Jum’at pagi sekitar pukul delapan, Bang Dani sudah nongkrong di Masjid As-Salam, masjid di Kampung Madani. Dengan seragam olahraga lengkap dengan celana training. Memegang sapu di tangan kanan dan pengki di tangan kiri.
Tampaknya dia tengah menunggu seseorang.
“Ah, akhirnya datang juga kalian,” serunya saat melihat beberapa pemuda datang ke masjid.
“Iyalah, Bang. Masak gak datang.” Yang bicara ternyata adalah Otong, yang sejak kejadian kemarin berubah menjadi baik, dan rajin ke masjid. Bukan hanya untuk menebus kesalahan dan janjinya pada Bang Dani. Akan tetapi, sekarang sudah datang dari kesadarannya sendiri.
Bahkan, kini dia sudah menjadi muadzin tetap di setiap waktu salat masuk. Sungguh, sebuah kemajuan yang luar biasa. Kini, dia juga berhasil mengajak beberapa rekan-rekannya sesama anak jalanan untuk bertobat dan berubah ke arah hidup yang lebih baik.
“Kita langsung saja ya, Tong. Ajak teman-temanmu untuk membersihkan masjid. Ada yang di dalam, shaf nya digulung dulu, kemudian disapu, pel, dan semprot cairan desinfektan, serta pewangi. Sebagian lain membersihkan kamar mandi, sebagian lagi temani gua bersihin teras.” Bang Dani memberikan pengarahan.
“Siap, Bang!” Beberapa pemuda itu sontak berpencar, melaksanakan tugas dan kewajiban masing-masing.
“Kopinye ade, Bang?” yang bertanya adalah Zainudin, tapi anak-anak di sini memanggilnya Pungky.
“Tenang aje lu, Ngky. Nanti, ade remaja putrinye datang kemari bawa bakal kite sarapan.” Bang Dani menjawab sambil tersenyum lugas.
Tak banyak bicara lagi, para pemuda dan Bang Dani segera bekerja dengan semangat membersihkan masjid dan pekarangannya.
Waktu berjalan, detik ke detik, menit ke menit. Bang Dani dengan dibantu Otong dan teman-teman dengan penuh semangat membersihkan Masjid As-Salam, hingga sekarang terlihat lebih bersih dan rapi.
“Ai … alangkah kotornya masjid ni. Masjid apa kandang kambing, ni!”
Tiba-tiba entah dari mana datangnya sebuah suara yang menggelegar mengagetkan mereka yang tengah asyik dan fokus membersihkan masjid.
Terutama Bang Dani. Hampir saja dia emosi dibuatnya, dengan cepat diangkatnya kepala menuju sumber suara.
“Oh, Tuan Soka, kirain siapa.” Setelah mengetahui dan maklum siapa yang datang, Bang Dani mencoba menegur orang yang tadi berbicara, yang ternyata adalah Tuan Soka, orang paling kaya di kampung Madani.
“Karena kotor itu lah, Wan,” melanjutkan Bang Dani berbicara, “kita harus ikut serta membersihkan masjid yang kita cintai ini.”
Tuan Soka tampak tidak sependapat dengan Bang Dani, terlihat dari ekspresi wajahnya yang tampak tidak senang.
“Ah, tak mau aku. Kan sudah ada pengurus Masjid yang bertanggung jawab. Kan, mereka sudah dapat gaji dari masjid ni, kenapa kita harus capek-capek ikut turun membersihkan?” sungutnya.
Bang Dani hanya bisa beristighfar, sambil mengelus dada sendiri. Mau mengelus dada orang lain takut kena gampar. “Istighfar, Wan. Ini kan rumah Allah. Apa salahnya jika punya waktu luang kita ikut membersihkan. Minimal tidak ikut mengotori.”
Tuan Soka mengibas-ngibaskan telapak tangan di depan muka, seakan tidak setuju dengan ucapan Bang Dani barusan. “Ehm, makan gaji buta berarti mereka, alangkah enaknya.”
Tuan Soka masih terus nyerocos sebelum akhirnya pergi meninggalkan masjid. Tinggal Bang Dani memperbanyak istighfar, kemudian kembali melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda.
Waktu berlalu dengan cepat, pekerjaan membersihkan masjid pun akhirnya selesai. Sesekali Bang Dani mengelap peluh yang membanjiri kening. “Tong, Abang pulang duluan, ye?” pamitnya pada Otong yang masih tampak sibuk membereskan peralatan kebersihan.
“Oh, ya Bang … bentar lagi juga ane nyusul, mau mandi dulu baru nanti ke masjid lagi.”
Bang Dani memberinya jempol, kemudian gegas berjalan menuju rumah untuk membersihkan badan, sebelum nanti akhirnya bersiap untuk salat Jum’at.
Usai mandi, memakai pakaian bersih, dia segera kembali berjalan menuju masjid, dengan membawa sajadah, serta tak lupa menyelipkan selembar uang berwarna hijau untuk nanti diinfaqkan.
Sampai di masjid, Bang Dani mencari tempat duduk di shaf barisan ke tiga. Dengan penuh khusyu’ dan khidmat segera dia menunaikan salat sunnah dua rekaat takhyatul masjid.
Usai salam dan berdoa, dia memperhatikan keadaan sekeliling. Kondisi masih cukup lengang, karena memang masih kurang dari jam dua belas siang, waktu masuk Dzuhur dan salat Jum’at.
Udara sepoi-sepoi dari luar masjid, dan juga karena kondisi badan yang lumayan lelah sehabis kerja bakti, membuat mata Bang Dani hampir terpejam. Namun tidak jadi tertidur, mana kala muadzin melantunkan adzan tanda waktu masuk salat Jum’at.
Berangkat dari tempat duduknya, dia memutuskan untuk kembali mengambil air wudhu supaya sedikit merasa segar. Siraman air membasuh wajah, membuat matanya yang tadi sepet perlahan terasa segar kembali.
“Alhamdulillah …,” ucapnya saat selesai mengambil wudhu, dan perlahan berjalan kembali memasuki masjid, yang sekarang sudah tampak mulai ramai. Khotib pun sudah naik ke atas mimbar dan mengucap salam, tanda khotbah Jum’at akan segera di laksanakan.
Tempat duduk yang tadi sepi, sekarang sudah berisi di kiri kanannya.
“Huft.” Bang Dani segera mengambil tempat duduk, dan menyalami jemaah lain di sebelah kanan, begitu dia akan menyalami orang di sebelah kiri, ternyata adalah Tuan Soka.
“Dah, gak usah salam-salam lah, tar ada bakteri dan virus di tangan kau yang kotor.” Begitu kata Tuan Soka sambil menepis telapak tangan Bang Dani yang tadi sempat terulur.
Bang Dani hanya tersenyum simpul sambil menarik kembali tangannya, dia maklum dengan prilaku Tuan Soka. Bahkan, seluruh warga kampung Madani sudah sangat mengenal tabiat dari orang yang merasa paling kaya di daerah ini.
Klotak!
Suara roda kotak infaq beradu dengan lantai masjid, bergeser pelan menuju tempat duduk Bang Dani, sebentar lagi setelah melewati jemaah di sebelah kanan, maka kotak infaq tersebut sampai di hadapannya.
Diambilnya uang berwarna hijau tadi dari saku baju koko yang dikenakan. Hanya itu satu-satunya uang yang ia miliki sekarang, dan ia ikhlaskan untuk masuk ke kotak infaq masjid.
Hari baik, hari Jum’at. Bang Dani berfikir, kenapa harus takut miskin dan lapar, sedangkan dia adalah makhluk dari Tuhan yang Maha Kaya. Urusan nanti, biarlah nanti, jangan takut miskin dan tak bisa makan, begitu yang ada dalam benak Bang Dani.
Setelah uang masuk ke kotak infaq, pelan digesernya kotak berwarna hijau dengan roda kecil di tiap sudut bawah nya itu ke arah kiri, kepada Tuan Soka.
Tuan Soka berlagak tidak melihat kotak infaq yang ada di depannya, sedetik kemudian secepat kilat menggeser kotak tersebut ke jemaah yang ada di sampingnya. Lewat begitu saja.
‘Astaghfirullah … tadi bilang tidak mau membantu bersih-bersih karena sudah membantu infaq dan masjid sudah ada dana kebersihannya. Ternyata, menyumbang juga tak mau. Sudah lah tak mau menolong kerja bakti, mencela yang kerja bakti, eh … tidak mau nyumbang pula. Rusak sekaset ini namanya, astaghfirullah.’ Bang Dani hanya bisa membathin dalam hati sambil mengelus dada.
Bang Dani jadi sedikit merasa bersalah pada dirinya sendiri, karena tidak bisa konsentrasi pada khutbah Jum’at yang tengah berlangsung.
Seharusnya kan, bila tidak bisa membantu dengan harta, bisa bantu dengan tenaga. Atau, jika memang tidak mampu segalanya dan tidak bisa sama sekali, bisa kita bantu dengan … doa. Itu pun jika tak malu.
Wes ewes ewes, bablas kotak infaqnya. []
***
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka hendaknya dengan lisannya. Dan apabila tidak mampu lagi maka dengan hatinya, sesungguhnya itulah selemah-lemah iman.’.” (HR. Muslim)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments