Ngelem.

Sore itu sehabis salat Ashar, Bang Dani tampak marah bukan main. Mulutnya komat-kamit seperti tengah MELAFALKAN sesuatu, entah itu sumpah serapah, atau kah dzikir. Ternyata dia tengah beristighfar, mencoba meredam emosi yang ada dalam dada. Kenapa dia bisa sampai semarah itu?

Ternyata dia melihat anak-anak yang biasa meminta sumbangan menggunakan kotak infaq mengatas namakan masjid tertentu tengah mabuk kecil-kecilan, bersandar di dinding masjid yang terletak di pojok, hingga tidak terlihat oleh orang banyak.

Mabuk kelas rendahan dengan menggunakan lem berukuran kecil yang dengan mudah bisa dibeli di warung. Sebagian lain menggunakan obat batuk cair yang bisa di dapat di apotik terdekat. ‘Ngelem’ istilah yang mereka sematkan untuk kegiatan yang tengah mereka kerjakan. Namun, tetap saja mabok.

Debut perdana Bang Dani pun di mulai. Dulu, dia adalah mantan preman, pengedar sekaligus pemakai. Jadi, tau betul bagaimana barang haram tersebut merusak badan. Namun, kini secercah sinar hidayah akhirnya datang menghampiri kehidupannya yang kelam, dan buram. Dulu, dia yang nyaris over dosis dan terpaksa dibawa ke rumah sakit serta penjara atau hotel prodeo istilahnya masih sangat beruntung mendapat kesempatan sekali lagi oleh Yang Maha Kuasa untuk hidup, dan untuk bisa memperbaiki diri.

Oleh karena itu, melihat hal seperti ini terjadi di depan mata, membuat dia geram. Dia tidak ingin ada lagi orang-orang bodoh di luar sana yang sama dangkal otak dan pemikirannya dengannya dulu.

Segera ditariknya kerah baju dari salah satu anak yang terlihat tengah asyik ngefly.

“Loh, loh … perasaan tadi aku pakai dikit nih barang, kok tubuh ikutan keangkat, ya? Hebat bener efeknya nih barang, bagus.” Bocah usia belasan tahun yang tengah ditarik kerahnya oleh Bang Dani tampak ngeracau tak karuan.

Melihat temannya diangkat, rekan-rekan sesama anak jalanan tadi bukannya menolong malahan lari tunggang langgang. Menyangka Bang Dani adalah salah satu petugas Satpol PP atau malah intel polisi. Namun, sebagian lagi tau siapa yang tengah mengangkat temannya, dari pada cari ribut mendingan kabur saja.

Si anak yang masih dalam posisi tegak sedikit melayang melihat temannya pergi tampak bingung.”Ei, pada mau kemane? Tungguin gua, dong,” katanya mencoba memanggil teman-temannya yang kabur tadi.

Celingak-celinguk, menatap kakinya yang melayang. Baru tersadar olehnya, bahwa saat ini tubuhnya diangkat oleh seseorang.

“Bang—Bang Dani!” serunya. Ternyata, anak tersebut salah satu kenalan dari Bang Dani.

Perlahan diturunkannya anak tersebut hingga kembali menjejak tanah. “Ngapain lo, Tong? Lagi ngapain?” selidik Bang Dani dengan muka penuh tanda tanya.

“Biasa, Bang.” Toni atau yang biasa anak tongkrongan panggil dengan nama si Otong tampak cengar cengir gak enak.

“Masih saja kalian main seperti ini, cari mati kalian, hah!” hardik Bang Dani, si Otong tampak mengkeret. Nyalinya ciut, dia tau tengah berhadapan dengan siapa. Bang Dani mantan preman yang dulu hamper mati dan bikin geger orang sekampung, dan kini sepertinya setelah diberi kesempatan hidup kedua, perlahan-lahan berubah menjadi orang baik.

“Am—ampun, Bang. Aye jangan di apa-apain,” pinta si Otong takut. Sepertinya perlahan sudah kembali sadar dari maboknya.

“Gua kesel, ya … sama kalian orang. Pakai bawa kotak infaq. Minta-minta kepada orang, hasilnya buat beginian. Berdosa, tau!” Tambah mendelik mata Bang Dani tambah mengkeret tubuh si Otong.

“I—iya, Bang. Aye ngaku salah.”

“Ngaku salah saja terus, besok-besok pasti masih di ulangi lagi. Kayak anggota dewan aje lu. Buat janji melulu.”

Otong tampak tertunduk, semakin takut. “Bukan, Bang. Aye cuma tukang minta.” Kilahnya.

“Nah, apalagi … cuma tukang minta, tapi kelakuan minus. Masih muda, harusnya kalian gunakan waktu yang ada dengan belajar yang giat, kerja yang bener, gapai cita-cita dan buat orang tua bangga.” Bang Dani memulai ceramah, Otong mendengarkan sambil menunduk.

“Elu tau kan , Tong? Gua hampir mati saat itu. Beruntung Allah masih kasih waktu buat gua untuk memperbaiki diri. Karena itu, gua ingin mengajak orang sebanyak-banyaknya buat tobat. Jangan beginian lagi,” ujar Bang Dani sambil membuang sisa kaleng lem yang tadi di pegang pemuda di hadapannya.

“Sudah hidup susah, mati nanti masuk neraka. Emang lu mau, Tong?”

“Eng—enggak mau, Bang. Iye, Bang. Ane tobat!”

“Apa ya, hukuman yang bisa buat kalian jera?” Bang Dani menatap Otong dengan seksama, sambil tangannya membentuk tinju. Melihat hal itu pucat pias lah muka si Otong.

“Am—ampun, Bang. Gak lagi-lagi. Beneran, sumpah!” Otong mengangkat jari telunjuk dan tengahnya menandakan dia tengah bersungguh-sungguh.

“Gak, gak main beginian sama gua,” kata Bang Dani sambil menepis tangan Otong. “Gua arak lu keliling kampung, mau?” tambah Bang Dani lagi.

“Jangan, Bang. Emangnye ane ondel-ondel pakai diarak?”

“Biar jadi contoh untuk yang lain, supaya teman-teman lu yang lain bisa kapok.”

“Bang, jangan dong, Bang. Malu ane kalo dilihat same keluarge nanti.”

“Masih punya malu rupanya?” Bang Dani tampak kesal.

“Jangan, Bang. Ane mau dah ngelakuin apa saya buat abang.”

“Bener?” Bang Dani mencoba mencari keseriusan di muka lawan bicaranya.

“Beneran, Bang. Asal jangan ntu tadi, pake diarak keliling kampung.” Otong memohon sambil menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada, matanya pun berkedip-kedip dibuat seimut mungkin. Namun, sayang … giginya yang ompong buat kesan imut menjadi amit.

“Ehm, oke. Bentar … kalo begini mau gak, lu? Gua mau liat elu tiap jam salat ada di masjid ini. Terus sebelum salat elu bantu bersih-bersih ni masjid terlebih dahulu?”

Hening sejenak, Otong tampak berpikir keras.

“Kalo lu gak mau, sekarang juga gua arak lu keliling kampung. Cepat buka semua pakaian lu!”ancam Bang Dani.

“I—iya, Bang. Ane mau.” Cepat si Otong memotong kata-kata pria berusia tiga puluhan di hadapannya itu. “Gak sabaran amat, Bang,” gerutunya. Bang Dani hanya tersenyum simpul.

“Nah, oke tuh. Gua pegang janji lu ya. Mulai nanti Maghrib elu mulai dah tuh penuhin kewajiban yang sudah jadi kesepakatan di antara kite berdue.”

“Yah, Bang. Kok, cepet bener.”

“Emangnye, elu tau kapan ajal datang menjemput?”

Si Otong kembali terdiam. “Oke deh, Bang,” sahutnya lemah.

“Gua balik sekarang. Tar maghrib gua tunggu elu di masjid ini. Kalo gak ada, gua gari lu, meski sampai ke liang kubur.”

“I—iya, Bang. Ta—tapi, Bang,” cegah Otong melihat Bang Dani sudah mulai akan membalikkan badan.

“Apa lagi?” tanya Bang Dani heran.”Masih kurang hukuman, lu?” selidiknya.

“Ini, Bang. Anu …. Eng, itu.” Otong tampak kebingungan mau mengutarakannya.

“Apaan, cepet!” perintah Bang Dani.

“Ini … lem sama kopi tadi, eng … belum dibayar. Minta tolong Abang buat bayarin dulu, ane gak pegang uang.” Otong cengengesan gak sedap dipandang.

“Alamaaak.” Bang Dani hanya bisa tepuk jidat. []

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!