Pagi masih dingin di kampung Madani, bahkan jika kita bernapas masih akan tampak uap mengepul putih, tanda udara saat itu memang sangat dingin. Bahkan hewan lain pengisi cerahnya pagi, seperti ayam dan burung seakan enggan untuk bersuara dan meramaikan dunia.
Akan tetapi, cuaca sedingin itu tidak menyurutkan Bang Dani untuk merepet (bercakap yang bukan-bukan (hingga menjemukan); mericau—KBBI) mulutnya sehabis membaca berita dari sebuah koran lokal, entah apa yang kini tengah di risaukannya. Kecepatan mulutnya menggerutu bahkan mengalahkan kecepatan cahaya (katanya).
Kong Ma’in--tetangga Bang Dani—yang sedari usai salat Shubuh telah bertandang ke rumahnya, berharap mendapat kopi atau juga sarapan pagi, tampak ikutan sibuk memperhatikannya sedari tadi.
Dengan pelan lelaki setengah baya itu menghampiri Bang Dani yang masih duduk sambil membaca Koran yang dibukanya lebar-lebar sehingga menutupi hampir seluruh tubuhnya.
“Oi, Dan, kenapa sedari dari tadi, kelihatannya elu kesal sekali?”
Bang Dani terkejut karena tiba-tiba disapa sementara dia tengah konsentrasi pada korannya. “Eh … Kong, masih di sini ternyata?”
“Lah, sedari tadi gua ikutan elu. Biasa mau numpang ngopi. Pantang pulang sebelum ngopi.” Kong Ma’in cengengesan.
“Oh, mau ngopi, Kong?” Bang Dani malah balik bertanya.
“Ah elah ni, bocah. Ya iya lah … masa cuma mau liat bibir lu yang merepet memble sedari tadi.” Giliran Kong Ma’in yang jadi kesel.
“Asyiap, Kong. Bentar, ye. Aye buatin dulu.” Gegas Bang Dani masuk dan segera masak aer sampai mateng, cakep. Eh, bukan. Maksudnya masak air untuk buat kopi untuknya dan teman ngobrolnya pagi ini.
Tak lama kemudian dia telah kembali dengan dua gelas kopi di tangan. Aroma pekat minuman berwarna hitam yang berasal dari biji kopi pilihan itu menguar memenuhi teras rumah yang ala kadarnya.Hidung jambu Kong Ma’in kembang kempis menghidu aroma yang ditimbulkan.
“Mantap,” katanya saat Bang Dani meletakkan dua gelas kopi itu di atas meja teras.
“Dan ….”
“Apelagi, Kong?” tanya Bang Dani heran.
“Kok kopinya kaya elu?”
“Maksudnya, Kong?” Mang Dani tampak tak mengerti.
“Jomlo!” Kong Ma’in terkekeh memamerkan giginya yang sudah tak utuh, habis dimakan usia. “Sendirian, gak berteman, Dan.”
Bang Dani tampak sedikit memerah mukanya mendengar becandaan Kong Ma’in. “Bisa aja, Kong. Iye, makanannye sedang habis.”
“Oh, ya sudah, gakpapa. Sudah ada ini juga bersyukur. Alhamdulillah.” Cepat Kong Ma’in menyambar gelas di atas meja, dan menyesap kopi panas itu pelan, terlihat sangat nikmat.
“Terus?” sambung Kong Ma’in,”kenapa sampai sekarang elu belum menikah?”
Bang Dani sampai tersedak mendengar pertanyaan tiba-tba dari Kong Ma’in.
“Pan enak, tuh. Kalo dah nikah. Mo ngopi ada yang bikini, mau bobo ada yang ngelonin.” Kong Ma’in menambah kata-kata mutiaranya.
“Ah elah, Kong. Di kira nikah mudah apa. Tinggal cap cip cus langsung bungkus?” Kedua sahabat beda usia itu sama terkekeh.
“Nah, lanjut masuk ke topik. Takutnye ngelantur kemane-mane kite dibuat oleh author somplak yang tengah mengetik jalan hidup kite ni. Apa yang membuat engkau risau sepagi ini? burung di twitter aja kalah sama elu bawelnye?”
“Wah, tau pula Kong soal twitter?” Bang Dani menatap pada lelaki tua yang duduk di sampingnya saat ini.
“Oh, jelas.Kong Ma’in,” kata Kong Ma’in, sambil menepuk dadanya. “Umur boleh tua, jiwa tetap gaul.”
Bang Dani tidak menanggapi celoteh dari Kong Ma’in, dia malah sibuk mengawali cerita. “Aye itu … tengah ngerenung sebenarnye, Kong.” Bang Dani membuka percakapan.
“Merenung? Bukannya dari tadi elu ni merepet?” Bingung Kong Ma’in menanggapi Bang Dani.
Yang ditanya malah cengengesan. “Tadi merepet, Kong. Sekarang tinggal bingungnya. Susah hidup sekarang jadi lelaki.”
“Emang ape susahnye?” Kong Ma’in penasaran, meletakkan kopi di atas meja dan menyorongkan badan lebih maju ke hadapan.
“Susah nahan nafsu, Kong. Gara-gara cewek zaman sekarang ini, kalau berpakaian seenaknya sendiri.Apalagi artis atau pun public figure yang seharusnya menjadi contoh dan model-model di zaman sekarang, bukannya mengajarkan sesuatu yang bagus malah tambah perang umbar kemaksiatan, semakin menyesatkan saja….”
“Ooooo, terus?” tanya Kong Ma’in sambil manggut-manggut, entah mengerti apa mengantuk.
“Iya, kita sebagai lelaki ini, apalagi kami yang masih muda dan belum menikah ini jadinya susah untuk menjaga ataupun menahan pandangan.”
“Kenapa?” Kong Ma’in bertanya sambil mengupil.
“Iya, susah menahan pandangan, serba salah, Kong. Mau lihat bawah, di kira cari uang receh jatuh, dan juga masih bisa lihat paha. Agak sedikit naik, lihat puser. Pilih lihat tengah, dapat belahan dada. Eh, pas lihat atas, bisa-bisa nabrak tiang listrik. Mana tiang listrik sekarang ini bisa jadi kambing hitam pula, diseruduk, bahkan yang terbaru bisa di ajak curhat oleh author cerbung sebelah, idola saya, Mbak Bintang Pelangi.”
Kembali Kong Ma’in hanya bisa manggut-manggut pasrah, seperti mainan hewan yang ada di dashboard mobil.
“Ehmm… jadi itu yang buat engkau risau.Gegana, gelisah gundah gulanaJika begitu, memang susyah, tu. Untung, author kasih aye peran jadi aki-aki.”
“Satu lagi, Kong. Yang tambah buat pikiran galau. Hal seperti itu, tu. Gak dilihat bagaimana, dilihat kok rasanya asyik juga. Itulah salah satu perangkap setan.”
Kong Ma’in melongo, sama sekali belum menangkap arti dan maksud kata-kata Bang Dani..
“Astaghfirullah ….” Bang Dani dan Kong Ma’in sama-sama mengucap istighfar saat seorang gadis berjalan melintasi mereka dengan busana yang sangat ‘sederhana’ terkesan minim dan seksi. Memakai pakaian yang terlihat kurang bahan, atau bisa jadi pakaian adiknya yang dipakai. Sehingga mampu memperlihatkan semuanya.
Nonjol gitu lho, maksudnya.Press of body.
Bang Dani memalingkan wajah jengah, semantara Kong Ma’in tetap pada posisinya, tak berkedip.
“Ehm!” Bang Dani berdehem kencang.
“Nanti, Dan Engkong lagi sibuk meeting ini,” seru Kong Ma’in sambil melambaikan tangan pada Bang Dani tanda tak mau di ganggu.
“Kong,yang begini ini yang barusan kita bahas.”
Dua sahabat itu kembali mengucap istighfar pelan saat kembali wanita berpakaian ala kadarnya lewat melintasi depan teras rumah Bang Dani.
“Hah, yang bagaimana?” Kong Ma’in berbalik dan kini kembali menghadap ke arah Bang Dani. Namun, ekor matanya masih tetap fokus memperhatikan gerakan wanita di seberang sana.
“Iya, cewek yang pakaiannye kayak gitu tadi, yang barusan kita bahas. Tadi, ho-oh, setuju. Sekarang kok, malah menikmati?”
“Alhamdulillah, Dan … rezeki lewat, mubazir jika gak diliat” Kong Ma’in tetap melotot sambil mengelap sisa air liur di sudut bibir.
Sekarang ganti Bang Dani yang melongo.
“Masya Allah ….” []
Kalau belum mampu menikah, tahanlah diri dengan berpuasa. Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Barangsiapa yang mampu untuk menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga ********. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagaikan kebiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments
Helna Bint Daud
kalau dg berpuasa sudah tidak mampu lagi membendung nafsu, maka menikah menjadi wajib hukumnya untuk menghindari zina.
2021-06-30
0