NovelToon NovelToon

Cinta Sang Ceo

Besok Menikah

Arlan, calon mempelai pria yang seharusnya berbahagia, justru memilih pelukan kesunyian bar daripada kehangatan keluarga.

Botol-botol kosong di depannya menjadi saksi bisu dari keraguan yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.

Semua persiapan telah dilalui dengan sempurna sesuai adat, seolah menuntunnya pada hari kebahagiaan. Tapi bagi Arlan, justru hari itu adalah garis akhir dari kegelisahan yang ia coba bunuh dengan minuman keras.

"Aku tidak bisa menikahi wanita selain kamu, Lia. Apa yang harus aku lakukan?" desah Arlan, suaranya tercekat oleh keputusasaan. Ia menenggak kembali minumannya, berharap cairan pahit itu bisa menenggelamkan dilema yang tak kunjung selesai di hatinya.

Sudah 1 minggu, sejak kecelakaan yang menimpa kekasihnya. Lia tak pernah bangun, dia mengalami koma. Padahal mereka sudah merencanakan pesta pernikahan yang begitu meriah, bahkan undangan sudah disebar jauh-jauh hari.

Kecelakaan itu terjadi saat Lia sedang berlibur dengan beberapa temannya, namun naas mobil yang ditumpanginya oleng dan hampir masuk jurang. Beruntungnya teman-temannya selamat. Sedangkan hanya dia sendiri yang koma.

Tak ada waktu bagi Arlan untuk mencerna takdir. Dalam hitungan hari, ia harus beralih dari kekasih yang setia menjadi calon suami yang dipaksa menikah.

Sebuah keputusan yang dibuat oleh keluarga di saat ia masih berjuang menghadapi kenyataan pahit Lia.

Arlan hanya bisa menerima wanita yang dipilihkan untuknya, sembari berharap pernikahan ini tak akan melukai hati Lia jika suatu saat ia terbangun

"Pak, sudah cukup. Anda sudah terlalu banyak minum. Sebaiknya Anda pulang." Ucap seorang bartender dengan nada khawatir

"Itu bukan urusanmu! Tuangkan lagi, cepat!" Arlan menjentikkan jari ke gelas kosong, suaranya sedikit cadel

"Maaf, Pak. Saya tidak bisa." Bartender sengaja mengabaikan perintah itu dan mulai membersihkan gelas di depannya

"Sudah cukup, Tuan Arlan. Kita pulang sekarang."Lukman muncul tiba-tiba, merebut gelas dari tangan Arlan. Ia adalah sopir keluarga.

"Lukman! Kamu berani-beraninya! Aku belum selesai. Kamu pulang saja!" Kata arlan.l, Ia menatap Lukman dengan mata merah, penuh amarah.

"Tidak, Tuan. Nyonya memerintahkan saya untuk menjemput Anda dan memastikan Anda pulang dengan selamat." Tetapi supirnya itu memegang bahu Arlan dengan kuat, tapi sopan.

"Aku bisa pulang sendiri! Lepaskan!" Arlan mencoba menepis tangan Lukman, tapi tenaganya sudah terkuras.

"Tuan, ingat. Besok adalah hari pernikahan Anda dengan Nona Kirana. Jangan sampai Nyonya dan Tuan besar melihat Anda dalam keadaan seperti ini. Kita harus segera pulang." Lukman membungkuk sedikit, berbicara dengan suara rendah namun tegas.

"...Baiklah. Baiklah! Aku ikut. Jangan banyak bicara lagi. Cepat bantu aku berjalan!" Ketika menyadari perkataan Lukman, ekspresi wajahnya berubah dari marah menjadi putus asa

"Tentu, Tuan. Mari kita pulang." Lukman segera memapah Arlan keluar dari bar, mengabaikan tatapan heran beberapa pengunjung lain

Lukman tidak sedikitpun merasa tersinggung dengan amarah Arlan.

Selama 30 tahun lebih menjadi bagian dari keluarga Wijaya, ia telah melihat Arlan tumbuh sejak bayi hingga menjadi pria dewasa.

Posisi sebagai supir Pak Bambang Wijaya hanyalah sebuah sebutan, karena bagi seluruh keluarga, Lukman sudah menjadi penasihat, pelindung, dan keluarga itu sendiri.

**

Setelah berhasil memapah dan mendudukkan Arlan di bangku belakang, Lukman menghela napas.

Dengan hati-hati, ia merogoh saku jas sang majikan yang terkulai lemas. Ia mencari kunci mobil.

Setelah menemukannya, Lukman keluar dan menghampiri seseorang di sudut parkiran.

"Ini kunci mobil tuan muda," ucapnya seraya menyerahkan kunci itu.

"Nanti kamu bawa dan ikuti saya ke rumah." Pria itu mengangguk.

"Baik, Paman. Eh, Pak."

Seiring mobil mulai bergerak meninggalkan keramaian, Arlan kembali tenggelam dalam igauan.

"Lia... Lia... bangunlah, sayang... aku merindukanmu," bisiknya lirih, suaranya terangkai dari kerinduan yang mendalam.

Di bangku belakang, Arlan terbuai dalam igauannya, memanggil nama Lia tanpa henti.

Lukman, yang telah menganggap pria 27 tahun itu seperti anaknya sendiri, hanya bisa menatap nanar.

Sungguh tak tega ia melihat tuan mudanya terhimpit pilihan kejam, menikahi gadis lain atau kehilangan cinta sejatinya.

Ironisnya, satu-satunya jalan keluar yang dipilih Arlan hanyalah mabuk-mabukan di bar, melampiaskan kekacauan batinnya.

Setelah berkendara selama 45 menit, pukul dua dini hari, mereka tiba di sebuah rumah megah.

Lukman menekan klakson, dan gerbang tinggi nan kokoh itu terbuka secara otomatis.

Bersama seorang pria bernama Bima yang tadi membawa mobil Arlan, Lukman memapah Arlan masuk.

Bima tak henti-hentinya mengamati setiap sudut halaman rumah yang begitu luas, memancarkan aura kemewahan yang tak terhingga.

"Perhatikan jalanmu, Bima," tegur Lukman, menariknya dari lamunan.

Sedari tadi mata Bima tak lepas dari kebun dan area parkir yang begitu luas, mencerna betapa besarnya kekayaan keluarga Wijaya.

Di depan pintu utama yang menjulang, Lukman menekan bel. Tak lama, Bi Ijah membuka pintu dengan raut terkejut.

"Ya Tuhan, ada apa dengan tuan muda?" tanyanya, mencium aroma alkohol.

"Dia mabuk?" Lukman mengangguk singkat.

"Sudah, jangan banyak tanya, saya bawa ke kamarnya dulu." Belum jauh melangkah, suara berat Pak Bambang menghentikan mereka.

"Ada apa dengannya?" Lukman dan Bima nyaris melompat kaget.

"Dia mabuk lagi?" tanya Pak Bambang, nada suaranya mengeras.

"Saya menemukannya di klub," jawab Lukman, menunduk.

"Ya sudah, bawa dia ke kamar. Dan pastikan besok dia siap untuk menikah dengan Kirana," perintah Pak Bambang.

Lukman mengangguk, melanjutkan langkah, memapah Arlan menaiki tangga yang terasa begitu berat.

Dengan susah payah, Lukman berhasil membaringkan Arlan di atas ranjang yang terlihat sangat mewah dan luas.

Bima yang sedari tadi terdiam, tak bisa lagi menahan kekagumannya.

Matanya membulat, menatap sekeliling kamar yang tertata rapi.

"Paman, ruangannya luas dan lihat, mewah sekali," bisiknya polos.

Lukman yang menyadari risiko ucapan ponakannya, segera membungkamnya.

"Ssst... jaga ucapanmu. Ayo kita keluar," bisik Lukman, menarik tangan Bima agar segera meninggalkan kamar.

**

Gerakan tangannya menyisir rambut terasa hampa, seiring dengan hatinya yang dipaksa menerima kenyataan.

Gadis 21 tahun itu menatap kosong pada bayangan dirinya di cermin.

Beasiswa yang baru saja ia dapatkan terasa seperti ejekan ironis, sebuah janji palsu tentang masa depan yang lebih baik.

Namun, semua itu sirna dalam satu kalimat paksaan dari bibinya. "Kau harus menikah".

Masa depannya, yang seharusnya penuh dengan buku dan ilmu, kini hanyalah perjanjian yang mengikatnya dengan orang yang tidak ia kenal.

Bagi Kirana, dua tahun bekerja serabutan hanyalah batu loncatan menuju gerbang perkuliahan.

Namun, harapannya luluh lantak di hadapan bibinya. Wanita yang seharusnya menjadi pelindungnya itu justru mengkhianati janji untuk membiayai kuliahnya.

Dengan mata penuh ancaman, bibinya memaksa Kirana menikahi calon suami sepupunya, seorang lelaki yang tidak pernah ia lihat.

Jika menolak, hutang masa lalu ibunya menjadi sandera.

Kirana tidak memiliki cara untuk membuktikan kebenaran perihal hutang yang ditinggalkan ibunya.

Bibinya adalah satu-satunya kerabat yang tersisa, namun justru ia yang menjadi alat pemeras.

Kecurigaan merayap di hatinya, memikirkan pria seperti apa yang akan dinikahkan dengannya.

Mungkinkah sudah tua, cacat, atau memiliki kekurangan lain? Bibinya tak akan begitu tenang memaksanya menikah jika tidak ada yang disembunyikan.

Di atas ranjang, air matanya tak terbendung saat merindukan orang tuanya.

"Ibu... Ayah... Aku merindukan kalian," bisiknya.

"Maafkan aku, aku belum bisa menjadi guru seperti yang kalian impikan." Sambil menangis sesenggukan, ia memohon restu untuk pernikahannya esok.

"Aku harap kalian merestui ku." Tangisnya berhenti saat rasa lelah mengalahkan segalanya, membawanya ke dalam tidur dengan mata sembab.

***

Ketertarikan

**

Pagi itu, Kirana bangun pukul empat subuh, mengawali harinya dengan rutinitas ibadah yang menenangkan jiwa, seolah mencoba mencari kedamaian terakhir.

Ketukan keras di pintu tiba-tiba memecah kesunyian.

"Kirana! Cepat buka pintunya!" teriak Bu Sinta dengan nada tak sabar. "Lama sekali, kita harus segera bersiap ke hotel!"

Bu Sinta menyodorkan sebuah kebaya usang yang tampak jauh dari kata layak.

Kebaya itu, dengan motifnya yang ketinggalan zaman dan ukurannya yang tidak pas, seolah mencerminkan nasib Kirana.

Ia menatap pakaian di tangannya dengan tatapan tak percaya, merasa diperlakukan layaknya barang bekas yang tak berharga.

"Cepat, jangan buang-buang waktu!" desak Bu Sinta tanpa peduli.

Kirana dengan ragu menunjuk cacat pada kebaya itu.

"Tapi, Bi... tidak salah, kan? Ini kebayanya ada yang bolong."

Namun, bibinya tak sedikit pun menunjukkan simpati. Di benaknya, Kirana hanyalah pengantin sementara, boneka pengganti yang akan dicampakkan begitu saja oleh keluarga Wijaya setelah putrinya sadar.

Dengan nada sinis, Bu Sinta menyambar,

"Pakai saja! Hanya itu yang cocok buat kamu." Ia kemudian pergi, meninggalkan Kirana dengan kebaya lusuh dan hati yang hancur.

Kirana terpaksa menerima, mencoba mencari sisa-sisa harapan untuk memperbaiki kebaya yang seolah mencerminkan takdirnya yang tak utuh.

Selesai mengenakan kebaya yang lusuh, Kirana melangkah ragu menghampiri paman dan bibinya.

Tatapan tajam Bu Sinta langsung mengarah ke wajahnya.

"Kamu dandan, ya?" selidiknya penuh curiga.

"Tidak, Bi," jawab Kirana lirih.

Wajahnya memang mulus, bulu matanya lentik, dan alisnya tebal terukir alami, seolah sudah dirias, meskipun tidak.

"Kenapa lama sekali? Pasti berdandan, kan? Di sana juga nanti ada yang meriasmu! Dasar centil!" sembur Bu Sinta dengan nada merendahkan.

Kirana memejamkan mata, menahan perih. Ancaman hutang yang membelenggunya seolah menjadi tali yang mencekiknya.

Saat ia kesulitan melangkah dengan sepatu berhak lima sentimeter, sebuah tangan kokoh mengulur.

"Ayo Nak, paman bantu," kata Pak Bram, suaranya lembut. Ia menuntun Kirana ke mobil dan membukakan pintu, satu-satunya kehangatan di tengah kekejaman yang mendera.

Di dalam mobil, Kirana tak bisa menahan rasa penasarannya.

"Bi, dimana Lia?" tanyanya.

Sejak datang dari Semarang, ia tak pernah melihat sepupunya. Rasa bersalah menghantuinya, membayangkan Lia hancur karena pernikahan yang seharusnya miliknya itu.

"Dia ada di luar negeri," jawab Bu Sinta, enteng, seolah menyembunyikan bangkai.

Ia tahu, jika Kirana mengetahui kebenaran, pernikahannya dengan Arlan akan batal.

Kirana kembali bertanya dengan nada yang penuh keraguan. "Benarkah itu? Dia tahukan jika aku akan menikah dengan calon suaminya?"

Tiba-tiba, Pak Bram menginjak rem mobil dengan kasar. Ketiganya terdorong ke depan. Ketegangan yang mengudara di dalam mobil langsung pecah, menyisakan keheningan yang mencekam.

"Ada apa sih, Pah? Hampir aja Mama jantungan!" tanya Bu Sinta, suaranya tajam.

"Tadi ada kucing lewat, Ma," jawab Pak Bram, suaranya terdengar goyah.

Hati kecilnya merasa cemas. Ia teringat akan tanggung jawab besar yang harus ia pikul demi keluarganya. Ia tahu bahwa keputusan yang harus diambil tidak mudah, namun demi masa depan Lia dan perusahaan, ia merasa terdorong untuk melangkah maju.

Kirana yang merasa aneh dengan kejadian tersebut bertanya,

"Paman kenapa?"

"Ah... tidak, tidak... Paman tidak apa-apa," jawab Pak Bram dengan nada buru-buru, menyalakan kembali mobilnya.

Sementara pikirannya dipenuhi dengan berbagai pertimbangan, Pak Bram hanya bisa melanjutkan perjalanan dengan harapan dapat menemukan solusi terbaik.

**

"Tuan muda," panggil salah satu pelayan, suaranya halus namun terdengar jelas di balik pintu kamar yang tertutup.

Empat pelayan yang ditugaskan membangunkan Arlan sudah berdiri di sana selama setengah jam, mengetuk berulang kali tanpa hasil.

"Hah! Berisik sekali!" teriak Arlan dari dalam, kesal. Ia menarik bantal untuk menutupi kepalanya, berusaha menghindari kebisingan yang mengganggu tidurnya.

Tiba-tiba, Pras, asisten kepercayaan Pak Bambang, datang.

"Kenapa kalian masih di sini? Di mana Tuan Muda?" tanyanya dengan tegas.

"Tuan Arlan mengunci kamar, Pak. Kami sudah ketuk selama setengah jam, tapi tidak dihiraukan," jawab salah satu pelayan, cemas.

Pras mendengus.

"Astaga. Cepat buka pintunya, pakai kunci duplikat ini." Dengan enggan, ia menyerahkan kunci duplikat itu, Memastikan tugas mereka selesai tepat waktu.

Pintu kamar terbuka perlahan, memperlihatkan pemandangan berantakan, kemeja dan celana panjang Arlan berserakan di lantai, dan tubuhnya masih terlelap.

"Tuan muda," panggil Pras, suaranya tenang.

Ia mengguncang tubuh Arlan dengan pelan, berusaha membangunkannya dari tidur lelap.

Arlan tersentak bangun, matanya yang pening karena sisa alkohol melotot kaget melihat Pras dan beberapa pelayan sudah berdiri di dekat tempat tidurnya.

"Bagaimana kalian bisa masuk?" tanyanya, suaranya serak.

Pras mengangkat beberapa kunci duplikat.

"Dengan ini, Tuan," jawabnya tanpa ekspresi.

"Hah! Keluar kalian semua!" bentak Arlan. "Mengganggu istirahatku saja!"

Namun, tak ada yang bergerak.

"Kenapa masih diam? Keluar!" teriaknya lagi.

"Apa Anda lupa, Tuan? Hari ini Anda akan menikah dengan Nona Kirana," kata Pras, mencoba mengingatkan Arlan yang tampak keras kepala.

"Sialan!" umpat Arlan.

"Tuan dan Nyonya sudah menunggu di bawah. Dan mereka..." Pras mencoba melanjutkan, namun Arlan memotong dengan cepat.

"Ya... ya... aku tahu apa yang harus kulakukan!" Arlan menyambar handuk yang dipegang pelayan di dekatnya.

Sembari melangkah gontai ke kamar mandi, Pras sudah berbalik pergi, menuju lantai bawah.

Setelah Pras pergi, para pelayan mulai beraksi. Mereka bukan sembarang pelayan, melainkan tim ahli penata gaya ternama.

Di tangan mereka, terbentang koleksi jas, kemeja, dan sepatu karya desainer kenamAan.

Busana bernilai ratusan juta rupiah yang seharusnya dikenakan dengan bangga, kini terasa hampa, sama seperti pernikahan yang akan dilangsungkan.

**

Tepat pukul delapan, Arlan menuruni tangga, menghentikan setiap pasang mata di ruangan.

Dalam balutan jas hitam, kemeja putih, dan celana panjang yang pas, ia tampak begitu memukau dan memancarkan aura ketampanan yang tak terbantahkan.

Kerumunan kerabat dan saudara yang menunggu kedatangan calon pengantin sontak terdiam, terpesona oleh kehadirannya.

Namun, di balik tampilan yang sempurna itu, tersimpan hati yang hampa dan dipenuhi keterpaksaan.

Ketika Arlan turun tangga, seorang gadis kecil bernama Aishtiya berlari menghampirinya, melepaskan diri dari ayahnya.

"Om... om Arlan!" panggil Aishtiya dengan riang.

Cakra, yang khawatir putrinya akan mengganggu, memanggilnya.

"Aishh... sini sayang," panggil Cakra.

"Enda mau, Papi! Aishh mau sama Om Arlan!" balas Aishtiya dengan suara cadel.

Cakra tersenyum kecil melihat tingkah polos putrinya.

"Baiklah, tapi sebentar saja ya."

Aishtiya segera menghampiri Arlan dan mencium punggung tangannya dengan hormat, lalu memeluk kaki Arlan.

"Om Arlan ganteng sekali hari ini!" serunya, membuat beberapa tamu tersenyum.

Tanpa mengatakan apapun, Arlan langsung menggendong aish lalu berjalan menuju ke mobil yang sudah terparkir didepan.

Hatinya memang sedingin es, namun jika keponakannya itu merengek manja. Dia tidak akan tega mengabaikannya.

"Biarkan saja, Nak. Setelah ini, Arlan akan jarang lagi bermain dengan Aish," kata Bu Dini, menahan tangan anaknya, Cakra.

Ada nada kesedihan tersembunyi di balik kata-katanya.

"Tapi, Ma... bagaimana kalau Aish malah mengganggu acara Arlan?" Cakra masih ragu.

"Tidak akan. Dia cucuku yang pintar. Untuk sekarang, biarkan saja. Setelah sampai hotel, Mama akan membujuk gadis kecilmu," jawab Bu Dini menenangkan.

"Baiklah," Cakra akhirnya menyerah.

"Cepatlah bergegas! Keluarga Pak Bram pasti sudah di sana." Mereka pun bergegas mengikuti mobil Arlan yang sudah melaju lebih dulu, meninggalkan keheningan yang penuh makna.

**

"Wah, Nona memang dasarnya cantik," puji penata rias itu. "Setelah dipoles sedikit, jadi semakin cantik."

Kirana menatap pantulan dirinya di cermin, merasa seakan melihat orang lain. Riasan itu membuatnya begitu berbeda dari biasanya.

Meskipun wajahnya memang rupawan secara alami, riasan tebal membuat penampilannya semakin sempurna.

Namun, kekaguman itu bercampur dengan rasa cemas yang tak berkesudahan.

"Seperti apa calon suamiku?" gumamnya dalam hati.

"Apakah pria tua? Atau memiliki kekurangan?" Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantuinya.

Tak lama berselang, Bu Sinta masuk. Raut wajahnya langsung berubah masam ketika melihat gaun mewah yang membalut tubuh Kirana. Ia menyadari niatnya untuk mempermalukan Kirana dengan kebaya bekas gagal total.

Keluarga Wijaya telah menyiapkan segalanya. Tanpa banyak bicara, Bu Sinta menuntun keponakannya menuju pelaminan.

Langkah Kirana menarik semua perhatian. Bisik-bisik mulai terdengar di antara para tamu, mempertanyakan mengapa calon pengantin wanita berganti. Mereka yakin tunangan Arlan adalah Lia, bukan Kirana.

Namun, semua bisik-bisik itu segera dibantah oleh sosok Kirana yang berjalan anggun menuju pelaminan.

Penampilannya memukau, membuat kecantikan Lia, mantan kekasih Arlan, seolah tak ada artinya.

Dengan postur tubuh yang ramping dan paras yang menawan, Kirana tampak sempurna sebagai pendamping pemilik Bumi Wijaya Corporation.

Arlan, yang menyadari mata semua orang tertuju pada Kirana, ikut memandang ke arahnya.

Ia terpana.

Meskipun terpaksa menikah, kecantikan Kirana tak dapat dimungkiri.

Pandangan pertama itu menggetarkan, memunculkan percikan ketertarikan yang tak terduga. Tatapan mereka bertemu, mengunci satu sama lain.

Sebuah pertemuan yang ironis, terjadi di saat mereka akan mengucap janji suci.

***

Nyonya Arlan

**

Kirana tak menyangka jika calon suaminya seganteng ini. Tampan dan punya karisma tersendiri.

Mereka bak pasangan yang serasi cantik dan tampan. Baik Arlan maupun Kirana mereka nampak saling pandang untuk beberapa saat.

"Ehhmm." Cakra membuyarkan lamunan Arlan seketika. Tatapan Arlan pada Kirana tanpa sadar dipergoki oleh kakaknya sendiri.

"Ssstt... jangan diliatin terus. Nanti meleleh loh calonnya." Cakra tersenyum geli.

"Apaan sih, Kak." Arlan salah tingkah.

Buru-buru Arlan membuang muka untuk menghapus kegugupannya.

Bu Dini memasangkan kain putih transparan di atas kepala kedua mempelai, menandakan bahwa para saksi dan penghulu telah siap untuk memulai acara ijab kabul.

Mengingat status Kirana sebagai anak yatim piatu, perwalian untuk pernikahannya diserahkan kepada wali hakim.

Serangkaian acara dan doa-doa telah dipanjatkan sebelum ijab kabul.

Momen yang paling mendebarkan akhirnya tiba, tetapi perasaan Kirana dan Arlan sangatlah kontras.

Kirana gugup, sementara Arlan bergeming, karena pernikahan ini bukanlah kemauannya.

"Saudara Arlan, apakah Anda sudah siap?" tanya penghulu.

Hening sejenak. Arlan diam, dan keraguan itu membuat kedua orang tua serta para saudaranya saling bertukar pandang, khawatir jika Arlan tiba-tiba membatalkan pernikahan.

"Iya, siap, Pak," jawab Arlan.

Jawaban itu sontak membuat kedua orang tuanya merasa lega.

"Kita mulai saja," kata pak penghulu, menatap lurus ke arah Arlan.

"Bismillahirrahmanirrahim, Saudara Arlan Kurnia Wijaya bin Bambang wijaya, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Kirana Pratiwi binti Ahmad Santoso dengan maskawinnya berupa emas 75 gram dan uang sebesar dua juta dua puluh lima ribu rupiah dibayar tunai"

"Saya terima nikah dan kawinnya... Kirana Pratiwi binti Ahmad Santoso dengan mas kawinnya tersebut dibayar tunai"

"Sah.. "

"Sah.."

"Sah.."

Para tamu undangan terharu melihat Arlan berhasil mengucapkan ijab kabul dalam satu tarikan napas.

Sahabat dan kerabatnya turut bahagia, sebab pria tampan dan mapan yang selama ini diidam-idamkan banyak wanita itu akhirnya resmi menjadi suami orang.

Meskipun sebelumnya santer dikabarkan akan menikahi seorang model, rencana pernikahan Arlan tersebut rupanya kandas di tengah jalan.

Tanpa diduga, ia justru menikahi Kirana, seorang gadis sederhana yang pesonanya tak kalah memikat.

Desas-desus yang beredar menyebutkan bahwa Arlan mengakhiri hubungannya dengan tunangannya, Selia, karena dugaan perselingkuhan. Peristiwa tersebut mendahului kecelakaan tragis yang dialami oleh Selia.

Sejauh ini, Arlan masih belum tahu soal rumor tersebut.

Andaikan ia mendengarnya, Arlan tidak akan tinggal diam, ia pasti akan mengusut tuntas siapa dalang di balik berita buruk tentang mantan tunangannya.

Bu Dini, ibu Arlan, memberikan sebuah kotak perhiasan berisi sepasang cincin pernikahan yang cantik.

Ia menyodorkannya ke hadapan kedua mempelai, memberi isyarat agar Arlan dan Kirana segera saling memakaikan cincin.

Setelah bertukar cincin, Kirana mencoba meraih tangan Arlan untuk menyalaminya, sebagai tanda hormat kepada suaminya.

Namun, Arlan hanya diam, membuat Kirana merasa canggung karena tangannya tak mendapat balasan.

Meskipun Arlan merasa malas untuk berpura-pura bahagia, ia tak ingin mempermalukan Kirana.

Arlan mengulurkan tangan, dan saat menggenggam tangan Kirana, ia terkejut dengan teksturnya yang kasar.

Tidak seperti kebanyakan wanita, pikirnya, Kirana pastilah seorang pekerja keras.

Kirana yang masih diliputi kecanggungan lantas mencium punggung tangan suaminya. Saat Arlan balas mencium keningnya, debaran tak terduga muncul di dada Kirana, untuk pertama kalinya ia merasakan kedekatan dari pria yang kini sah menjadi suaminya.

Setelah melewati serangkaian acara pernikahan, Arlan dan Kirana menyambut tamu-tamu mereka.

Di tengah keramaian, sekelompok teman lama Arlan mendekat.

"Wah, akhirnya sah juga lu, Lan! Selamat ya, semoga langgeng sampai kakek nenek!" Eza memeluk Arlan.

Dimas menimpali sambil menyalami Arlan,

"Sampai maut memisahkan dong, Za! Ya nggak, Lan?" Dia tersenyum menggoda.

"Jadi imam yang baik buat Kirana ya, Bro. Tanggung jawab udah di tangan nih!"

Arlan membalasnya dengan senyum tipis, lalu menepuk keras punggung Dimas.

"Ini urusanku," bisiknya dingin. "Kau tidak perlu ikut campur."

Eza lekas menarik lengan Dimas. Mereka harus menghindari menjadi pusat perhatian di tengah keramaian.

Kirana hanya bisa membisu, menyembunyikan rasa tidak nyaman di balik senyuman manisnya.

Ia menyalami para tamu dan menerima ucapan selamat, bahkan saat mereka memanggilnya "nyonya Arlan".

Keramaian itu terasa asing, karena satu-satunya wajah yang dikenalnya hanyalah bibi dan pamannya, Bu Sinta dan Pak Bram.

Kirana tidak mengundang teman-teman nya karena pernikahan ini diadakan secara mendadak. Sehingga dia tidak sempat memberi kabar tentang pernikahan nya ini.

Karena pernikahan yang mendadak, Kirana tak dapat mengundang seorang pun temannya.

Sementara Bu Sinta memandang kirana sinis, batinnya dipenuhi keyakinan bahwa pernikahan Kirana dan Arlan tidak akan berlangsung lama. Ia percaya, begitu Lia kembali sadar, Kirana akan disingkirkAn dengan mudah.

**

Selesai sudah seluruh acara, kini Kirana dan Arlan menaiki mobil pengantin berhias bunga untuk menuju ke rumah orang tua Arlan.

Sepanjang jalan, tidak ada percakapan, hanya keheningan yang terasa.

Pak Lukman merasa kasihan pada istri majikannya itu, sebab ia sudah sangat paham dengan watak buruk Arlan saat sedang marah.

Ia hanya bisa berharap, Kirana bisa meredam amarah Arlan.

Begitu tiba di kediaman keluarga Wijaya, Kirana langsung terkesima dengan kemegahan dan luasnya rumah itu.

Seumur hidupnya, baru kali ini ia melihat rumah semewah dan sebesar itu secara langsung.

Lukman membukakan pintu untuk Kirana, sementara Arlan sudah lebih dulu turun.

"Kau mau tetap di situ?" tanya Arlan dingin.

Kirana yang terkejut hanya bisa terbata,

"A.. aku.. Mas?"

"Memangnya siapa lagi?" balas Arlan.

Kirana berjalan tertatih-tatih, kakinya terasa pegal setelah berdiri berjam-jam dengan sepatu hak tinggi yang tidak biasa ia pakai.

Lukman melihat kesulitan itu ingin menawarkan bantuan.

"Mari saya bantu, Nyonya," ucap Lukman.

Namun, Arlan langsung menyela.

"Tidak usah, Lukman! Biarkan dia jalan sendiri."

Lukman ragu,

"Tapi, Tuan..."

"Kau mau membantahku?" suara Arlan menajam, matanya melotot tajam ke arah pria yang lebih tua darinya itu.

Lukman menunduk, lalu meminta maaf lirih pada Kirana.

"Maafkan saya, Nyonya."

"Tidak apa-apa pak, saya masih bisa jalan sendiri." ucap Kirana.

Arlan berjalan mendahului Kirana dengan sikap acuh tak acuh, tanpa sedikit pun menawarkan bantuan.

Kedatangan mereka disambut hangat oleh keluarga Arlan.

Semua tampak bahagia, terutama Bu Dini, yang merasa lega karena putra bungsunya akhirnya menikah dengan wanita yang ia anggap jauh lebih baik dari Lia.

Segera, Bu Dini menghampiri Kirana yang berjalan di belakang Arlan.

"Arlan, istrimu kesulitan, jangan acuhkan dia begitu," kata sang ibu penuh peringatan.

"Tidak apa-apa, bu," jawab Kirana dengan suara lembut.

Arlan tetap berjalan menaiki tangga, namun langkahnya terhenti oleh panggilan ibu.

"Arlan..."

"Arlan..."

"Iya, iya!" Arlan berbalik, lalu melangkah cepat ke arah Kirana.

Tanpa kata, ia langsung mengangkat Kirana ke dalam gendongannya. Kirana terkejut bukan kepalang.

Arlan membawanya ke kamar di lantai atas, menurunkan Kirana di atas tempat tidur.

"Maaf, Mas, aku sudah merepotkan," ujar Kirana.

Bukannya menjawab, Arlan justru sibuk melepaskan jam tangan dan jas pernikahannya, menunjukkan sikap acuh Tak acuh.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!