarang, biarkan saja. Setelah sampai hotel, Mama akan membujuk gadis kecilmu," jawab Bu Dini menenangkan.
"Baiklah," Cakra akhirnya menyerah.
"Cepatlah bergegas! Keluarga Pak Bram pasti sudah di sana." Mereka pun bergegas mengikuti mobil Arlan yang sudah melaju lebih dulu, meninggalkan keheningan yang penuh makna.
**
"Wah, Nona memang dasarnya cantik," puji penata rias itu. "Setelah dipoles sedikit, jadi semakin cantik."
Kirana menatap pantulan dirinya di cermin, merasa seakan melihat orang lain. Riasan itu membuatnya begitu berbeda dari biasanya.
Meskipun wajahnya memang rupawan secara alami, riasan tebal membuat penampilannya semakin sempurna.
Namun, kekaguman itu bercampur dengan rasa cemas yang tak berkesudahan.
"Seperti apa calon suamiku?" gumamnya dalam hati.
"Apakah pria tua? Atau memiliki kekurangan?" Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantuinya.
Tak lama berselang, Bu Sinta masuk. Raut wajahnya langsung berubah masam ketika melihat gaun mewah yang membalut tubuh Kirana. Ia menyadari niatnya untuk mempermalukan Kirana dengan kebaya bekas gagal total.
Keluarga Wijaya telah menyiapkan segalanya. Tanpa banyak bicara, Bu Sinta menuntun keponakannya menuju pelaminan.
Langkah Kirana menarik semua perhatian. Bisik-bisik mulai terdengar di antara para tamu, mempertanyakan mengapa calon pengantin wanita berganti. Mereka yakin tunangan Arlan adalah Lia, bukan Kirana.
Namun, semua bisik-bisik itu segera dibantah oleh sosok Kirana yang berjalan anggun menuju pelaminan.
Penampilannya memukau, membuat kecantikan Lia, mantan kekasih Arlan, seolah tak ada artinya.
Dengan postur tubuh yang ramping dan paras yang menawan, Kirana tampak sempurna sebagai pendamping pemilik Bumi Wijaya Corporation.
Arlan, yang menyadari mata semua orang tertuju pada Kirana, ikut memandang ke arahnya.
Ia terpana.
Meskipun terpaksa menikah, kecantikan Kirana tak dapat dimungkiri.
Pandangan pertama itu menggetarkan, memunculkan percikan ketertarikan yang tak terduga. Tatapan mereka bertemu, mengunci satu sama lain.
Sebuah pertemuan yang ironis, terjadi di saat mereka akan mengucap janji suci.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments